SKRIPSI FKIP PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA ANALISIS JENIS GAYA BAHASA DAN PERSAJAKAN PADA SYAIR LAGU-LAGU AFGAN DALAM ALBUM CONFFENSION NO.1 Oleh: Alvian Kurniawan NIM : 2008112193 UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG

SKRIPSI FKIP PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA ANALISIS JENIS GAYA BAHASA DAN PERSAJAKAN PADA SYAIR LAGU-LAGU AFGAN DALAM ALBUM CONFFENSION NO.1 Oleh: Alvian Kurniawan NIM : 2008112193 UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa dan sastra merupakan dua komponen yang tidak dapat dipisahkan. Bahasa adalah sarana komunikasi yang mutlak diperlukan oleh setiap anggota masyarakat. Hal ini dikemukakan oleh Keraf (2006:1) sebagai berikut. Melalui bahasa, kebudayaan suatu bangsa dapat dibentuk, dibina, dikembangkan, dan dapat diturunkan kepada generasi mendatang. Dengan adanya bahasa sebagai alat komunikasi, maka yang ada disekitar manusia mendapat tanggapan dalam pikiran manusia yang disusun dan diungkapkan kembali kepada orang lain sebagai bahan komunikasi. Sastra merupakan suatu pola bahasa yang mengandung pola estetika baik dalam bentuk sistem bahasa atau pemaknaan tentang bahasa itu sendiri. Sastra diciptakan untuk dinikmati, dipahami, dirasakan, dan dimanfaatkan oleh masyarakat atau pembaca. Sebuah sastra dapat memberi manfaat kepada pemakai dan penikmatnya. Agar dapat dinikmati, sebuah sastra haruslah dipadukan dengan sebuah pengetahuan. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Suroto (1989:1) sebagai berikut. Hadirnya suatu karya sastra tentunya agar dapat dinikmati oleh pembaca. Untuk dapat menikmati suatu karya sastra secara sungguh-sungguh dan baik diperlukan seperangkat pengetahuan akan karya sastra. Tanpa pengetahuan yang cukup, penikmatan akan sebuah karya sastra hanya bersifat dangkal dan sepintas karena kurangnya pemahaman yang tepat. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat diketahui bahwa untuk memahami sebuah sastra, tidak bisa dengan pengetahuan yang dangkal. Sastra dibangun dengan sistem bahasa yang tidak konvensional. Untuk itu kita membutuhkan tingkat pemahaman yang tinggi terhadap karya sastra yang kita baca. Melalui sebuah sastra, seseorang dapat mengekspresikan perasaan yang dialaminya dengan kreativitas seperti: puisi, prosa dan salah satunya adalah lagu. Sebelum manusia menikmati sebuah lagu yang telah dikombinasikan dengan sebuah musik, terlebih dahulu lagu diawali oleh sebuah tulisan yang dikenal dengan istilah lirik atau syair. Dalam syair sebuah lagu, banyak terdapat unsur-unsur yang terlibat dalam pembentukannya. Unsur-unsur tersebut dibangun oleh tataran bahasa dan sastra. Salah satu unsur yang membangunnya adalah permajasan atau gaya bahasa. Muljana (dikutip Pradopo, 2005:93) menyatakan, “Gaya bahasa ialah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca”. Dengan adanya gaya bahasa tersebut, syair lagu akan memiliki pembendaharaan makna secara implisit dan eksplisit. Sehingga sebuah lagu akan mempunyai keunikan sendiri. Selain gaya bahasa, syair lagu juga mengandung unsur fisik, salah satu unsur fisik tersebut adalah sajak atau yang sering dikenal dengan istilah rima. Sajak atau rima adalah perpaduan bunyi yang dapat menimbulkan keindahan tersendiri pada sebuah puisi atau syair lagu. Jenis sajak atau rima juga beragam. Sehingga, mempunyai keunikan tersendiri ketika meneliti sebuah sajak atau rima. Berdasarkan uraian di atas dan juga didasari pada penelitian terdahulu yang mencoba menganalisis lirik-lirik lagu. Maka, penulis tertarik untuk dapat meneliti jenis gaya bahasa dan persajakan pada syair lagu-lagu Afgan dalam album Conffension No.1. Penulis memilih album tersebut untuk diteliti karena beberapa lagu di dalamnya sudah banyak dikenal masyarakat Indonesia. Selain itu, kata-kata yang dituangkan begitu indah dan mempunyai nilai sastra yang unik untuk ukuran dari sebuah kumpulan lirik atau syair lagu. Hal ini terbukti karena beberapa lagu dalam album tersebut, seperti lagu “Terima Kasih Cinta” pernah memasuki tangga lagu teratas di beberapa stasiun radio di Indonesia dan lagu “Sadis” pernah menjadi original soundtrack dalam sinetron yang tayang pada sebuah televisi swasta di Indonesia. 1.2 Masalah Penelitian Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah jenis gaya bahasa dan persajakan pada syair lagu-lagu Afgan dalam album Conffension No. 1? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan jenis gaya bahasa dan persajakan pada syair lagu-lagu Afgan dalam album Conffension No.1. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoretis maupun praktis. 1) Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan sumbangan dalam disiplin ilmu bahasa dan sastra, seperti: kajian puisi, khususnya tentang gaya bahasa dan persajakan. 2) Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat (1) dijadikan sebagai salah satu referensi bagi mahasiswa yang berminat menganalisis jenis gaya bahasa dan persajakan dalam penelitian yang serupa serta memberi konstribusi bagi pemahaman dan pengembangan tentang pemakaian gaya bahasa dan persajakan; (2) bagi metode pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, agar dapat menjadi petunjuk metode pratikum baruu ketika menganalisis unsur bahasa dan sastra dengan mempergunakan media elektronik yang disesuaikan dengan perkembangan iptek. BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Literatur 2.1.1 Pengertian Gaya Bahasa atau Majas Muljana (dikutip Pradopo, 2005:93) menyatakan, “Gaya bahasa ialah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca”. Menurut Muda (2006:624), “Gaya bahasa adalah penggunaan kata-kata kiasan dan perbandingan yang tepat untuk mengungkapkan suatu maksud agar membentuk pemilihan bahasa yang tepat”. Waluyo (1995:83) menyatakan bahwa gaya bahasa atau bahasa figuratif adalah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengungkapkan makna. Salsabila (2011:152) mengemukakan, “Majas adalah gaya bahasa untuk melukiskan sesuatu dengan cara menyamakannya dengan sesuatu yang lain”. Tarigan (dikutip Suroto, 1989:114) menyatakan, “Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa)”. Berdasarkan pendapat-pendapat pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa atau majas adalah suatu sistem bahasa yang menggunakan kata-kata kiasan yang timbul dari hati seorang penulis untuk mengemukakan suatu maksud dengan cara menyamakan dengan sesuatu yang lain. 2.1.2 Jenis-Jenis Gaya Bahasa atau Majas Salsabila (2011:152—159) menyatakan bahwa majas dibedakan menjadi empat, yaitu: 1) Majas perbandingan, seperti: personifikasi, metafora, perumpamaan dan alegori; 2) Majas pertentangan, seperti: hiperbola, litotes, ironi dan oksimoron; 3) Majas perulangan, seperti: aliterasi, antanaklasis, repetisi, paralelisme dan kiasmas; 4) Majas pertautan, seperti: metonimia, sinekdoke, alusio, elipsis dan inverse. Muda (2006:624—629) mengemukakan bahwa gaya bahasa (majas) dibedakan menjadi empat, yaitu: 1) Majas perbandingan, seperti: metafora, personifikasi, asosiasi, alegori, parabel, tropen, metonimia, litotes, sinekdoke, eufemisme, hiperbola, alusio dan anatonomasia; 2) Majas penegasan, seperti: pleonasme, repetisi, pararelisme (epipora dan anapora), tautologi, klimaks, antiklimaks, retoris, koreksio, asindenton, polisindenton, interupsi, praterito dan enomerasio; 3) Majas pertentangan, seperti: paradoks, antitesis, okupasi dan kontradiksio interminis; 4) Majas sindiran, seperti: ironi, sinisme dan sarkasme. Pradopo (2005:62) menjelaskan bahwa jenis-jenis bahasa kiasan (majas) dibedakan menjadi tujuh, yaitu: 1) Perbandingan (simile); 2) Metafora; 3) Perumpamaan epos (epic simile); 4) Personifikasi; 5) Metonimi; 6) Sinekdoki (synecdoche); 7) Allegori. Waluyo (1995:83—86) menyatakaan bahwa bahasa figuratif (majas) dibedakan menjadi enam, yaitu: 1) Metafora; 2) Perbandingan; 3) Personifikasi; 4) Hiperbola; 5) sinekdoce; 6) ironi. Suroto (1989:115—134) menyatakan bahwa gaya bahasa dibagi menjadi empat, yaitu: 1) Gaya bahasa perbandingan, seperti: perumpamaan, metafora, personifikasi, depersonifikasi, alegori, antitesis, pleonasme dan tautologi, parifrasis, antisipasi (prolepsis), koreksio (epanortosis); 2) gaya bahasa pertentangan, seperti: hiperbola, litotes, ironi, oksimoron, paronomasia, zeugma dan silepsis, satire, inuendo, antifrasis, paradoks, klimaks, antiklimaks, apostrof, anastrof atau inversi, apofasis, histeron proteron, hipalase, sinisme, sarkasme; 3) Gaya bahasa pertautan, seperti: metonimia, sinekdoke, alusio, eufemisme, eponim, epitet, antonomasia, erotesis, pararelisme, elipsis, gradasi, asindeton, polisindeton; 4) Gaya bahasa perulangan, seperti: asonansi, antanaklasis, kaismus, epizeukis, tautotes, anafora, epistrofa (epifora), simploke, mesodiplosis, epanalepsis, anadiplosis, enumerasi, eksklamasio, tropen, enterupsi, preteresio, kontradiksio interminis. Berdasarkan pendapat para pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa atau majas dibagi menjadi empat jenis klasifikasi, yaitu: 1) Gaya bahasa atau majas perbandingan; 2) Gaya bahasa atau majas penegasan/perulangan; 3) Gaya bahasa atau majas pertentangan; dan 4) Gaya bahasa atau majas pertautan. 1) Klasifikasi Gaya Bahasa atau Majas Perbandingan Klasifikasi gaya bahasa atau majas perbandingan dibedakan menjadi empat jenis, yaitu: a) Gaya bahasa atau majas personifikasi, b) Gaya bahasa atau majas metafora, c) Gaya bahasa atau majas alegori dan d) Gaya bahasa atau majas perumpamaan. a) Gaya Bahasa atau Majas Personifikasi Salsabila (2011:152) menyatakan, “Majas personifikasi adalah gaya bahasa yang membandingkan benda-benda tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat seperti manusia”. Muda (2006:625) menyatakan, “Majas personifikasi adalah jenis gaya bahasa perbandingan yang membandingkan benda mati atau yang tidak bergerak seolah-olah bernyawa (berprilaku seperti manusia)”. Waluyo (1995:85) menyatakan bahwa majas personifikasi adalah gaya bahasa yang mengkiaskan keadaan atau peristiwa yang dialami oleh manusia. Dalam hal ini benda mati dianggap sebagai manusia atau persona. Pradopo (2005:75) mengemukakan bahwa personifikasi merupakan kiasan yang mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya seperti manusia. Suroto (1989:116) menjelaskan, “Personifikasi atau penginsanan adalah jenis gaya bahasa yang melekatkan sifat-sifat insani pada barang atau benda yang tidak bernyawa ataupun pada ide yang abstrak”. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa atau majas personifikasi adalah gaya bahasa perbandingan yang membandingkan benda-benda tidak bernyawa dengan sifat insani persona atau manusia. Contoh: - Ombak menerjang pantai. - Pena menari di atas meja. b) Gaya Bahasa atau Majas Metafora Muda (2006:625) mengemukakan, “Metafora adalah gaya bahasa yang menggunakan kata-kata bukan arti sesungguhnya, melainkan sebagai kiasan (lukisan) yang berdasarkan persamaan dan perbandingan. Salsabila (2011:153) menyatakan, “Majas metafora adalah majas perbandingan yang diungkapkan secara singkat dan padat”. Becker (dikutip Pradopo, 2005:66) menjelaskan, “Metafora ini bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata-kata pembanding, seperti bagai, laksana, seperti dan sebagainya”. Waluyo (1995:84) menyatakan, “Metafora adalah kiasan langsung, artinya benda yang dikiaskan tersebut tidak disebutkaan. Jadi ungkapan itu langsung berupa kiasan”. Suroto (1989:116) mengemukakan, “Metafora adalah sejenis gaya bahasa perbandingan yang membandingkan dua hal secara implisit”. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa atau majas metafora adalah gaya bahasa perbandingan yang membandingkan dua hal secara implisit yang menggunakan kata-kata yang bukan arti sesungguhnya, melainkan menggunakan kiasan langsung yang diungkapkan secara singkat dan padat serta tidak menggunakan kata-kata pembanding, seperti bagai, laksana, seperti dan sebagainya”. Contoh: - Jinak-jinak merpati - Bumi ini perempuan jalang. c) Gaya Bahasa atau Majas Alegori Menurut Muda (2006:625), “Alegori adalah gaya bahasa yang memperlihatkan perbandingan utuh dan memiliki satuan yang menyeluruh”. Salsabila (2011:153) mengatakan, “Alegori adalah cerita yang dipakai sebagai lambang perikehidupan manusia yang sebenarnya untuk mendidik moral”. Waluyo (1995:144) menyatakan bahwa puisi sering mengungkapkan cerita yang isinya dimaksudkan untuk memberikan nasihat tentang budi pekerti dan agama. Pradopo (2005:71) menyatakan, “Alegori ialah cerita kiasan ataupun lukisan kiasan. Cerita kiasan atau lukisan kiasan ini mengiaskan hal lain atau kejadian lain”. Suroto (1989:117) menjelaskan, “Alegori merupakan cara bercerita yang menggunakan lambang”. Dari pendapat para pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa majas alegori adalah gaya bahasa yang memperihatkan perbandingan dengan mengungkapkan cerita kiasan sebagai lambang yang memberikan nasihat untuk mendidik moral. Contoh: - Kita harus memiliki bekal yang cukup dalam mendayung bahtera rumah tangga. d) Gaya Bahasa atau Majas Perumpamaan (Asosiasi) Suroto (1989:115) mengemukakan, “Majas perumpamaan adalah perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan akan tetapi sengaja dianggap sama”. Salsabila (2011:153) menyatakan, “Perumpamaan adalah pembanding dua hal yang hakikatnya berbeda, tetapi sengaja dianggap sama”. “Perumpamaan atau perbandingan epos (epic simile) ialah perbandingan yang dilanjutkan, atau diperpanjang, yaitu dibentuk dengan cara melanjutkan sifat-sifat pembandingnya lebih lanjut dalam kalimat-kalimat atau frase-frase yang berturut-turut,” (Pradopo, 2005:69). Menurut Muda (2006:625), “Majas asosiasi adalah gaya bahasa perbandingan yang membandingkan sesuatu dengan keadaan lain yang sejalan dengan gambaran sifatnya”. Dari pendapat para pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa atau majas perumpamaan adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal yang berbeda namun sengaja dianggap sama dengan cara melanjutkan dengan keadaan lain yang sejalan dengan sifat-sifat pembandingnya. Contoh: - Andi memiliki semangat bagaikan baja. - Tubuhnya dingin bagaikan pohon pisang. - Ramainya seperti Jakarta. 2) Klasifikasi Gaya Bahasa atau Majas Penegasan/Perulangan Klasifikasi gaya bahasa atau majas penegasan/perulangan dibedakan menjadi delapan jenis, yaitu: a) Gaya bahasa atau majas pararelisme; b) Gaya bahasa atau majas repetisi; c) Gaya bahasa atau majas tautologi/tautotes; d) Gaya bahasa atau majas kiasmas/kaismus; e) Gaya bahasa atau majas antanaklasis; f) Gaya bahasa atau majas enomerasio/enumerasi; g) Gaya bahasa atau majas interupsi/enterupsi; dan h) Gaya bahasa atau majas praterito/preteresio. a) Gaya Bahasa atau Majas Pararelisme Muda (2006:626) menjelaskan, “Majas pararelisme adalah gaya bahasa penegasan yang sering sekali dipakai dalam puisi. Pararelisme terdiri dari anapora dan epipora.” - Pararelisme Anapora Muda (2006:626) mengemukakan bahwa anapora adalah gaya bahasa yang menempatkan kata atau kelompok kata yang sama di depan tiap-tiap larik dalam puisi secara berulang-ulang. Suroto (1989:131) menyatakan bahwa anapora adalah majas (gaya bahasa) repetisi yang berupa perulangan kata pertama pada setiap baris atau kalimat. Dari pernyataan para pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa anapora adalah gaya bahasa perulangan kata atau kelompok kata yang sama di depan tiap larik/baris/kalimat secara berulang. Contoh: Kepada-Mu aku bersujud Kepada-Mu aku bersembah - Pararelisme Epipora/Epistrofa “Epistrofa adalah sejenis majas (gaya bahasa) repetisi yang berupa pengulangan kata pada akhir baris atau akhir kalimat berurutan,” (Suroto, 1989:132). Menurut Muda (2006:627), “Epipora yaitu gaya bahasa yang menempatkan kata atau kelompok kata yang sama pada larik akhir dalam puisi”. Dari pendapat para pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa epipora adalah gaya bahasa (majas) pengulangan yang menempatkan kata atau kelompok kata yang sama pada akhir baris atau kalimat berurutan. Contoh: Diberi latihan tidak dikerjakan Disuruh mengerjakan pekerjaan rumah tidak dikerjakan Diberi tugas tidak dikerjakan b) Gaya Bahasa atau Majas Repetisi Muda (2006:626) menyatakan, “Repetisi adalah gaya bahasa penegasan dengan cara mengulang kata yang sudah diucapkan berkali-kali untuk menimbulkan kesan yang mantap dan menarik”. Menurut Salsabila (2011:156), “Repetisi adalah pengulangan kata-kata sebagai penegasan yang diurut pada baris yang berbeda”. Berdasarkan pendapat para pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa atau majas repetisi adalah gaya bahasa penegasan atau pengulangan kata-kata yang diucapkan berkali-kali yang diurut pada baris yang berbeda untuk menimbulkan kesan yang mantap dan menarik. Contoh: Selamat datang pahlawan tanpa tanda jasaku, selamat datang pujaanku, selamat datang bunga bangsaku. c) Gaya Bahasa atau Majas Tautologi/Tautotes “Tautotes adalah majas (gaya bahasa) perulangan yang berupa pengulangan sebuah kata berkali-kali dalam sebuah kontruksi,” (Suroto, 1989:131). Muda (2006:627) menyatakan, “Tautologi adalah gaya bahasa penjelasan dengan kata berapa kali dalam sebuah kalimat”. Berdasarkan pendapat para pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa atau majas tautologi/tautotes adalah gaya bahasa perulangan yang menjelaskan dengan kata berapa kali dalam sebuah kontruksi/kalimat. Contoh: - Maaf.. maaf.. Berapa kali kau minta maaf, tetapi kau masih saja bandel. - Aku adalah kau, kau adalah aku. d) Gaya Bahasa atau Majas Kiasmas/Kaismus “Kaismus adalah gaya bahasa yang berisi perulangan dan sekaligus merupakan inversi (pembalikan susunan) antara dua kata dalam satu kalimat,” (Suroto, 1989:131). Salsabila (2011:157) menyatakan bahwa kiasmas adalah gaya bahasa yang berisi pengulangan dan sekaligus merupakan inversi. Berdasarkan pendapat para pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa atau majas kiasmas atau kaismus adalah gaya bahasa yang berisi perulangan dan sekaligus merupakan inversi antara dua kata dalam sebuah kalimat. Contoh: - Banyak orang bodoh mengaku pintar, dan banyak orang pintar mengaku bodoh. - Ia menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah. e) Gaya Bahasa atau Majas Antanaklasis Salsabila (2011:156) menyatakan, “Antanaklasis adalah gaya bahasa yang mengandung ulangan kata yang sama dengan makna yang berbeda”. Suroto (1989:130) menyatakan, ”Antanaklasis adalah gaya bahasa yang mengandung pengulangan kata dengan makna yang berbeda”. Dari pendapat para pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa atau majas antanaklasis adalah gaya bahasa yang mengandung pengulangan kata yang sama dengan makna yang berbeda. Contoh: - Bunga desa itu baru saja memetik bunga mawar. - Bintang lapangan itu telah mendapat anugrah bintang Maha Putra. f) Gaya Bahasa atau Majas Enomerasio/Enumerasi Menurut Muda (2006:628), “Enumerasio adalah gaya bahasa yang menyatakan atau menggambarkan suatu peristiwa secara lugas dan jelas”. Suroto (1989:133) menyatakan, “Enumerasi adalah sejenis gaya bahasa yang berupa ungkapan atau kalimat pendek-pendek dengan maksud agar terasa dinamis”. Berdasarkan pengertian dari para pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa atau majas enomerasio/enumerasi adalah gaya bahasa yang berupa ungkapan pendek untuk menyatakan suatu peristiwa secara lugas dan jelas dengan maksud agar terasa dinamis”. Contoh: - Hamparan laut yang biru - Matahari bersinar cerah g) Gaya Bahasa atau Majas Interupsi/Enterupsi Muda (2006:628) menyatakan, “Interupsi adalah gaya bahasa penegasan dengan mempergunakan kata atau bagian kata yang diselipkan diantara kalimat pokok, dengan maksud lebih menekankan bagian kalimat sebelumnya”. Suroto (1989:133) menyatakan, “Enterupsi adalah sejenis gaya bahasa yang berupa penambahan keterangan ditengah kalimat, dengan tujuan agar kalimat terhenti sejenak guna menarik perhatian”. Berdasarkan pendapat para pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa atau majas interupsi atau enterupsi adalah gaya bahasa penegasan yang berupa penambahan kata yang diselipkan diantara kalimat pokok atau keterangan ditengah kalimat. Contoh: - Dia, wanita tua yang malang, mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. - Perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya teknologi tepat guna, tampak begitu pesat berkembang. h) Gaya Bahasa atau Majas Praterito/Preteresio Suroto (1989:134) menyatakan, “Proteresio adalah sejenis gaya bahasa yang berupa penghilangan atau penyembunyian sesuatu agar pembaca/pendengar mencarinya sendiri atau karena dianggap telah tahu”. Menurut Muda (2006:628), “Praterito adalah gaya bahasa penegasan dengan menyembunyikan sesuatu maksud karena dianggap orang lain (pembaca) memahaminya”. Berdasarkan pengertian beberapa pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa atau majas proteresio/praterito adalah gaya bahasa yang mencoba menyembunyikan atau menghilangkan sesuatu maksud agar pembaca mencarinya sendiri karena dianggap memahaminya. Contoh: - Tentang ramainya pasar tak perlu saya kemukakan, nanti Anda akan tahu sendiri. - Pemilihan Kepala Desa seperti di kampung kita banyak terjadi kecurangan yang tak perlu saya singgung lagi. 3) Klasifikasi Gaya Bahasa atau Majas Pertentangan Klasifikasi gaya bahasa atau majas pertentangan dibedakan menjadi sembilan jenis, yaitu: a) Gaya bahasa atau majas hiperbola; b) Gaya bahasa atau majas litotes; c) Gaya bahasa atau majas ironi; d) Gaya bahasa atau majas sinisme; e) Gaya bahasa atau majas sarkasme; f) Gaya bahasa atau majas oksimoron; g) Gaya bahasa atau majas paradoks; h) gaya bahasa atau majas antitesis; i) Gaya bahasa atau majas kontradiksio interminis. a) Gaya Bahasa atau Majas Hiperbola Salsabila (2011:154) menyatakan, “Hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebih-lebihan dengan maksud untuk memperhebat kesan dan pengaruhnya”. Menurut Waluyo (1995:85), “Hiperbola adalah kiasan yang berlebih-lebihan”. Suroto (1989:119) menyatakan, “Hiperbola adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang melebih-lebihkan baik jumlah, ukuran, ataupun sifatnya dengan tujuan untuk menekankan, memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya”. Berdasarkan pendapat para pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa atau majas hiperbola adalah gaya bahasa yang berupa kiasan yang berlebih-lebihan baik jumlah, ukuran, ataupun sifatnya. Contoh: - Nina terkejut setengah mati melihat tikus menghampirinya. - Badan Dito kurus kering b) Gaya Bahasa atau Majas Litotes Salsabila (2011:154) menyatakan, “Litotes adalah gaya bahasa yang ditujukan untuk mengurangi atau mengecil-ngecilkan kenyataan sebenarnya. Tujuannya antara lain untuk merendahkan diri”. Suroto (1989:119) menyatakan, “Litotes adalah sejenis majas yang berupa pernyataan yang bersifat mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Tujuannya adalah untuk merendahkan diri”. Berdasarkan pendapat para pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa atau majas litotes adalah gaya bahasa yang bersifat mengecilkan kenyataan sebenarnya dengan tujuan merendahkan diri”. Contoh: - Terimalah pemberian yang tak berharga ini. - Selamat datang di gubuk kami yang hina ini. c) Gaya Bahasa atau Majas Ironi Suroto (1989:120) menyatakan, “Ironi adalah sejenis majas (gaya bahasa) yang berupa pernyataan yang isinya bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya”. Salsabila (2011:154) menyatakan, “Ironi adalah gaya bahasa yang menyatakan makna yang bertentangan dengan maksud untuk menyindir atau mengolok-olok”. Berdasarkan pengertian dari beberapa pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa atau majas ironi adalah gaya bahasa yang menyatakan makna bertentangan atau sebaliknya dengan kenyataan untuk maksud menyindir. Contoh: - Bagus benar rapormu Nak, banyak merahnya. - Sopan benar temanmu, sampai-sampai masuk rumah sendalnya dipakai. d) Gaya Bahasa atau Majas Sinisme Muda (2006:629) menyatakan, “Sinisme adalah gaya bahasa sindiran secara tidak langsung (lawan kata) mengungkapkan rasa tidak suka, disampaikan secara kasar”. Suroto (1989:125) menyatakan bahwa sinisme adalah sejenis majas (gaya bahasa) yang merupakan sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan atau ketulusan hati yang diutarakan seolah-olah memuji padahal untuk menyindir. Berdasarkan pernyataan para pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa atau majas sinisme adalah gaya bahasa yang merupakan sindiran secara tidaak langsung (lawan kata) yang diutarakan secara kasar. Contoh: - Memang Andalah tokoh yang sanggup menghancurkan desa ini dalam sekejap. - Muak aku melihat tampangmu. e) Gaya Bahasa atau Majas Sarkasme Muda (2006:629) menyatakan, “Sarkasme adalah gaya bahasa sindiran yang sangat kasar dengan menggunakan bahasa yang tidak sopan”. Suroto (1989:125) menyatakan, “Sarkasme adalah sejenis majas yang mengandung olok-olok atau sindiran yang pedas dan kasar”. Berdasarkan pendapat para pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa atau majas sarkasme adalah gaya bahasa yang mengandung olok-olokan yang sangat kasar dengan menggunakan bahasa yang tidak sopan. Contoh: - Kau memang benar-benar bajingan! - Mukanya seperti aspal. f) Gaya Bahasa atau Majas Oksimoron Salsabila (2011:155) menyatakan, “Majas oksimoron adalah gaya bahasa yang menyatakan suatu yang bertentangan antar bagian-bagiannya”. Suroto (1989:120) menyatakan, “Oksimoron adalah sejenis majas (gaya bahasa) yang berupa pernyataan yang di dalamnya mengandung pertentangan dengan mempergunakan kata-kata yang berlawanan dalam frase atau dalam kalimat yang sama”. Dari pendapat para pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa atau majas oksimoron adalah sejenis gaya bahasa yang menyatakan sesuatu yang bertentangan dengan mempergunakan kata-kata yang berlawanan. Contoh: - Orang bisa mati karena rokok, tetapi ada orang yang tidak bisa hidup karena rokok. - Yang tetap dalam dunia ini adalah perubahan. g) Gaya Bahasa atau Majas Paradoks Suroto (1989:123) menyatakan, “Paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada”. Muda (2006:628) menyatakan, “Paradoks adalah gaya bahasa yang hanya menampakan arti dengan objek yang sebenarnya”. Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa atau majas paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan dengan fakta-fakta yang ada untuk menampakan arti dengan objek yang sebenarnya. Contoh: - Hatinya duka walaupun di ulang tahunnya sangat meriah. - Aku merasa kesepian di kota yang seramai ini. h) Gaya Bahasa atau Majas Antitesis Muda (2006:628) menyatakan, “Antitesis adalah gaya bahasa yang mempergunakan kata-kata yang berlawanan artinya dengan maksud sebagai penekanan pertentangan”. Suroto (1989:117) menyatakan, “Antitesis adalah gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan yang dinyatakan dengan kata-kata yang berlawanan”. Berdasarkan pendapat para pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa atau majas antitesis adalah gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan dengan maksud sebagai penekanan pertentangan. Contoh: - Dia gembira atas kegagalanku dalam ujian. - Kaya atau miskin itu takdir Tuhan. i) Gaya Bahasa atau Majas Kontradiksio Interminis Muda (2006:629) menyatakan, “Kontradiksio interminis adalah gaya bahasa yang menggunakan kata pertentangan penjelasan semula”. Suroto (1989:134) menyatakan, “Kontradiksio interminis adalah sejenis gaya bahasa berupa pernyataan yang isinya bertentangan dengan yang sudah dikemukakan semula”. Berdasarkan pernyataan para pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa atau majas kontradiksio interminis adalah gaya bahasa yang isinya bertentangan dengan yang dikemukakan semula. Contoh: - Semua anak-anakmu penurut, hanya si Agus yang bandel. - Semua sudah hadir kecuali adiknya. 4) Klasifikas Gaya Bahasa atau Majas Pertautan Klasifikasi gaya bahasa atau majas pertautan dibedakan menjadi lima jenis, yaitu: a) Gaya bahasa atau majas sinekdoke, b) Gaya bahasa atau majas metonimia, c) Gaya bahasa atau majas alusio, d) Gaya bahasa atau majas elipsis, dan e) Gaya bahasa atau majas inverse/anastrof. a) Gaya Bahasa atau Majas Sinekdoke Suroto (1989:126) menyatakan, “Sinekdoke adalah gaya bahasa yang menyebutkan nama keseluruhan atau sebaliknya”. Salsabila (2011:158) menyatakan, “Sinekdoke adalah gaya bahasa yang menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhannya atau sebaliknya”. Pradopo (1995:78) menyatakan, “Sinekdoki adalah bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda atau hal itu sendiri”. Berdasarkan pernyataan dari beberapa pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa atau majas sinekdoke adalah gaya bahasa yang menyebutkan suatu bagian sebagai ganti nama keseluruhan atau sebaliknya. Contoh: - Sinekdoke pars prototo: sebagian untuk seluruhnya. Setiap tahun semakin banyak mulut yang harus diberi makan. - Sinekdoke totem pro parte: seluruh untuk sebagian. Indonesia meraih medali emas dalam kejuaraan internasional. b) Gaya Bahasa atau Majas Metonimia Salsabila (2011:158) menyatakan, “Metonimia adalah gaya bahasa yang memakai nama hal yang ditautkan dengan nama orang, barang atau hal lainnya sebagai penggantinya”. Suroto (1989:126) menyatakan, “Metonimia adalah gaya bahasa yang menggunakan nama barang, orang, hal atau ciri sebagai barang itu sendiri”. Berdasarkan pendapat para pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa atau majas metonimia adalah gaya bahasa yang memakai nama hal, barang, orang, dan lain sebagainya sebagai pengganti barang itu sendiri. Contoh: - Kalau ke Semarang, naik saja Senja Utama. - Para siswa di sekolah kami senang sekali membaca Redra. c) Gaya Bahasa atau Majas Alusio Menurut Salsabila (2011:158), “Alusio adalah gaya bahasa yang menunjukkan secara tidak langsung pada suatu tokoh atau peristiwa yang sudah diketahui bersama”. Menurut Suroto (1989:126), “Alusio adalah gaya bahasa yang menunjuk secara tidak langsung ke suatu peristiwa atau tokoh yang telah umum dikenal/diketahui orang”. Berdasarkan pendapat para pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa atau majas alusio adalah gaya bahasa yang menunjuk secara tidak langsung ke suatu peristiwa atau tokoh yang telah umum dikenal bersama. Contoh: - Apakah peristiwa Madiun akan terjadi lagi di sini? - Guru tidaklah harus bernasib seperti Umar Bakri. d) Gaya Bahasa atau Majas Elipsis Salsabila (2011:159) menyatakan, “Elipsis adalah gaya bahasa yang di dalamnya terdapat penghilangan kata atau bagian kalimat”. Suroto (1989:128) menyatakan, “Elipsis adalah gaya bahasa yang di dalamnya terdapat penanggalan atau penghilangan salah satu atau beberapa unsur penting dari suatu kontruksi sintaksis. Berdasarkan pendapat para pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa atau majas elipsis adalah gaya bahasa yang di dalamnya terdapat penghilangan kata atau unsur penting dalam sintaksis. Contoh: - Ayah sedang ke Surabaya (Penghilangan predikat pergi, berangkat) - Lari ! (penghilangan subjek kamu atau kalian) e) Gaya Bahasa atau Majas Inverse/Anastrof Salsabila (2011:159) menyatakan, “Inverse adalah gaya bahasa yang dinyatakan oleh pengubahan susunan kalimat”. Suroto (1989:124) menyatakan, “Anostrof atau inversi adalah sejenis majas retoris yang diperoleh dengan membalikkan susunan kata dalam kalimat atau mengubah urutan unsur-unsur kontruksi sintaksis”. Berdasarkan pendapat para pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa atau majas inverse/anastrof adalah gaya bahasa yang diperoleh dengan membalikan susunan kata atau susunan kalimat. Contoh: - Merantaulah ia ke negeri asing! - Pergi kamu! = kamu pergi 2.1.3 Pengertian Sajak atau Rima “Persajakan (Rima) adalah pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalitas atau orkestrasi,” (Waluyo, 1987:90). Slametmuljana (dikutip Pradopo, 2005:36) menyatakan, “Sajak ialah pola estetika bahasa yang berdasarkan ulangan suara yang diusahakan dan dialami dengan kesadaran”. Menurut Muda (2006:458), “Rima adalah sebuah persajakan”. Azhari (2011:30) menyatakan, “Rima (sajak) adalah pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalisasi atau orkestrasi sehingga puisi menjadi menarik untuk dibaca”. Verly (2008:108) menyatakan, “Rima adalah persamaan bunyi pada akhir baris”. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan sajak atau rima adalah pola estetika bahasa yang berdasarkan pengulangan bunyi suara dalam puisi untuk membentuk musikalitas atau orkestrasi sehingga menarik untuk dibaca”. 2.1.4 Jenis-Jenis Sajak atau Rima Azhari (2011:30) menyatakan, “Dalam puisi banyak jenis sajak atau rima yang dapat kita jumpai, yaitu sebagai berikut: 1) Rima berdasarkan bunyinya, seperti: rima sempurna, rima tak sempurna, rima mutlak, asonansi, aliterasi, disonansi; 2) Rima berdasarkan letaknya, seperti: rima depan, rima tengah, rima datar”. Waluyo (dikutip Azhari, 2011:31) menyatakan, “Berdasarkan letaknya, rima dapat dibedakan menjadi: rima berangkai, rima berselang, rima berpeluk, rima terus, rima patah, rima bebas, efoni, kakafoni”. Pradopo (2005:37) mengemukakan bahwa ada bermacam-macam sajak yang banyak dipergunakan sebagai unsur kepuitisan dalam puisi Indonesia yaitu: sajak akhir, sajak dalam, sajak tengah, aliterasi, dan asonansi. “Dalam puisi kita jumpai banyak jenis rima, antara lain: 1) Rima menurut bunyinya, seperti: rima sempurna, rima tak sempurna, asonansi, aliterasi, disonansi, rima mutlak, 2) Rima menurut letaknya dalam baris puisi, seperti: rima depan, rima tengah, rima akhir, rima tegak, rima datar, 3) Rima menurut letaknya dalam bait puisi, seperti: rima silang, rima berpeluk, rima terus atau rangkai, rima berpasangan atau rima kembar, rima patah,” (Liberatus, 1988:52—57). Amirin (2006:47) menyatakan, “Macam-macam rima dibedakan menjdi dua, yaitu: 1) Rima berdasarkan letaknya pada larik puisi, seperti: rima tegak/vertikal (rima awal, rima tengah, rima akhir), rima akhir dapat dibedakan menjadi, rima sama/lurus/terus, rima silang, rima pasangan, rima genggang/bertaut, berpeluk, rima patah/putus, rima mendatar/horizontal (rima pangkal/aliterasi, rima rangka/disonansi); 2) Rima berdasarkan bunyi yang diulang, seperti: rima mutlak/sempurna, rima penuh, dan rima paruh (asonansi)”. Muda (2006:458) menyatakan, “Macam-macam rima adalah rima akhir, rima berpeluk, rima dalam, rima ganda, dan rima tengah”. Berdasarkan pendapat para pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis sajak atau rima dibedakan menjadi tiga klasifikasi, yaitu: 1) Klasifikasi sajak atau rima berdasarkan bunyinya; 2) Klasifikasi sajak atau rima berdasarkan letaknya dalam baris; dan 3) Klasifikasi sajak atau rima berdasarkan letaknya pada bait. 1) Klasifikasi Sajak atau Rima Berdasarkan Bunyinya Berdasarkan bunyinya, sajak atau rima dibedakan menjadi empat jenis, yakni: a) Sajak atau rima sempurna/mutlak; b) Sajak atau rima asonansi/paruh; c) Sajak atau rima aliterasi/pangkal; dan d) Sajak atau rima disonansi atau rangka. a) Sajak atau Rima Sempurna/Mutlak Amirin (2006:47) menyatakan bahwa sajak atau rima sempurna/mutlak adalah rima yang terdapat pada kata akhir yang bunyi dan bentuknya sama dengan pola (aa/aaa/aaaa). Liberatus (1988:52) mengatakan, “Rima sempurna adalah rima yang terjadi bila seluruh suku akhir sama bunyinya.’ Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sajak atau rima sempurna atau rima mutlak adalah rima yang terjadi bila suku kata akhir bunyi dan bentuknya sama dengan pola (aa/aaa/aaaa). Contoh: Merdeka! (a) Sekali Merdeka (a) Tetap Merdeka (a) b) Sajak atau Rima Asonansi/Paruh Amirin (2006:47) menyatakan bahwa rima paruh/asonansi adalah rima yang terdapat pada suku kata akhir yang bunyinya sama tetapi bentuk berbeda (pola rima: aa/aaa/aaaa). Liberatus (1988:52) menyatakan, “Rima asonansi adalah perulangan bunyi vokal dalam satu kata”. Dari pernyataan pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa rima atau sajak asonansi adalah rima atau sajak yang terdapat pada kata akhir yang bunyinya sama karena disebabkan oleh perulangan bunyi vokal sama dalam satu kata. Contoh: - ...... alun - .... ayun - ....... benam - .... kelam - ....... keladi - ..... merapi c) Sajak atau Rima Aliterasi/Pangkal Amirin (2006:47) menyatakan bahwa sajak atau rima aliterasi atau pangkal terdapat pada kata-kata dalam sebuah larik puisi yang diawali dengan fonem yang sama. Liberatus (1988:52) menyatakan, “Aliterasi adalah perulangan bunyi konsonan depan setiap kata secara berurutan”. Dari pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa sajak atau rima aliterasi/pangkal adalah rima yang pada sebuah lariknya diawali oleh kata-kata dengan fonem konsonan yang sama. Contoh: bukan beta bijak berperi mukanya merah menahan marah d) Sajak atau Rima Disonansi/Rangka Amirin (2006:47) menyatakan bahwa sajak atau rima disonansi adalah rima yang terdapat pada kata-kata yang memiliki konsonan sama pada sebuah larik puisi. Liberatus (1988:52) menyatakan, “Sajak atau rima disonansi adalah rima atau sajak yang bila konsonan-konsonan yang membentuk kata itu sama, namun vokalnya berbeda”. Berdasarkan uraian dari beberapa pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa sajak atau rima disonansi adalah sajak yang terdapat kata-kata yang dibentuk dari konsonan yang sama pada larik puisi. Contoh: - giling dan gulung - jinjing dan junjung - gigis gugus gagas 2) Klasifikasi Sajak atau Rima Berdasarkan Letaknya dalam Baris Berdasarkan letaknya dalam baris, sajak atau rima dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: a) Sajak atau rima depan/awal; b) Sajak atau rima tengah; dan c) Sajak atau rima akhir. a) Sajak atau Rima Depan/Awal Amirin (2006:47) menyatakan bahwa rima depan atau awal adalah rima yang terletak pada awal larik-larik puisi dalam satu bait. Liberatus (1988:52) menyatakan, “Rima depan terjadi bila kata pada permulaan baris sama”. Dari pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa sajak atau rima depan/awal adalah sajak atau rima yang terjadi bila awal larik-larik puisi dalam satu bait sama. Contoh: Sering saya susah sesaat sebab madahan tidak nak datang. Sering saya sulit menekat sebab tekurung lukisan mamang b) Sajak atau Rima Tengah Amirin (2006:47) menyatakan bahwa sajak atau rima tengah adalah rima yang terletak ditengah-tengah larik puisi. Liberatus (1988:52) menyatakan, “Rima tengah adalah rima yang bila kata atau suku kata di tengah baris suatu puisi sama”. Muda (2006:458) menjelaskan, “Rima tengah adalah rima antara suku kata pada posisi yang yang sama yang terdapat pada dua kata dalam satu larik sajak”. Dari pernyataan-pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa rima tengah adalah rima yang kata atau suku kata di tengah baris puisi terdapat kesamaan. Contoh: Dahulu loyang sekarang besi Dahulu sayang sekarang benci c) Sajak atau Rima Akhir Amirin (2006:47) menyatakan bahwa sajak atau rima akhir adalah rima yang terletak pada akhir larik-larik puisi. Liberatus (1988:52) menyatakan, “Rima akhir adalah rima yang terjadi bila perulangan kata terletak pada akhir baris”. Muda (2006:458) menyatakan, “Rima akhir adalah rima yang terdapat pada larik akhir sebuah sajak.” Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa sajak atau rima akhir adalah rima yang di akhir setiap larik puisi mengalami pengulangan kata. Contoh: di mata air, di dasar kolam kucari jawab teka-teki alam 3) Klasifikasi Sajak atau Rima Berdasarkan Letaknya pada Bait Berdasarkan letaknya pada bait puisi, sajak atau rima dibedakan menjadi lima jenis, yaitu: a) Sajak atau rima silang; b) Sajak atau rima berpeluk; c) Sajak atau rima sama; d) Sajak atau rima berpasangan; dan e) Sajak atau rima patah. a) Sajak atau Rima Silang Amirin (2006:47) menyatakan bahwa sajak atau rima silang adalah rima yang memiliki bunyi yang sama secara bersilang, dengan pola aa/aaa/aaaa. Liberatus (1988:55) menyatakan, “Rima silang adalah rima yang bila baris pertama berirama dengan baris ketiga dan baris kedua berima dengan baris keempat”. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa sajak atau rima silang adalah sajak yang mempunyai bunyi bersilang antara baris pertama dan ketiga, serta baris kedua dan keempat (pola abab). Contoh: berakit-rakit ke hulu berenang-renag ketepian bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian b) Sajak atau Rima Berpeluk/Genggang/Bertaut “Rima berpeluk adalah rima yang bila baris pertama berima dengan baris keempat, dan baris kedua berima dengan baris ketiga,” (Liberatus, 1988:55). Muda (2006:458) menjelaskan bahwa rima berpeluk adalah rima akhir pada bait berlarik genap, yang larik pertamanya berima dengan larik keempat dan larik keduanya berima dengan larik ketiga. Berdasarkan pengertian dari pakar-pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa sajak atau rima berpeluk adalah rima yang berbait genap dan terjadi persamaan pada larik pertama dan keempat serta larik kedua dan ketiga (pola abba). Contoh: .... malam (a) .... sepi (b) .... sendiri (b) .... diam (a) c) Sajak atau Rima Sama/Terus/Rangkai/Lurus Amirin (2006:47) menyatakan bahwa sajak atau rima sama adalah rima yang terletak pada akhir larik-larik puisi. Liberatus (1988:56), “Rima terus adalah rima yang bila baris terakhir puisi itu seluruhnya memiliki rima yang sama”. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa sajak atau rima sama/terus/rangkai/lurus adalah sajak atau rima yang terletak pada akhir larik-larik puisi yang semuanya sama (pola aa/aaa/aaaa). Contoh: barang siapa tidak sembahyang seperti rumah tidak bertiang d) Sajak atau Rima Berpasangan/Kembar Amirin (2006:47) menyatakan bahwa sajak atau rima berpasangan adalah rima yang bunyinya sama dan berjumlah sepasang-sepasang. Liberatus (1988:56), “Rima berpasangan adalah yang bila baris yang berima itu berpasang-pasangan”. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa rima berpasangan adalah rima yang bunyi sama dan berjumlah berpasangan (pola aabb). Contoh: pimping, kerap kudengarkan bahana desaumu (a) bila angin lemah berembus kelilingmu (a) puncakmu terkulai laku merendahkan diri (b) engkau tunduk bernyanyikan duka yang menyayat hati (b) e) Sajak atau Rima Patah/Putus Amirin (2006:47) menyatakan bahwa sajak atau rima patah/putus adalah rima yang berpola abcde. Liberatus (1988: 56), “Rima patah adalah rima yang bila salah satu baris tidak mengikuti rima baris lainnya dalam satu bait”. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa rima patah/putus adalah rima yang yang salah satunya atau semua kata akhirnya tidak sama (pola abcde). Contoh: ...... sadar (a) ...... berjuang (b) ...... negeri (c) 2.2 Kajian Terdahulu yang Relevan Penelitian ini berjudul, “Analisis Jenis Gaya Bahasa dan Persajakan pada Syair Lagu-Lagu Afgan dalam Album Conffension No.1”. Penelitian serupa tentang gaya bahasa juga pernah diteliti oleh Fera Yunita Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Palembang pada tahun 2008 dengan judul, “Gaya Bahasa dalam Syair-Syair Lagu Letto”. Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa terdapat gaya bahasa dalam syair-syair lagu Letto. Gaya bahasa yang terdapat dalam penelitian tersebut adalah gaya bahasa perbandingan, gaya bahasa pertentangan, gaya bahasa pertautan, dan gaya bahasa perulangan. Persamaan antara penelitian Fera Yunita dengan penelitian ini adalah sama-sama mendeskripsikan gaya bahasa dalam syair-syair lagu. Sedangkan perbedaannya terletak pada objek yang diteliti dan penambahan analisis persajakan. Fera Yunita meneliti syair-syair lagu Letto edisi Don’t Make Me Sad di-aransemen tahun 2007 sedangkan penulis meneliti syair-syair lagu Afgan dalam album Conffension No.1 tahun 2008. BAB III PROSEDUR PENELITIAN 3.1 Definisi Operasional Istilah Analisis adalah kegiatan memecahkan suatu permasalahan dengan melakukan pengamatan tentang suatu objek yang kemudian mencoba untuk menemukan suatu hasil dari pengamatan tersebut. Gaya bahasa atau majas adalah suatu sistem bahasa yang menggunakan kata-kata kiasan yang timbul dari hati seorang penulis untuk mengemukakan suatu maksud dengan cara menyamakan dengan sesuatu yang lain. Sajak atau rima adalah pola estetika bahasa yang berdasarkan pengulangan bunyi suara dalam puisi untuk membentuk musikalitas atau orkestrasi sehingga menarik untuk dibaca. Berdasarkan dari pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa “Analisis Gaya Bahasa dan Persajakan pada Syair Lagu-Lagu Afgan dalam Album Conffension No.1” adalah kegiatan dalam bentuk pengamatan yang mencoba untuk menemukan jenis rangkaian sistem bahasa yang mengandung kata-kata kiasan serta pengulangan bunyi yang terjadi pada syair lagu-lagu Afgan dalam album Conffension No.1. 3.2 Sumber Data Sumber data pada penelitian ini menggunakan situs media MP3 lagu-lagu Afgan dalam album Conffension No.1 pada tahun 2008 produksi Wannab Music Production dan dipasarkan oleh Sony BMG Indonesia yang berjumlah tiga belas lagu. Judul lagu-lagu dalam album tersebut yaitu sebagai berikut. 1) Tanpa Batas Waktu 2) Terima Kasih Cinta 3) Klise 4) Entah 5) Yang Ku Tahu Cinta Itu Indah 6) Hanya Ada Satu 7) Betapa Ku Cinta Padamu 8) Sadis 9) Shanty Lussy 10) I.L.U 11) Hilang Rasa 12) Biru 13) My Confession (Bonus Track) Berdasarkan tinjauan awal yang dilakukan penulis dari tiga belas lagu pada album Conffension No.1, maka penulis hanya akan menganalisis sebanyak sepuluh lagu saja, yaitu sebagai berikut. 1) Tanpa Batas Waktu 2) Terima Kasih cinta 3) Klise 4) Entah 5) Hanya Ada Satu 6) Betapa Ku Cinta Padamu 7) Sadis 8) Shanty Lussy 9) Hilang rasa 10) Biru Pemilihan sepuluh lagu tersebut didasari oleh beberapa alasan, diantaranya: 1) Berdasarkan kajian awal, ditemukan beberapa gaya bahasa dan persajakan; 2) Sepuluh lagu tersebut mengunakan bahasa Indonesia secara utuh; 3) Lagu-lagu tersebut banyak digemari oleh masyarakat, terbukti dalam sebuah situs internet lagu-lagu tersebut menduduki posisi puncak untuk peringkat lagu yang sering di-download masyarakat dibandingkan lagu-lagu lainnya dalam album Conffension No.1. 3.3 Metode Penelitian “Metode adalah suatu cara utama yang dilakukan atau dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan,” Arikunto (dikutip Mardiana, 2006:19). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. “Metode deskriptif analisis adalah metode yang membicarakan beberapa kemungkinan untuk memecahkan masalah aktual dengan jalan mengumpulkan data, menyusun atau mengklasifikasikan, menganalisis, dan menginterpretasikannya,” Surakhmad (dikutip Yunita, 2008:11). Artinya, penelitian ini memberikan deskripsi yang jelas dan analisis yang akurat mengenai jenis gaya bahasa dan persajakan pada syair lagu-lagu Afgan dalam album Conffension No.1. 3.4 Pendekatan Semi (2001:19) menyatakan, “Pendekatan adalah asumsi atau suatu anggapan dasar yang dijadikan pegangan dalam memandang suatu objek atau pola pikir dalam perumusan dasar-dasar teoretis suatu penelitian”. Adapun pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan stilistika. . Semi (2001:81) menyatakan bahwa pendekatan stilistika adalah pendekatan yang bertolak dari asumsi bahwa bahasa mempunyai tugas penting dalam kehadiran karya sastra. Pendekatan ini menitikberatkan kepada pemakaian kebahasaan yang kreatif dan merupakan hasil ekspresi gagasan penulis. Tujuan melakukan pendekatan stilistika dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mendeskripsikan gaya bahasa dan persajakan pada syair lagu-lagu Afgan dalam album Conffension No.1. 3.5 Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis karya. Suroto (dikutip Yunita, 2008:14) menyatakan, “Teknik analisis karya adalah suatu penyelidikan dengan mengadakan penelitian atau penganalisisan dari hasil karya seseorang”. Teknik analisis karya tersebut dapat dipergunakan untuk menganalisis jenis gaya bahasa dan persajakan pada syair lagu-lagu Afgan dalam album Conffension No.1. Langkah-langkah kerja yang dilakukan untuk menganalisis data dengan menggunakan teknik analisis karya adalah sebagai berikut. 1) Memberi nomor pada setiap larik syair lagu secara berurutan yang diletakkan diujung setiap larik syair lagu. 2) Mengindentifikasi jenis gaya bahasa dan persajakan yang terdapat dalam setiap larik syair lagu. 3) Mengklasifikasikan jenis gaya bahasa dan persajakan yang telah diidentifikasi pada setiap larik/baris dalam setiap lagu. 4) Mendeskripsikan hasil analisis tentang jenis gaya bahasa dan persajakan yang telah diklasifikasikan. 5) Membuat rekapitulasi dan menghitung jumlah jenis gaya bahasa dan persajakan dalam album tersebut agar diketahui gaya bahasa dan persajakan apa yang dominan pada syair lagu-lagu Afgan dalam album Conffension No.1. 6) Membuat kesimpulan dari hasil yang telah diketahui berupa gaya bahasa dan persajakan apa yang dominan pada syair lagu Afgan dalam album Conffension No.1. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Deskripsi Data Data dalam penelitian ini adalah syair lagu-lagu Afgan dalam album Conffension No.1. Album ini dibuat pada tahun 2008 dan diproduksi oleh Wannab Music Production dan dipasarkan oleh Sony BMG Indonesia yang berjumlah tiga belas lagu. Dari tiga belas lagu yang terdapat dalam album tersebut, penulis akan meneliti sebanyak sepuluh lagu saja. Pemilihan sepuluh lagu tersebut didasari oleh beberapa alasan, diantaranya: 1) Berdasarkan kajian awal, ditemukan beberapa gaya bahasa dan persajakan; 2) Sepuluh lagu tersebut mengunakan bahasa Indonesia secara utuh; (3) Lagu-lagu tersebut banyak digemari oleh masyarakat, terbukti dalam sebuah situs internet lagu-lagu tersebut menduduki posisi puncak untuk peringkat lagu yang sering di-download masyarakat dibandingkan lagu-lagu lainnya dalam album Conffension No.1. Adapun kesepuluh judul lagu yang akan penulis analisis yaitu: 1) Tanpa Batas Waktu; 2) Terima Kasih Cinta; 3) Klise; 4) Entah; 5) Hanya Ada Satu; 6) Betapa Ku Cinta Padamu; 7) Sadis; 8) Shanty Lussy; 9) Hilang Rasa; dan 10) Biru. Dari sepuluh lagu yang akan dianalisis, penulis menandai setiap syair lagu dengan memberi penomoran pada setiap ujung larik-lariknya. Kemudian, penulis menganalisis lagu-lagu tersebut berdasarkan jenis gaya bahasa dan persajakannya. Adapun jenis gaya bahasa atau majas yang akan dijadikan acuan penelitian ada empat jenis klasifikasi, yaitu: 1) Klasifikasi gaya bahasa atau majas perbandingan; 2) Klasifikasi gaya bahasa atau majas penegasan atau perulangan; 3) Klasifikasi gaya bahasa atau majas pertentangan; dan 4) Klasifikasi gaya bahasa atau majas pertautan. Sedangkan, klasifikasi jenis persajakan atau rima yang akan dijadikan acuan penelitian ada tiga, yaitu: 1) Klasifikasi sajak atau rima berdasarkan bunyinya; 2) Klasifikasi sajak atau rima berdasarkan letaknya dalam baris; dan 3) Klasifikasi sajak atau rima berdasarkan letaknya pada bait . 4.1.1.1 Deskripsi Data Syair Lagu Afgan “Tanpa Batas Waktu” dalam Album Conffension No.1 Tanpa Batas Waktu Bukan sekali, aku alami (1) Getaranmu menyentuhku (2) Tidak berhenti, mencari-cari (3) Untuk bisa milikimu (4) Mencoba bisa melawan (5) Tetapi semakin tertawan (6) Ku jatuh cinta, jatuh untuk kesekian kalinya (7) Cintai kamu (8) Terlanjur cinta, terlanjur aku inginkan cinta (9) Tergila-gila memuja (10) Tanpa batas waktu (11) Dulu pergi (12) Mencoba lari (13) Ku terhenti (14) Menghapusmu (15) Tak ku mengerti (16) Terjadi lagi (17) Ku bisa milikimu (18) Mencoba bisa melawan (19) Tetapi semakin tertawan (20) Ku jatuh cinta, jatuh untuk kesekian kalinya (21) Cintai kamu (22) Terlanjur cinta, terlanjur aku inginkan cinta (23) Tergila-gila memuja (24) Tanpa batas waktu (25) 1) Deskripsi Data Gaya Bahasa dalam Syair Lagu Afgan “Tanpa Batas Waktu” Dalam lagu “Tanpa Batas Waktu”, dapat dideskripsikan bahwa dalam lagu tersebut ditemukan ada enam jenis gaya bahasa atau majas, yaitu: a) Gaya bahasa atau majas tautologi/tautotes; b) Gaya bahasa atau majas enomerasio/enumerasi; c) Gaya bahasa atau majas hiperbola; d) Gaya bahasa atau majas antitesis; e) Gaya bahasa atau majas elipsis dan f) Gaya bahasa atau majas inverse/anastrof. a) Gaya Bahasa atau Majas Tautologi/Tautotes Dalam syair lagu “Tanpa Batas Waktu” tersebut, gaya bahasa atau majas tautologi/tautotes ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (7) dan (9). 1) “Ku jatuh cinta, jatuh untuk kesekian kalinya” (7) 2) “Terlanjur cinta, terlanjur aku inginkan cinta (9) Dalam penggalan syair lagu nomor (7) dan (9) di atas, dipergunakan pengulangan kata “jatuh” dan “terlanjur” yang diulang sebanyak dua kali dalam satu kontruksi kalimat. b) Gaya Bahasa atau Majas Enomerasio/Enumerasi Dalam syair lagu “Tanpa Batas Waktu” tersebut, gaya bahasa atau majas enomerasio/enumerasi ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (7). 1) “Ku jatuh cinta, jatuh untuk kesekian kalinya” (7) Dalam penggalan syair lagu nomor (7), terdapat frasa “kesekian kalinya” yang berarti memberikan penjelasan secara lugas dan mendetil sehingga maksud si penulis terasa sangat mudah terdeskripsi oleh pendengar/pembaca. c) Gaya Bahasa atau Majas Hiperbola Dalam syair lagu “Tanpa Batas Waktu” tersebut, gaya bahasa atau majas hiperbola ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (10). 1) “Tergila-gila memuja” (10) Dalam penggalan syair lagu nomor (10) di atas, dijelaskan bahwa penulis lagu memuja kekasih hatinya hingga tergila-gila. Secara pemaknaan, penggunaan kata “tergila-gila” pada penggalan syair lagu di atas dianggap berlebih-lebihan. d) Gaya Bahasa atau Majas Antitesis Dalam syair lagu “Tanpa Batas Waktu” tersebut, gaya bahasa atau majas antitesis ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (5) dan (6). 1) “Mencoba bisa melawan” (5) “Tetapi semakin tertawan” (6) Dalam penggalan syair lagu nomor (5) dan (6) di atas, mempunyai gagasan yang bertentangan. Pertentangan tersebut terlihat pada hubungan syair nomor (5) dan (6) yang menyatakan bahwa ketika si penulis lagu mencoba untuk bisa melawan, tetapi justru semakin tertawan. Konjungsi “tetapi” menyatakan pertentangan yang dimaksudkan dalam penggalan syair lagu nomor (5) tersebut. e) Gaya Bahasa atau Majas Elipsis Dalam syair lagu “Tanpa Batas Waktu” tersebut, gaya bahasa atau majas elipsis ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (3), (5) dan (8). 1) “Tidak berhenti, mencari-cari” (3) 2) “Mencoba bisa melawan” (5) 3) “Cintai kamu” (8) Dalam penggalan syair lagu nomor (3), (5) dan (8) di atas, jika dikaji berdasarkan fungsi sintaksis, maka frasa “Tidak berhenti, mencari-cari,” dan “Mencoba bisa melawan” hanya memiliki sebuah predikat. Dalam kontruksinya, penggalan syair lagu tersebut terjadi penghilangkan fungsi subjek pelaku. Penulis lagu langsung mengawalinya dengan fungsi predikat. Seharusnya untuk membentuk sebuah kontruksi klausa/kalimat yang tepat, maka perlu ditambahkan sebuah subjek dalam bentuk nomina/kata benda seperti kata “saya”, “aku” dan lain-lain. Sebagai contoh: “Aku tak berhenti, mencari-cari”, “Aku mencoba bisa melawan”, “Ku cintai kamu”. f) Gaya Bahasa atau Majas Inverse/Anastrof Dalam syair lagu “Tanpa Batas Waktu” tersebut, gaya bahasa atau majas inverse/anastrof ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (9) dan (16). 1) “Terlanjur cinta, terlanjur aku inginkan cinta” (9) 2) “Tak ku mengerti” (16) Dalam penggalan syair nomor (9) dan (16) di atas, terjadi pertukaran antara fungsi subjek dan predikat. Penyusunan syair lagu tersebut terdiri atas predikat-subjek. Pada kalimat “Terlanjur aku ….”, seharusnya “Aku terlanjur ....,” demikian juga dengan “Tak ku mengerti”, seharusnya “Ku tak mengerti”. 2) Deskripsi Data Persajakan dalam Syair Lagu Afgan “Tanpa Batas Waktu” Dalam lagu “Tanpa Batas Waktu”, dapat dideskripsikan bahwa dalam lagu tersebut ditemukan ada enam jenis sajak atau rima, yaitu: a) Sajak atau rima asonansi/paruh; b) Sajak atau rima aliterasi/pangkal; c) Sajak atau rima tengah; d) Sajak atau rima akhir; e) Sajak atau rima silang dan f) Sajak atau rima berpeluk/genggang/bertaut. a) Sajak atau Rima Asonansi/Paruh Dalam syair lagu “Tanpa Batas Waktu” tersebut, sajak atau rima asonansi/paruh ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (5) dan (6). “ Mencoba bisa melawan” (5) “Tetapi semakin tertawan” (6) (Bait ke-1) Dalam penggalan syair lagu nomor (5) dan (6) di atas, terdapat kata akhir “melawan” dan “tertawan”. Kedua kata tersebut mempunyai perulangan bunyi vokal yang sama, yaitu: vokal /e/, /a/ dan /a/. b) Sajak atau Rima Aliterasi/Pangkal Dalam syair lagu “Tanpa Batas Waktu” tersebut, sajak atau rima aliterasi/pangkal ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (9), (10) dan (11). “Terlanjur cinta, terlanjur aku inginkan cinta” (9) “Tergila-gila memuja” (10) “Tanpa batas waktu” (11) (Bait ke-2) Dalam penggalan syair lagu nomor (9), (10) dan (11) di atas, sama-sama diawali oleh konsonan “T” di awal larik. Hal ini dapat dilihat dari penggalan kata “terlanjur”, “tergila”, dan “tanpa”. c) Sajak atau Rima Tengah Dalam syair lagu “Tanpa Batas Waktu” tersebut, sajak atau rima tengah ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (4) dan (5), serta penggalan syair lagu nomor (18) dan (19). “Untuk bisa memilikimu” (4) “Mencoba bisa melawan” (5) (Bait ke-1) “Ku bisa milikimu” (18) “Mencoba bisa melawan” (19) (Bait ke-3) Dalam penggalan syair lagu nomor (4) dan (5), serta penggalan syair lagu nomor (18) dan (19) di atas, terdapat kata yang sama, yaitu: kata “bisa” yang sama-sama terletak di tengah-tengah kalimat dalam penggalan syair tersebut. d) Sajak atau Rima Akhir Dalam syair lagu “Tanpa Batas Waktu” tersebut, sajak atau rima akhir ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (5) dan (6). “Mencoba bisa melawan” (5) “Tetapi semakin tertawan” (6) (Bait ke-1) Dalam penggalan syair lagu nomor (5) dan (6) di atas, terdapat kata akhir “melawan” dan “tertawan”. Dan kedua kata tersebut sama-sama mendapatkan akhiran suku kata “wan”. e) Sajak atau Rima Silang Dalam syair lagu “Tanpa Batas Waktu” di atas, sajak atau rima silang ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (1), (2), (3) dan (4). “Bukan sekali, aku alami” (1) “Getaranmu menyentuhku” (2) “Tidak berhenti. mencari-cari” (3) “Untuk bisa milikimu” (4) (Bait ke-1) Dalam penggalan syair lagu nomor (1), (2), (3) dan (4) di atas, diakhiri dengan kata “alami”, “menyentuhku”, “mencari-cari” dan “milikimu”. Apabila dianalisis, sajak pertama sama dengan sajak ketiga yaitu diakhiri dengan fonem /i/ yang disimbolkan dengan sajak (a), sedangkan sajak kedua sama dengan sajak keempat yaitu diakhiri dengan fonem /u/ yang disimbolkan dengan sajak (b). Sehingga, syair lagu di atas memiliki pola abab. f) Sajak atau Rima Berpeluk/Genggang/Bertaut Dalam syair lagu “Tanpa Batas Waktu” di atas, sajak atau rima berpeluk/genggang/bertaut ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (8), (9), (10) dan (11), serta penggalan syair lagu nomor (15), (16), (17) dan (18). “Cintai kamu” (8) “Terlanjur cinta, terlanjur aku inginkan cinta” (9) “Tergila-gila memuja” (10) “Tanpa batas waktu” (11) (Bait ke-2) “Menghapusmu” (15) “Tak ku mengerti” (16) “Terjadi lagi” (17) “Ku bisa milikimu” (18) (Bait ke-3) Dalam penggalan syair lagu nomor (8), (9), (10) dan (11), diakhiri dengan kata “kamu”, “cinta”, “memuja” dan “waktu”. Demikian juga dengan penggalan syair lagu nomor (15), (16), (17) dan (18), diakhiri dengan kata “menghapusmu”, “mengerti”, “lagi” dan “milikimu”. Apabila dianalisis, sajak pertama sama dengan sajak keempat yaitu diakhiri dengan fonem /u/ yang disimbolkan dengan sajak (a), sedangkan sajak kedua sama dengan sajak ketiga yaitu diakhiri dengan fonem /a/ yang disimbolkan dengan sajak (b). Sehingga, syair lagu di atas memiliki pola abba. 4.1.1.2 Deskripsi Data Syair Lagu Afgan “Terima Kasih Cinta” dalam Album Conffension No.1 Terima Kasih Cinta Tersadar di dalam sepiku (1) Setelah jauh melangkah (2) Cahaya kasihmu menuntunku (3) Kembali dalam dekap tanganmu (4) Terima kasih cinta untuk segalanya (5) Kau berikan lagi kesempatan itu (6) Tak akan terulang lagi (7) Semua kesalahanku yang pernah menyakitimu (8) Tanpamu tiada berarti (9) Tak mampu lagi berdiri (10) Cahaya kasihmu menuntunku (11) Kembali dalam dekapan tanganmu (12) Terima kasih cinta untuk segalanya (13) Kau berikan lagi kesempatan itu (14) Tak akan terulang lagi (15) Semua kesalahanku yang pernah menyakitimu (16) ouuwwww... (17) ouuwwww... (18) Terima kasih cinta untuk segalanya (19) Kau berikan lagi kesempatan itu (20) Tak akan terulang lagi (21) Semua kesalahanku (22) oouuwww (23) Kesalahanku yang pernah menyakitimu (24) 1) Deskripsi Data Gaya Bahasa dalam Syair Lagu Afgan “Terima Kasih Cinta” Dalam lagu “Terima Kasih Cinta”, dapat dideskripsikan bahwa dalam lagu tersebut ditemukan ada empat jenis gaya bahasa atau majas, yaitu: a) Gaya bahasa atau majas metafora; b) Gaya bahasa atau majas hiperbola; c) Gaya bahasa atau majas sinekdoke totem pro parte dan d) Gaya bahasa atau majas elipsis. a) Gaya Bahasa atau Majas Metafora Dalam syair lagu “Terima Kasih Cinta” tersebut, gaya bahasa atau majas metafora ditemukan dalam penggalan syair nomor (3) dan (4). 1) ”Cahaya kasihmu menuntunku” (3) 2) “Kembali dalam dekap tanganmu” (4) Dalam penggalan syair lagu nomor (3) dan (4) di atas, ditemukan frasa “cahaya kasih” dan “dekap tangan”. Ketika dikaji berdasarkan pemaknaannya, frasa “cahaya kasih” merupakan kiasan langsung yang sebanding dengan sebuah kata “kesetiaan”, sedangkan frasa “dekap tangan” merupakan kiasan langsung yang sebanding dengan kata “kehidupan”. b) Gaya Bahasa atau Majas Hiperbola Dalam syair lagu “Terima Kasih Cinta” tersebut, gaya bahasa atau majas hiperbola ditemukan pada penggalan syair lagu nomor (9). 1) “Tanpamu tiada berarti” (9) Dalam penggalan syair lagu nomor (9) di atas, kalimat “Tanpamu tiada berarti” memberikan asumsi yang berlebih-lebihan dikarenakan dalam syair lagu tersebut disebabkan ketidakhadiran seseorang menyebabkan sebuah kehidupan menjadi tidak berkesan/bermakna. c) Gaya Bahasa atau Majas Sinekdoke Totem Pro Parte Dalam syair lagu “Terima Kasih Cinta” tersebut, gaya bahasa atau majas sinekdoke totem pro parte ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (5) dan (8). 1) “Terima kasih cinta untuk segalanya” (5) 2) “Semua kesalahanku yang pernah menyakitimu” (8) Dalam penggalan syair lagu nomor (5) dan (8), terdapat kata “segala” dan “semua kesalahanku” yang pada hakikatnya merujuk pada beberapa hal saja. Penyebutan sebuah kata yang menyatakan keseluruhan namun makna yang dirujuk adalah sebagian itulah yang disebut dengan gaya bahasa atau majas sinekdoke totem pro parte. d) Gaya Bahasa atau Majas Elipsis Dalam syair lagu “Terima Kasih Cinta” tersebut, gaya bahasa atau majas elipsis ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (1). 1) “Tersadar di dalam sepiku” (1) Dalam penggalan syair lagu nomor (1) di atas, terdapat penghilangan unsur subjek. Dalam penggalan syair lagu nomor (1) dibangun oleh kontruksi fungsi predikat-keterangan. Seharusnya, dalam kontruksi kalimat tersebut diberikan pronomina pertama atau nomina seperti kata “ku”, “aku”, “saya” dan lain-lain. Jadi, dapat terbentuk susunan kontruksi kalimat yang tepat, yaitu: “Ku (S) tersadar (P) di dalam sepiku (K)”. 2) Deskripsi Data Persajakan dalam Syair Lagu “Terima Kasih Cinta” Dalam lagu “Terima Kasih Cinta”, dapat dideskripsikan bahwa dalam lagu tersebut ditemukan ada empat jenis sajak atau rima, yaitu: a) Sajak atau rima aliterasi/pangkal; b) Sajak atau rima sama/terus/rangkai/lurus; c) sajak atau rima berpasangan/kembar; d) Sajak atau rima patah/putus. a) Sajak atau Rima Aliterasi/Pangkal Dalam syair lagu “Terima Kasih Cinta” tersebut, sajak atau rima aliterasi/pangkal ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (9) dan (10). “Tanpamu tiada berarti” (9) “Tak mampu lagi berdiri” (10) (Bait ke-3) Dalam penggalan syair lagu nomor (9) dan (10) di atas, sama-sama diawali oleh konsonan /t/ di awal larik. Hal ini dapat dilihat dari kata “tanpamu” dalam syair lagu nomor (9) dan kata “tak” dalam syair lagu nomor (10). b) Sajak atau Rima Sama/Terus/Rangkai/Lurus Dalam syair lagu “Terima Kasih Cinta” tersebut, sajak atau rima sama/terus/rangkai/lurus ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (3) dan (4). “Cahaya kasihmu menuntunku” (3) “Kembali dalam dekap tanganmu” (4) (Bait ke-1) Dalam penggalan syair nomor (3) dan (4) di atas, sama-sama diakhiri dengan vokal /u/ yang berarti mempunyai sajak yang dapat disimbolkan dengan pola aa. c) Sajak atau Rima Berpasangan/Kembar Dalam syair lagu “Terima Kasih Cinta” tersebut, sajak atau rima berpasangan/kembar ditemukan dalam syair lagu nomor (9), (10), (11) dan (12). “Tanpamu tiada berarti” (9) “Tak mampu lagi berdiri” (10) “Cahaya kasihmu menuntunku” (11) “Kembali dalam dekapan tanganmu” (12) (Bait ke-3) Dalam penggalan syair lagu nomor (9), (10), (11) dan (12) di atas, diakhiri kata “berarti”, “berdiri”, “menuntunku”,dan “tanganmu”. Keempat baris tersebut secara berurut diakhiri vokal /i/, /i/, /u/, /u/. Karena sajak penggalan syair lagu nomor (9) sama dengan sajak penggalan syair nomor (10) dan sajak penggalan syair lagu nomor (11) sama dengan sajak penggalan syair nomor (12), maka dapat disimbolkan bahwa bait puisi di atas berpola aabb. d) Sajak atau Rima Patah/Putus Dalam syair lagu “Terima Kasih Cinta” tersebut, sajak atau rima patah/putus ditemukan dalam penggalan syair nomor (5), (6), dan (7). “Terima kasih cinta untuk segalanya” (5) “Kau berikan lagi kesempatan itu” (6) “Tak akan terulang lagi” (7) (Bait ke-2) Dalam penggalan syair lagu nomor (5), (6), dan (7) di atas, diakhiri dengan kata “segalanya”, “itu”, dan “lagi”. Ketiga penggalan syair tersebut diakhiri dengan vokal /a/, /u/, dan /i/. Karena ketiga vokal akhir penggalan syair nomor (5), (6), dan (7) berbeda semua, maka kontruksi persajakannya dapat disimbolkan dengan pola abc. 4.1.1.3 Deskripsi Data Syair Lagu Afgan “Klise” dalam Album Conffension No.1 Klise Ceritakanlah apa saja (1) Ciptakan alasan berbeda (2) Tapi tak buat diriku suka (3) Mungkin karena tersimpan dusta (4) Sudah bosan klise, klise semua (5) Tak bosan-bosan, buat klise lainnya (6) Cari saja orang yang mau terima gayamu (7) Tapi bukan aku orangnya.... (8) Semula ku diamkan saja (9) Menunggu tanda kau berubah (10) Tapi lama-lama bisa gila (11) Tak jelas lagi mana yang bukan dusta (12) Sudah bosan klise, klise semua (13) Tak bosan-bosan, buat klise lainnya (14) Cari saja orang yang mau terima gayamu (15) Tapi bukan aku orangnya.... (16) Sudah ku terima sebagai pengalaman baru untukku (17) Bahwa ada manusia seperti kamu, (18) Ohh...O (19) Sudah bosan klise, klise semua (20) Tak bosan-bosan, buat klise lainnya (21) Klise... klise, ahayyy.. (22) Semua klise... (23) Cari saja orang yang mau terima gayamu (24) Tapi bukan aku orangnya.... (25) 1) Deskripsi Data Gaya Bahasa dalam Syair Lagu “Klise” Dalam lagu “Klise”, dapat dideskripsikan bahwa dalam lagu tersebut ditemukan ada lima jenis gaya bahasa atau majas, yaitu: a) Gaya bahasa atau majas tautologi/tautotes; b) Gaya bahasa atau majas hiperbola; 3) Gaya bahasa atau majas paradoks; 4) Gaya bahasa atau majas elipsis dan 5) Gaya bahasa atau majas inverse/anastrof. a) Gaya Bahasa atau Majas Tautologi/Tautotes Dalam syair lagu “Klise” di atas, gaya bahasa atau majas tautologi/tautotes ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (5). 1) “Sudah bosan klise, klise semua” (5) Pada penggalan syair lagu nomor (5) di atas, terjadi pengulangan kata “Klise” sebanyak dua kali dalam sebuah kontruksi kalimat. Pengulangan tersebut mengolongkan penggalan syair lagu di atas sebagai gaya bahasa atau majas tautologi/tautotes. b) Gaya Bahasa atau Majas Hiperbola Dalam syair lagu “Klise” di atas, gaya bahasa atau majas hiperbola ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (10) dan (11). 1) “Menunggu tanda kau berubah” (10) “Tapi lama-lama bisa gila” (11) Dalam penggalan syair lagu nomor (11) berhubungan dengan syair lagu nomor (10). Frasa “bisa gila” dianggap berlebih-lebihan sebagai pilihan kata yang ditulis oleh penulis syair lagu tersebut. Hal tersebut dikarenakan kausalitas antara larik sebelumnya yang menyatakan karena menunggu tanda seseorang untuk berubah, sehingga seseorang tersebut bisa jadi gila. c) Gaya Bahasa atau Majas Paradoks Dalam syair lagu “Klise” tersebut, gaya bahasa atau majas paradoks ditemukan dalam penggalan syair nomor (2) dan (3). 1) “Ciptakan alasan berbeda” (2) “Tapi tak buat diriku suka” (3) Dalam penggalan syair lagu nomor (2) dan (3) di atas, terdapat hubungan kausalitas pertentangan dengan objek yang sebenar-benarnya dirasakan seorang penulis lagu tersebut. Dalam penggalan syair lagu tersebut, dinyatakan bahwa meskipun telah dijelaskan dengan alasan-alasan yang berbeda, namun tetap saja hatinya tidak menyukai alasan tersebut. d) Gaya Bahasa atau Majas Elipsis Dalam syair lagu “Klise” tersebut, gaya bahasa elipsis ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (10) dan (11). 1) “Menunggu tanda kau berubah” (10) 2) “Tapi lama-lama bisa gila” (11) Dalam penggalan syair lagu nomor (10) dan (11) di atas, terjadi penghilangan subjek “saya” atau “aku”. Seharusnya, pada penggalan syair lagu nomor (10) berbunyi, “Aku menunggu tanda kau berubah,” dan penggalan syair lagu nomor (11) berbunyi, “Tapi lama-lama aku bisa gila”. e) Gaya Bahasa atau Majas Inverse/Anastrof Dalam syair lagu “Klise” tersebut, gaya bahasa inverse/anastrof ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (9). 1) “Semula ku diamkan saja” (9) Dalam penggalan syair lagu nomor (9), bila dianalisis berdasarkan fungsi sintaksis, maka kalimat “Semula ku diamkan saja” berpola (K) – (S) – (P). Dalam susunan fungsi sintaksis, kalimat tersebut mengalami susun balik antara keterangan yang terletak di awal kalimat yang semestinya berada di akhir kalimat, seperti: “Ku (S) diamkan saja (P) semula (K)”. 2) Deskripsi Data Persajakan dalam Syair Lagu “Klise” Dalam lagu “Tanpa Batas Waktu”, dapat dideskripsikan bahwa dalam lagu tersebut ditemukan ada tiga jenis sajak atau rima, yaitu: a) Sajak atau rima aliterasi/pangkal; b) Sajak atau rima depan/awal dan c) Sajak atau rima sama/terus/rangkai/lurus. a) Sajak atau Rima Aliterasi/Pangkal Dalam syair lagu “Klise” tersebut, sajak atau rima aliterasi/pangkal ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (1) dan (2), serta penggalan syair lagu nomor (11) dan (12). “Ceritakanlah apa saja” (1) “Ciptakan alasan berbeda” (2) (Bait ke-1) “Tapi lama-lama bisa gila” (11) “Tak jelas lagi mana yang bukan dusta” (12) (Bait ke-3) Dalam penggalan syair lagu nomor (1) dan (2) di atas, sama-sama diawali oleh konsonan /c/ di awal larik. Hal ini dapat dilihat dari penggalan kata “ceritakanlah” dan “ciptakan”. Demikian juga pada penggalan syair lagu nomor (11) dan (12), sama-sama diawali oleh konsonan /t/ di awal larik. Hal ini dapat dilihat dari kata “tapi” dan “tak”. b) Sajak atau Rima Depan/Awal Dalam syair lagu “Klise” tersebut, sajak atau rima depan/awal ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (5) dan (6). “Sudah bosan klise, klise semua” (5) “Tak bosan-bosan, buat klise lainnya” (6) (Bait ke-2) Dalam penggalan syair lagu nomor (5) dan (6), terdapat kata “bosan” pada kata kedua di awal kalimat. Karena terletak di awal, maka disebut dengan sajak atau rima depan/awal. c) Sajak atau Rima Sama/Terus/Rangkai/Lurus Dalam syair lagu “Klise” tersebut, sajak atau rima sama/terus/rangkai/lurus ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (1), (2), (3) dan (4); penggalan syair lagu nomor (5) dan (6); serta penggalan syair lagu nomor (11) dan (12) . “Ceritakanlah apa saja” (1) “Ciptakan alasan berbeda” (2) “Tapi tak buat diriku suka” (3) “Mungkin karena tersimpan dusta” (4) (Bait ke-1) “Sudah bosan klise, klise semua” (5) “Tak bosan-bosan, buat klise lainnya” (6) (Bait ke-2) “Tapi lama-lama bisa gila” (11) “Tak jelas lagi mana yang bukan dusta” (12) (Bait ke-3) Dalam penggalan syair lagu nomor (1), (2), (3) dan (4) di atas, sama-sama diakhiri dengan vokal /a/ yang berarti mempunyai sajak yang disimbolkan dengan pola aaaa. Sedangkan, penggalan syair nomor (5) dan (6), demikian juga penggalan syair nomor (11) dan (12) disimbolkan dengan pola aa. 4.1.1.4 Deskripsi Data Syair Lagu Afgan “Entah” dalam Album Conffension No.1 Entah Ku tahu, kau selingkuh (1) Kau duakan cintaku yang tulus (2) Kau tahu, diriku (3) Tak pernah berpaling dari dirimu (4) Teganya kau dustai semua (5) Janji kita berdua (6) Entah masihkah ada cinta dihatiku, untukmu? (7) Entah kapankah ku dapat membuka hati ini, untukmu? (8) Tak pernah ku bayangkan (9) Cerita kita berakhir begini (10) Teganya kau dustai semua (11) Janji kita berdua (12) Entah masihkah ada cinta di hatiku, untukmu? (13) Entah kapankah ku dapat membuka hati ini, untukmu? (14) Masihkah ada (15) Cinta di hati ini (16) Di hati kecilku berharap kau masih bagian dari hidupku (17) Entah masih kah ada cinta dihatiku, untukmu? (18) Entah kapan kah ku dapat membuka hati ini, untukmu? (19) 1) Deskripsi Data Gaya Bahasa Syair Lagu “Entah” Dalam lagu “Entah”, dapat dideskripsikan bahwa dalam lagu tersebut ditemukan ada tujuh jenis gaya bahasa atau majas, yaitu: a) Gaya bahasa atau majas metafora; b) Gaya bahasa atau majas pararelisme anapora; c) Gaya bahasa atau majas pararelisme epipora/epistrofa; d) Gaya bahasa atau majas enomerasio/enumerasi; e) Gaya bahasa atau majas sinekdoke totem proparte; f) Gaya bahasa atau majas sinekdoke pars prototo dan g) Gaya bahasa atau majas inverse/anastrof. a) Gaya Bahasa atau Majas Metafora Dalam syair lagu “Entah” tersebut, gaya bahasa atau majas metafora ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (8) dan (17). 1) “Entah kapankah ku dapat membuka hati ini, untukmu?” (8) 2) “Di hati kecilku berharap kau masih bagian dari hidupku” (17) Dalam penggalan syair lagu nomor (8) dan (17) di atas, frasa “membuka hati” dan “hati kecil” merupakan ungkapan kias yang tidak mempergunakan unsur pembanding. Frasa “membuka hati” sebanding dengan frasa “memberi kesempatan”, sedangkan “hati kecil” sebanding dengan kata “perasaan”. b) Gaya Bahasa atau Majas Pararelisme Anapora Dalam syair lagu “Entah” tersebut, gaya bahasa atau majas pararelisme anapora ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (2) dan (3); serta (7) dan (8). 1) “Kau duakan cintaku yang tulus” (2) “Kau tahu, diriku” (3) 2) “Entah masihkah ada cinta dihatiku, untukmu?” (7) “Entah kapankah ku dapat membuka hati ini, untukmu?” (8) Dalam penggalan syair lagu nomor (2) dan (3); serta (7) dan (8) di atas, terdapat kata-kata yang diulang di awal kalimat pada larik yang berbeda, seperti: kata “kau” dalam penggalan syair lagu nomor (2) dan (3), serta kata “entah” dalam penggalan syair lagu nomor (7) dan (8). c) Gaya Bahasa atau Majas Pararelisme Epipora/Epistrofa Dalam syair lagu “Entah” tersebut, gaya bahasa atau majas pararelisme epipora/epistrofa ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (7) dan (8). 1) “Entah masihkah ada cinta dihatiku, untukmu?” (7) “Entah kapankah ku dapat membuka hati ini, untukmu?” (8) Dalam penggalan syair lagu nomor (7) dan (8) di atas, terdapat kata-kata yang diulang di akhir kalimat pada larik yang berbeda, seperti: kata “untukmu” dalam penggalan syair lagu nomor (7) dan (8). d) Gaya Bahasa atau Majas Enomerasio/Enumerasi Dalam syair lagu “Entah” tersebut, gaya bahasa atau majas enomerasio/enumerasi ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (10). 1) “Cerita kita berakhir begini” (10) Dalam penggalan syair lagu nomor (10) di atas, terdapat sebuah peristiwa cerita kehidupan cerita yang dijelaskan telah berakhir dengan akhir yang tidak diinginkan. e) Gaya Bahasa atau Majas Sinekdoke Totem Pro Parte Dalam syair lagu “Entah” tersebut, gaya bahasa atau majas sinekdoke totem pro parte terdapat pada penggalan syair lagu nomor (5). 1) “Teganya kau dustai semua” (5) Dalam penggalan syair lagu nomor (5) di atas, kata “semua” seakan menyatakan segalanya itu telah didustai. Padahal, hanya beberapa hal saja yang dimaksudkan telah didustai oleh penulis lagu tersebut. f) Gaya Bahasa atau Majas Sinekdoke Pars Prototo Dalam syair lagu “Entah” tersebut, gaya bahasa atau majas sinekdoke pars prototo terdapat dalam penggalan syair lagu nomor (17). 1) “Di hati kecilku berharap kau masih bagian dari hidupku” (17) Dalam penggalan syair lagu nomor (17) di atas, kata “hati kecilku” menjadi representatif bagian suatu perihal dalam diri penulis lagu yang masih berharap bahwa pasangannya masih tetap berada dalam kehidupannya. Padahal, maksudnya adalah bukan hanya hati kecilnya saja, melainkan segenap jiwa dan raga penulis lagu tersebut yang berharap bahwa pasangannya masih berada dalam kehidupannya. g) Gaya Bahasa atau Majas Inverse/Anastrof Dalam syair lagu “Entah” tersebut, gaya bahasa atau majas inverse/anastrof terdapat dalam penggalan syair lagu nomor (9). 1) “Tak pernah ku bayangkan” (9) Dalam penggalan syair lagu nomor (9) di atas, terjadi pertukaran fungsi sintaksis. Dalam kalimat tersebut, penulis lagu mempergunakan struktur fungsi sintaksis predikat-subjek-predikat. Seharusnya, berpola subjek-predikat dengan bentuk kalimat, “Ku (S) tak pernah membayangkan (P)”. 2) Deskripsi Data Persajakan dalam Syair Lagu “Entah” Dalam lagu “Entah”, dapat dideskripsikan bahwa dalam lagu tersebut ditemukan ada lima jenis sajak atau rima, yaitu: a) Sajak atau rima sempurna/mutlak, b) Sajak atau rima aliterasi/pangkal, c) Sajak atau rima depan/awal, d) Sajak atau rima berpasangan/kembar dan e) Sajak atau rima patah/putus. a) Sajak atau Rima Sempurna/Mutlak Dalam syair lagu “Entah” tersebut, sajak atau rima sempurna/mutlak ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (13) dan (14). “Entah masihkah ada cinta di hatiku, untukmu?” (13) “Entah kapankah ku dapat membuka hati ini, untukmu?” (14) (Bait ke-4) Dalam penggalan syair lagu nomor (13) dan (14) di atas, sama-sama diakhiri oleh kata yang sama, yaitu: kata “untukmu”. Berdasarkan polanya, penggalan syair lagu di atas berpola aa. b) Sajak atau Rima Aliterasi/Pangkal Dalam syair lagu “Entah” tersebut, sajak atau rima aliterasi/pangkal ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (1), (2) dan (3), serta penggalan nomor (4) dan (5). “Ku tahu, kau selingkuh” (1) “Kau duakan cintaku yang tulus” (2) “Kau tahu, diriku” (3) (Bait ke-1) “Tak pernah berpaling dari dirimu” (4) “Teganya kau dustai semua” (5) (Bait ke-1) Dalam penggalan syair lagu nomor (1), (2) dan (3) di atas, diawali oleh kata “ku”, “kau”, “kau” dan semua kata tersebut diawali dengan huruf konsonan /k/ disetiap lariknya. Demikian juga dalam penggalan syair lagu nomor (4) dan (5), diawali oleh kata “tak” dan “teganya” dan kedua kata tersebut diawali oleh huruf konsonan /t/. c) Sajak atau Rima Depan/Awal Dalam syair lagu “Entah” tersebut, sajak atau rima depan/awal ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (13) dan (14). “Entah masihkah ada cinta di hatiku, untukmu?” (13) “Entah kapankah ku dapat membuka hati ini, untukmu?” (14) (Bait ke-4) Dalam penggalan syair lagu nomor (13) dan (14) di atas, sama-sama diawali oleh kata yang sama, yaitu: kata “entah”. Karena persamaan kata dan letaknya tersebut yang terletaak di awal setiap larik, maka penggalan syair lagu di atas disebut dengan sajak atau rima depan/awal. d) Sajak atau Rima Berpasangan/Kembar Dalam syair lagu “Entah” tersebut, sajak atau rima depan/awal ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (3), (4), (5) dan (6). “Kau tahu, diriku” (3) “Tak pernah berpaling dari dirimu” (4) “Teganya kau dustai semua” (5) “Janji kita berdua” (6) (Bait ke-1) Dalam penggalan syair lagu nomor (3), (4), (5) dan (6) di atas, secara berurut diakhiri oleh kata “diriku”, “dirimu”, “semua” dan “berdua”. Ditinjau dari susunan persamaan sajak, penggalan syair lagu nomor (3) dan (5) sama-sama diakhiri vokal /u/ yang juga dapat disimbolkan dengan sajak (a). Sedangkan, penggalan syair lagu nomor (5) dan (6) sama-sama diakhiri dengan vokal /a/ yang juga dapat disimbolkan dengan sajak (b). Sehingga, susunan pola sajak penggalan syair lagu di atas berpola aabb. e) Sajak atau Rima Patah/Putus Dalam syair lagu “Entah” tersebut, sajak atau rima patah/putus ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (15), (16) dan (17). “Masihkah ada” (15) “Cinta di hati ini” (16) “Di hati kecilku berharap kau masih bagian dari hidupku” (17) (Bait ke-3) Dalam penggalan syair lagu nomor (15), (16) dan (17) di atas, secara berurutan diakhiri oleh kata “ada”, “ini” dan “hidupku”. Penggalan syair tersebut juga diakhiri oleh vokal /a/, /i/, dan /u/. Karena ketiga vokal akhir tersebut beda, maka penggalan syair lagu di atas mempunyai pola abc. 4.1.1.5 Deskripsi Data Syair Lagu Afgan “Hanya Ada Satu” dalam Album Conffension No.1 Hanya Ada Satu Tahukah kau apa yang aku rasakan (1) Aku takut kehilanganmu oh sayang (2) Perasaaan ini selalu saja ada (3) Selalu datang (4) Setiap detik waktu dalam hidupku (5) Kan ku coba membahagiakan dirimu (6) Hapuslah resahmu (7) Peluklah diriku (8) Kekasihku (9) Hanya ada satu sayang di hatiku (10) Hanya ada satu cinta di hatiku (11) Hanya ada satu rindu di hatiku (12) Akan ku persembahkan hanyalah untukmu seorang (13) Oohoouu...yeeiii.... (14) Setiap detik waktu dalam hidupku (15) Kan ku coba membahagiakan dirimu (16) Hapuslah resahmu (17) Peluklah diriku (18) Kekasihku (19) Hanya ada satu sayang di hatiku (20) Hanya ada satu cinta di hatiku (21) Hanya ada satu rindu di hatiku (22) Akan ku persembahkan hanyalah untukmu seorang (23) 1) Deskripsi Data Gaya Bahasa dalam Syair Lagu “Hanya Ada Satu” Dalam lagu “Hanya Ada Satu”, dapat dideskripsikan bahwa dalam lagu tersebut ditemukan ada enam jenis gaya bahasa/majas, yaitu: a) Gaya bahasa atau majas metafora, b) Gaya bahasa atau majas pararelisme anapora, c) Gaya bahasa atau majas pararelisme epipora/epistrofa, d) Gaya bahasa atau majas hiperbola, e) Gaya bahasa atau majas elipsis, dan f) Gaya bahasa atau majas inverse/anastrof. a) Gaya Bahasa atau Majas Metafora Dalam syair lagu “Hanya Ada Satu” tersebut, gaya bahasa atau majas metafora ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (5). 1) “Setiap detik waktu dalam hidupku” (5) Dalam penggalan syair lagu nomor (5) di atas, frasa “detik waktu” merupakan ungkapan kias yang tidak mempergunakan unsur pembanding. Frasa “detik waktu” dimaksudkan oleh penulis lagu sebagai arti setiap saat atau sering. b) Gaya Bahasa atau Majas Pararelisme Anapora Dalam syair lagu “Hanya Ada Satu” tersebut, gaya bahasa atau majas pararelisme anapora ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (10), (11) dan (12). 1) “Hanya ada satu sayang di hatiku” (10) “Hanya ada satu cinta di hatiku” (11) “Hanya ada satu rindu di hatiku” (12) Dalam penggalan syair lagu nomor (10), (11) dan (12) di atas, diperoleh adanya persamaan frasa ”hanya ada satu” yang diulang sebanyak tiga kali di awal setiap larik penggalan syair lagu tersebut. c) Gaya Bahasa atau Majas Epipora/Epistrofa Dalam syair lagu “Hanya Ada Satu” tersebut, gaya bahasa atau majas pararelisme epipora/epistrofa ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (10), (11) dan (12). 1) “Hanya ada satu sayang di hatiku” (10) “Hanya ada satu cinta di hatiku” (11) “Hanya ada satu rindu di hatiku” (12) Dalam penggalan syair lagu nomor (10), (11) dan (12) di atas, diperoleh adanya persamaan frasa ”di hatiku” yang diulang sebanyak tiga kali di akhir setiap larik penggalan syair lagu tersebut. d) Gaya Bahasa atau Majas Hiperbola Dalam syair lagu “Hanya Ada Satu” tersebut, gaya bahasa atau majas hiperbola ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (2). 1) “Aku takut kehilanganmu oh sayang” (2) Dalam penggalan syair lagu nomor (2) di atas, dinyatakan bahwa ada seseorang yang sampai ketakutan apabila kehilangan kekasih hati yang dipujanya. Hal ini dianggap amat berlebih-lebihan. e) Gaya Bahasa atau Majas Elipsis Dalam syair lagu “Hanya Ada Satu” tersebut, gaya bahasa atau majas elipsis ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (2). 1) “Selalu datang” (4) Dalam penggalan syair lagu nomor (4) di atas, terjadi penghilangan fungsi subjek. Dalam larik tersebut hanya dibangun oleh frasa “selalu datang” yang mengandung fungsi predikat. f) Gaya Bahasa atau Majas Inverse/Anastrof Dalam syair lagu “Hanya Ada Satu” tersebut, gaya bahasa atau majas inverse/anastrof ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (6) dan (13). 1) “Kan ku coba membahagiakan dirimu” (6) 2) “Akan ku persembahkan hanyalah untukmu seorang” (13) Dalam penggalan syair lagu nomor (6) dan (13) di atas, terjadi pertukaran posisi fungsi predikat dan subjek. Dalam penggalan syair lagu nomor (6) dan (13) kata “kan” dan “akan” sama-sama berpola predikat, sedangkan kata “ku” berpola subjek. Seharusnya, Subjek “ku” terletak di awal sebelum kata “kan” dan “akan” yang merupakan fungsi predikat. 2) Deskripsi Data Persajakan dalam Syair Lagu “Hanya Ada Satu” Dalam lagu “Hanya Ada Satu”, dapat dideskripsikan bahwa dalam lagu tersebut ditemukan ada empat jenis sajak atau rima, yaitu: 1) Sajak atau rima sempurna/mutlak; 2) Sajak atau rima depan/awal; 3) Sajak atau rima sama/terus/rangkai/lurus dan 4) Sajak atau rima patah/putus. a) Sajak atau Rima Sempurna/Mutlak Dalam syair lagu “Hanya Ada Satu” tersebut, sajak atau rima sempurna/mutlak ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (10), (11) dan (12). “Hanya ada satu sayang di hatiku” (10) “Hanya ada satu cinta di hatiku” (11) “Hanya ada satu rindu di hatiku” (12) (Bait ke-3) Dalam penggalan syair lagu nomor (10), (11) dan (12) di atas, diakhiri oleh kata-kata “dihatiku” yang semua bentuk dan bunyinya sama. b) Sajak atau Rima Depan/Awal Dalam syair lagu “Hanya Ada Satu” tersebut, sajak atau rima depan/awal ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (10), (11) dan (12). “Hanya ada satu sayang di hatiku” (10) “Hanya ada satu cinta di hatiku” (11) “Hanya ada satu rindu di hatiku” (12) (Bait ke-3) Dalam penggalan syair lagu nomor (10), (11) dan (12) di atas, diawali oleh frasa “hanya ada satu” yang semua bentuk dan bunyinya sama. c) Sajak atau Rima Sama/Terus/Rangkai/Lurus Dalam syair lagu “Hanya Ada Satu” tersebut, sajak atau rima sama/terus/rangkai/lurus ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (5), (6), (7), (8) dan (9). “Setiap detik waktu dalam hidupku” (5) “Kan ku coba membahagiakan dirimu” (6) “Hapuslah resahmu” (7) “Peluklah diriku” (8) “Kekasihku” (9) (Bait ke-2) Dalam penggalan syair lagu nomor (5), (6), (7), (8) dan (9) di atas, setiap larik diakhiri oleh kata “hidupku”, “dirimu”, “resahmu”, “diriku”, “kekasihku”. Setiap larik tersebut diakhiri dengan vokal /u/. Karena semua sajak diakhir setiap larik sama, maka penggalan syair lagu tersebut memiliki sajak atau rima sama/terus/rangkai/lurus. d) Sajak atau Rima Patah/Putus Dalam syair lagu “Hanya Ada Satu” tersebut, sajak atau rima patah/putus ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (1), (2) dan (3). “Tahukah kau apa yang aku rasakan” (1) “Aku takut kehilanganmu oh sayang” (2) “Perasaaan ini selalu saja ada” (3) (Bait ke-1) Dalam penggalan syair lagu nomor (1), (2), dan (3) di atas, setiap larik diakhiri oleh kata “rasakan”, “sayang” dan “ada”. Setiap larik tersebut diakhiri dengan konsonan /n/, /g/ dan vokal /a/. Karena semua sajak yang terletak diakhir setiap larik itu berbeda, maka penggalan syair lagu tersebut memiliki sajak atau rima patah/putus dengan pola abc. 4.1.1.6 Deskripsi Data Syair Lagu Afgan “Betapa Aku Cinta Padamu” dalam Album Conffension No.1 Betapa Aku Cinta Padamu Di hati ini (1) Hanya Dirimu (2) Yang aku sayang, yang aku rindu (3) Setiap saat (4) Setiap waktu (5) Ku ingin engkau selalu ada di sisiku (6) Izinkan aku kecup keningmu (7) Izinkan aku peluk dirimu (8) Izinkan aku hadir di dalam mimpimu (9) Betapa aku cinta padamu (10) Betapa aku aku ingin dirimu (11) Yang kan menjadi bagian dari hidupku (12) Oh.. kasih... (13) Papaprappp..Uu..Aa..... (14) Di hati ini (15) Hanya dirimu (16) Yang aku sayang, yang aku rindu (17) Setiap saat (18) Setiap waktu (19) Ku ingin engkau selalu ada disisiku (20) Izinkan aku kecup keningmu (21) Izinkan aku peluk dirimu (22) Izinkan aku hadir di dalam mimpimu (23) Betapa aku cinta padamu (24) Betapa aku ingin dirimu (25) Yang kan menjadi bagian dari hidupku (26) Oh.. kasih ... (27) 1) Deskripsi Data Gaya Bahasa pada Syair Lagu “Betapa Aku Cinta Padamu” Dalam lagu “Betapa Aku Cinta Padamu”, dapat dideskripsikan bahwa dalam lagu tersebut ditemukan ada tiga jenis gaya bahasa atau majas, yaitu: a) Gaya bahasa atau majas pararelisme anapora, b) Gaya bahasa atau majas tautologi/tautotes, dan c) Gaya bahasa atau majas hiperbola. a) Gaya Bahasa atau Majas Pararelisme Anapora Dalam syair lagu “Betapa Aku Cinta Padamu” tersebut, gaya bahasa atau majas pararelisme anapora ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (4) dan (5); penggalan syair lagu nomor (7), (8) dan (9); serta penggalan lagu nomor (10) dan (11). 1) “Setiap saat” (4) “Setiap waktu” (5) 2) “Izinkan aku kecup keningmu” (7) “Izinkan aku peluk dirimu” (8) “Izinkan aku hadir di dalam mimpimu” (9) 3) “Betapa aku cinta padamu” (10) “Betapa aku aku ingin dirimu” (11) Dalam penggalan syair lagu nomor (4) dan (5), sama-sama ditemukan perulangan kata “setiap” di awal larik, demikian juga dengan pasangan penggalan syair lagu nomor (7), (8) dan (9) juga terdapat pengulangan kata “izinkan” di awal larik. Pasangan penggalan lagu nomor (10) dan (11) juga terdapat perulangan kata “betapa” di awal larik. b) Gaya Bahasa atau Majas Tautologi/Tautotes Dalam syair lagu “Betapa Aku Cinta Padamu” tersebut, gaya bahasa atau majas tautologi/tautotes ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (3). 1) “Yang aku sayang, yang aku rindu” (3) Dalam penggalan syair lagu nomor (6) di atas, terjadi perulangan frasa “yang aku” sebanyak dua kali dalam sebuah kontruksi kalimat. c) Gaya Bahasa atau Majas Hiperbola Dalam syair lagu “Betapa Aku Cinta Padamu” tersebut, gaya bahasa atau majas hiperbola ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (9). 1) “Izinkan aku hadir di dalam mimpimu” (9) Dalam penggalan syair lagu nomor (9) di atas, dijelaskan seseorang dapat datang/hadir dengan sengajanya di dalam mimpi seseorang yang jelas-jelas bersifat abstrak. Hal demikianlah dianggap amat berlebih-lebihan. 2) Analisis Persajakan dalam Syair Lagu “Betapa Aku Cinta Padamu” Dalam lagu “Betapa Aku Cinta Padamu”, dapat dideskripsikan bahwa dalam lagu tersebut ditemukan ada tiga jenis sajak atau rima, yaitu: a) Sajak atau rima aliterasi/pangkal; b) Sajak atau rima depan/awal dan c) Sajak atau rima sama/lurus/rangkai/terus. a) Sajak atau Rima Aliterasi/Pangkal Dalam syair lagu “Betapa Aku Cinta Padamu” tersebut, sajak atau rima aliterasi/pangkal ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (4). 1) “Setiap saat” (4) (Bait ke-1) Dalam penggalan syair lagu nomor (4) di atas, terdiri dari sebuah frasa yang mempunyai dua kata, yaitu: kata “setiap” dan “saat”. Kedua kata tersebut diawali oleh konsonan yang sama, yakni: konsonan /s/ yang terletak pada satu larik. b) Sajak atau Rima Depan/Awal Dalam syair lagu “Betapa Aku Cinta Padamu” tersebut, sajak atau rima depan/awal ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (4) dan (5); penggalan syair lagu nomor (7), (8) dan (9); serta penggalan syair lagu nomor (10) dan (11). 1) “Setiap saat” (4) “Setiap waktu” (5) (Bait ke-2) 2) “Izinkan aku kecup keningmu” (7) “Izinkan aku peluk dirimu” (8) “Izinkan aku hadir di dalam mimpimu” (9) (Bait ke-2) 3) “Betapa aku cinta padamu” (10) 4) “Betapa aku aku ingin dirimu” (11) (Bait ke-3) Dalam penggalan syair lagu nomor (4) dan (5), sama-sama ditemukan perulangan kata “setiap” yang terletak di awal larik penggalan syair lagu tersebut, demikian juga dengan penggalan syair lagu nomor (7), (8) dan (9) juga terdapat pengulangan kata “izinkan” yang terletak di awal larik penggalan syair lagu tersebut. Serta penggalan lagu nomor (10) dan (11) juga terdapat perulangan kata “betapa” yang terletak di awal larik penggalan syair lagu tersebut. c) Sajak atau Rima Sama/Terus/Rangkai/Lurus Dalam syair lagu “Betapa Aku Cinta Padamu” tersebut, sajak atau rima sama/terus/rangkai/lurus ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (2) dan (3); penggalan syair lagu nomor (5) dan (6); Serta penggalan syair lagu nomor (7), (8), (9), (10), (11) dan (12); “Hanya dirimu” (2) “Yang aku sayang, yang aku rindu” (3) (Bait ke-1) “Setiap waktu” (5) “Ku ingin engkau selalu ada di sisiku” (6) “Izinkan aku kecup keningmu” (7) “Izinkan aku peluk dirimu” (8) “Izinkan aku hadir di dalam mimpimu” (9) “Betapa aku cinta padamu” (10) “Betapa aku aku ingin dirimu” (11) “Yang kan menjadi bagian dari hidupku” (12) (Bait ke-2) Dalam penggalan syair lagu nomor (2) dan (3); penggalan lagu nomor (5) dan (6); Serta penggalan syair lagu nomor (7), (8), (9), (10), (11) dan (12) di atas, sama-sama diakhiri oleh vokal /u/. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa penggalan-penggalan syair lagu di atas berpola aa/aaaa. 4.1.1.7 Deskripsi Data Syair Lagu Afgan “Sadis” dalam Album Conffension No.1 Sadis Terlalu sadis caramu (1) Menjadikan diriku (2) Pelampiasan cintamu (3) Agar dia kembali padamu (4) Tanpa perduli sakitnya aku (5) Tega niannya caramu (6) Menyingkirkan diriku (7) Dari percintaan ini (8) Agar dia kembali padamu (9) Tanpa perduli sakitnya aku (10) Semoga Tuhan membalas semua yang terjadi (11) Kepadaku suatu saat nanti (12) Hingga kau sadari sesungguhnya yang kau punya (13) Hanya aku tempatmu kembali (14) Sebagai cintamu (15) Hanya aku tempatmu kembali (16) Semoga Tuhan membalas semua yang terjadi (17) Kepadaku suatu saat nanti (18) Hingga kau sadari sesungguhnya yang kau punya (19) Hanya aku tempatmu kembali (20) Sebagai cintamu (21) Hingga kau sadari sesungguhnya yang kau punya (22) Hanya aku Ooo... (23) Sebagai cintamu (22) 1) Deskripsi Data Gaya Bahasa dalam Syair Lagu “Sadis” Dalam lagu “Sadis”, dapat dideskripsikan bahwa dalam lagu tersebut ditemukan ada tiga jenis gaya bahasa atau majas, yaitu: a) Gaya bahasa atau majas metafora; b) Gaya bahasa atau majas sinisme dan c) Gaya bahasa atau majas elipsis. a) Gaya Bahasa atau Majas Metafora Dalam syair lagu “Sadis” tersebut, gaya bahasa atau majas metafora ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (3). 1) “Pelampiasan cintamu” (3) Dalam penggalan syair lagu nomor (3) di atas, frasa “pelampiasan cintamu” merupakan istilah pembanding lain untuk kata tempat pelarian yang berarti seseorang yang hanya dicintai agar dapat dimanfaatkan. Kalimat pembanding tersebut tidak mempergunakan kata-kata pembanding seperti: “laksana”, “bagaikan”, “ibarat” dan lain-lain. b) Gaya Bahasa atau Majas Sinisme Dalam syair lagu “Sadis” tersebut, gaya bahasa atau majas sinisme ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (1) dan (6). 1) “Terlalu sadis caramu” (1) 2) “Tega niannya caramu” (6) Dalam penggalan syair lagu nomor (1) dan (6) di atas, terdapat makna-makna menyindir secara langsung dan kasar. Sindiran kasar tersebut timbul dari rasa kecewa seseorang yang merasa telah dimanfaatkan kekasihnya. c) Gaya Bahasa atau Majas Elipsis Dalam syair lagu “Sadis” tersebut, gaya bahasa atau majas elipsis ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (5) dan (7). 1) “Tanpa peduli sakitnya aku” (5) 2) “Menyingkirkan diriku” (7) Dalam penggalan syair lagu nomor (5) dan (7) di atas, terjadi penghilangan unsur subjek “kau” dipertengahan antara kata “tanpa” dan “peduli” dalam penggalan syair lagu nomor (5) dan sebelum kata “menyingkirkan” dalam penggalan syair lagu nomor (7). 2) Analisis Persajakan dalam Syair Lagu “Sadis” Dalam lagu “Sadis”, dapat dideskripsikan bahwa dalam lagu tersebut ditemukan ada tiga jenis sajak atau rima, yaitu: a) Sajak atau rima aliterasi/pangkal; b) Sajak atau rima sama/terus/rangkai/lurus dan c) Sajak atau rima patah/putus. a) Sajak atau Rima Aliterasi/Pangkal Dalam syair lagu “Sadis” tersebut, sajak atau rima aliterasi/pangkal ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (13) dan (14). “Hingga kau sadari sesungguhnya yang kau punya” (13) “Hanya aku tempatmu kembali” (14) (Bait ke-3) Dalam penggalan syair lagu nomor (13) dan (14) di atas, sama-sama di awali dengan konsonan /h/ pada kata “hingga” dan “hanya”. Persamaan tersebut berada di awal larik kedua penggalan syair lagu tersebut. b) Sajak atau Rima Sama/Terus/Rangkai/Lurus Dalam syair lagu “Sadis” tersebut, sajak atau rima sama/terus/rangkai/lurus ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (1), (2), (3), (4) dan (5); serta penggalan syair lagu nomor (7) dan (8). Demikian juga dengan penggalan syair lagu nomor (12) dan (13). “Terlalu sadis caramu” (1) “Menjadikan diriku” (2) “Pelampiasan cintamu” (3) “Agar dia kembali padamu” (4) “Tanpa perduli sakitnya aku” (5) (Bait ke-1) “Tega niannya caramu” (6) “Menyingkirkan diriku” (7) (Bait ke-2) “Semoga Tuhan membalas semua yang terjadi” (11) “Kepadaku suatu saat nanti” (12) (Bait ke-3) Dalam penggalan syair lagu nomor (1), (2), (3), (4) dan (5); serta penggalan syair lagu nomor (7) dan (8) terdapat rangkaian huruf vokal /u/ yang sama di setiap akhir larik penggalan syair lagu tersebut. Demikian juga dengan penggalan syair lagu nomor (12) dan (13) juga diakhiri oleh vokal /i/ diakhir lariknya. Maka, penggalan syair lagu di atas berpola aa/aaaaa. c) Sajak atau Rima Patah/Putus Dalam syair lagu “Sadis” tersebut, sajak atau rima patah/putus ditemukan dalam pasangan penggalan syair lagu nomor (13), (14) dan (15). “Hingga kau sadari sesungguhnya yang kau punya” (13) “Hanya aku tempatmu kembali” (14) “Sebagai cintamu” (15) (Bait ke-3) Dalam penggalan syair lagu nomor (13), (14) dan (15) di atas, secara berurutan diakhiri dengan kata “punya”, “kembali dan “cintamu”. Ketiga kata tersebut diakhiri dengan tiga vokal yang berbeda, yaitu: vokal /a/, /i/ dan /u/ dan disimbolkan dengan pola abc. 4.1.1.8 Deskripsi Data Syair Lagu Afgan “Shanty Lussy” dalam Album Conffension No.1 Shanty Lussy Andaikan engkau tahu yang kurasakan (1) Di dalam hati ini (2) Setiap waktu (3) Rasa sayang aku padamu, tumbuh bersemi (4) Sentuhlah aku dengan belai manjamu (5) Tak usah engkau ragu (6) Bawalah aku, dalam mimpi-mimpi indahmu (7) Biar abadi cinta di hati (8) Shanty Lussy, kau di sini (9) Oh Shanty Lussy usah pergi (10) Masih gelap warna embun (11) Masih deras turun hujan (12) Masih ada desau angin malam-angin malam (13) Masih ingin aku memeluk dirimu lagi (14) Masih ingin menyayangmu lagi (15) Sentuhlah aku dengan belai manjamu (16) Tak usah engkau ragu (17) Bawalah aku, dalam mimpi-mimpi indahmu (18) Biar abadi cinta di hati (19) Shanty Lussy, oh Shanty Lussy, usah Pergi (20) Masih gelap warna embun (21) Masih deras turun hujan (22) Masih ada desau angin malam-angin malam (23) Masih ingin aku memeluk dirimu lagi (24) Masih ingin menyayangmu lagi (25) Duhai Shanty Lussy, Shanty Lussy (26) Usah engkau pergi (27) Duhai Shanty Lussy (28) Usah engkau pergi (29) Duhai Shanty Lussy (30) 1) Analisis Gaya Bahasa dalam Syair Lagu “Shanty Lussy” Dalam lagu “Shanty Lussy”, dapat dideskripsikan bahwa dalam lagu tersebut ditemukan ada lima jenis gaya bahasa atau majas, yaitu: a) Gaya bahasa atau majas personifikasi; b) Gaya bahasa atau majas pararelisme anapora; c) Gaya bahasa atau majas enomerasio/enumerasi; d) Gaya bahasa atau majas elipsis dan e) Gaya bahasa atau majas inverse/anastrof. a) Gaya Bahasa atau Majas Personifikasi Dalam syair lagu “Shanty Lussy” tersebut, gaya bahasa atau majas personifikasi ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (13). 1) “Masih ada desau angin malam-angin malam” (13) Dalam penggalan syair lagu nomor (13) di atas, dinyatakan bahwa angin dapat mendesau. Secara harfiahnya, “mendesau” adalah kegiatan yang dapat dilakukan oleh manusia. Namun, dalam penggalan syair di atas, angin diumpamakan memiliki kemampuan melakukan kegiatan layaknya manusia. b) Gaya Bahasa atau Majas Pararelisme Anapora Dalam syair lagu “Shanty Lussy” tersebut, gaya bahasa atau majas anapora ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (11), (12), (13), (14) dan (15). 1) “Masih gelap warna embun” (11) “Masih deras turun hujan” (12) “Masih ada desau angin malam-angin malam” (13) “Masih ingin aku memeluk dirimu lagi” (14) “Masih ingin menyayangmu lagi” (15) Dalam penggalan syair lagu nomor (11), (12), (13), (14) dan (15) di atas, semua larik banyak mempergunakan pengulangan di awal larik syair lagu. Pengulangan tersebut adalah kata “masih” yang diulang sebanyak lima kali. c) Gaya Bahasa atau Majas Enomerasio/Enumerasi Dalam syair lagu “Shanty Lussy” tersebut, gaya bahasa atau majas enomerasio/enumerasi ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (11) dan (12). 1) “Masih gelap warna embun” (11) 2) “Masih deras turun hujan” (12) Dalam penggalan syair lagu nomor (11) dan (12) di atas, dinyatakan dengan kalimat yang pendek tetapi jelas tentang peristiwa adanya sebuah embun yang berwarna gelap dan sebuah hujan yang turun dengan begitu lebatnya. d) Gaya Bahasa atau Majas Elipsis Dalam syair lagu “Shanty Lussy” tersebut, gaya bahasa atau majas elipsis ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (18). 1) “Bawalah aku, dalam mimpi-mimpi indahmu” (18) Dalam penggalan syair lagu nomor (18) di atas, terjadi penghilangan subjek diawal kata “bawalah”. Semestinya terdapat subjek, seperti: kata “dia”, “kau” dan lain sebagainya. e) Gaya Bahasa atau Majas Inverse/Anastrof Dalam syair lagu “Shanty Lussy” tersebut, gaya bahasa atau majas inverse/anastrof ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (6) dan (14). 1) “Tak usah engkau ragu” (6) 2) “Masih ingin aku memeluk dirimu lagi” (14) Dalam penggalan syair lagu nomor (6) dan (14) di atas, terjadi pertukaran antara letak subjek dan predikat. Kalimat “Tak usah engkau ragu” secara susunan fungsi sintaksis kurang tepat, karena berpola predikat-subjek. Posisi tersebut seharusnya ditukar menjadi “Engkau tidak usah ragu” agar fungsi subjek terletak diawal predikat. Demikian juga “Masih ingin aku ...” seharusnya adalah “Aku masih ingin ....”. 2) Deskripsi Data Persajakan dalam Syair Lagu “Shanty Lussy” Dalam lagu “Shanty Lussy”, dapat dideskripsikan bahwa dalam lagu tersebut ditemukan ada lima jenis sajak atau rima, yaitu: a) Sajak atau rima sempurna/mutlak; b) Sajak atau rima aliterasi/pangkal; c) Sajak atau rima depan/awal; d) Sajak atau rima silang dan e) Sajak atau rima sama/terus/rangkai/lurus. a) Sajak atau Rima Sempurna/Mutlak Dalam syair lagu “Shanty Lussy” tersebut, sajak atau rima sempurna/mutlak ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (7) dan (8). “Masih ingin aku memeluk dirimu lagi” (14) “Masih ingin menyayangmu lagi” (15) (Bait ke-3) Dalam penggalan syair lagu nomor (14) dan (15) di atas, diakhiri oleh kata-kata yang bunyi dan bentuknya sama, yaitu: kata “lagi” yang berpola aa. b) Sajak atau Rima Aliterasi/Pangkal Dalam syair lagu “Shanty Lussy” tersebut, sajak atau rima aliterasi/pangkal di- temukan dalam penggalan syair lagu nomor (7) dan (8). “Bawalah aku, dalam mimpi-mimpi indahmu” (7) “Biar abadi cinta di hati” (8) (Bait ke-2) Dalam penggalan syair lagu nomor (7) dan (8) di atas, dua larik tersebut di awali dengan kata “bawalah” dan “biar” yang sama-sama di awali oleh konsonan /b/ di awal setiap larik dalam penggalan syair lagu tersebut. c) Sajak atau Rima Depan/Awal Dalam syair lagu “Shanty Lussy” tersebut, sajak atau rima depan/awal ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (11), (12), (13), (14) dan (15); serta penggalan syair lagu nomor (26), (27), (28), (29) dan (30). “Masih gelap warna embun” (11) “Masih deras turun hujan” (12) “Masih ada desau angin malam-angin malam” (13) “Masih ingin aku memeluk dirimu lagi” (14) “Masih ingin menyayangmu lagi” (15) (Bait ke-3) “Duhai Shanty Lussy, Shanty Lussy” (26) “Usah engkau pergi” (27) “Duhai Shanty Lussy” (28) “Usah engkau pergi” (29) “Duhai Shanty Lussy” (3) (Bait ke-6) Dalam penggalan syair lagu nomor (11), (12), (13), (14) dan (15) di atas, semua larik mempergunakan pengulangan kata di awal larik setiap syair lagu. Pengulangan tersebut adalah kata “masih” yang diulang sebanyak lima kali. Demikian juga dalam penggalan syair lagu nomor (26), (27), (28), (29) dan (30) secara berselang-seling dalam satu bait dibangun oleh perulangan kata “duhai” dan “usai” di awal setiap penggalan syair lagu tersebut. d) Sajak atau Rima Silang Dalam syair lagu “Shanty Lussy” tersebut, sajak atau rima silang ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (26), (27), (28), dan (29). “Duhai Shanty Lussy, Shanty Lussy” (26) “Usah engkau pergi” (27) “Duhai Shanty Lussy” (28) “Usah engkau pergi” (29) (Bait ke-6) Dalam penggalan syair lagu nomor (26), (27), (28), dan (29) di atas, diakhiri oleh konsonan /y/ pada larik pertama dan ketiga, serta vokal /i/ pada larik kedua dan keempat dan berpola abab. e) Sajak atau Rima Sama/Terus/Rangkai/Lurus Dalam syair lagu “Shanty Lussy” tersebut, sajak atau rima sama/terus/rangkai/lurus ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (5), (6), dan (7). “Sentuhlah aku dengan belai manjamu” (5) “Tak usah engkau ragu” (6) “Bawalah aku, dalam mimpi-mimpi indahmu” (7) (Bait ke-2) Dalam penggalan syair lagu nomor (5), (6) dan (7) di atas, secara berurutan diakhiri oleh kata “manjamu”, “ragu” dan “indahmu” yang semua kata tersebut diakhiri oleh vokal /u/ yang disimbolkan dengan sajak (a), sehingga berpola aaa. 4.1.1.9 Deskripsi Data Syair Lagu Afgan “Hilang Rasa” dalam Album Conffension No.1 Hilang Rasa Setelah sekian lama (1) Ku jalin cinta (2) Tak jarangnya dirimu (3) Tiada ku rasakan bahagia (4) Kan ku akhiri semua di sini (5) Jangan kau cintai diriku (6) Jangan kau inginkan aku (7) Singkirkanlah aku (8) Jauhiku (9) Tinggalkan aku di sini (10) Karena kini ku telah hilang rasa cintaku padamu (11) Lupakanlah semua (12) Cerita cinta yang pernah ada (13) Saat waktu pun berlalu (14) Dan ku temukan (15) Pengganti dirimu (16) Jangan kau cintai diriku (17) Jangan kau inginkan aku (18) Singkirkanlah aku (19) Jauhiku (20) Tinggalkan aku di sini (21) Karena kini ku telah hilang rasa cintaku padamu (22) Lupakanlah semua (23) Cerita cinta yang pernah ada (24) Inilah, jalan yang terbaik (25) Untuk kita berdua.... berdua.... (26) Karena kini ku telah hilang rasa cintaku padamu (27) Lupakanlah semua (28) Cerita cinta yang pernah ada (29) 1) Deskripsi Data Gaya Bahasa pada Syair Lagu “Hilang Rasa” Dalam lagu “Hilang Rasa”, dapat dideskripsikan bahwa dalam lagu tersebut ditemukan ada lima jenis gaya bahasa atau majas, yaitu: a) Gaya bahasa atau majas pararelisme anapora; b) Gaya bahasa atau majas pararelisme epipora/epistrofa; c) Gaya bahasa atau majas paradoks; d) Gaya bahasa atau majas elipsis; dan e) Gaya bahasa atau majas inverse/anastrof. a) Gaya Bahasa atau Majas Pararelisme Anapora Dalam syair lagu “Hilang Rasa” tersebut, gaya bahasa atau majas pararelisme anapora ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (6) dan (7). 1) “Jangan kau cintai diriku” (6) “Jangan kau inginkan aku” (7) Dalam penggalan syair lagu nomor (6) dan (7) di atas, terdapat kata “jangan” yang diulang sebanyak dua kali di awal penggalan syair lagu tersebut. b) Gaya Bahasa atau Majas Pararelisme Epipora/Epistrofa Dalam syair lagu “Hilang Rasa” tersebut, gaya bahasa atau majas pararelisme epipora/epistrofa ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (7) dan (8). 1) “Jangan kau inginkan aku” (7) 2) “Singkirkanlah aku” (8) Dalam penggalan syair lagu nomor (7) dan (8), terdapat kata “aku” yang diulang sebanyak dua kali di akhir penggalan syair lagu tersebut. c) Gaya Bahasa atau Majas Paradoks Dalam syair lagu “Hilang Rasa” tersebut, gaya bahasa atau majas paradoks ditemukan dalam kelompok penggalan syair lagu nomor (1), (2), (3) dan (4). 1) “Setelah sekian lama” (1) “Ku jalin cinta” (2) “Tak jarangnya dirimu” (3) “Tiada ku rasakan bahagia” (4) Dalam kelompok penggalan syair lagu nomor (1), (2), (3) dan (4), mempunyai hubungan pertentangan. Pada awal larik syair lagu tersebut dijelaskan bahwa perjalanan waktu untuk menjalin hubungan cinta si penulis lagu sudah sangat lama, tapi dijelaskan dalam penggalan syair nomor (4) bahwa penulis tidak merasakan bahagia sama sekali. Hal ini menjadi gambaran bahwa penulis menyatakan fakta-fakta dengan objek dan arti yang sebenar-benarnya. d) Gaya Bahasa atau Majas Elipsis Dalam syair lagu “Hilang Rasa” tersebut, gaya bahasa atau majas elipsis ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (8), (9), (10) dan (12). 1) “Singkirkanlah aku” (8) 2) “Jauhiku” (9) 3) “Tinggalkan aku di sini” (10) 4) “Lupakanlah semua” (12) Dalam penggalan syair lagu nomor (8), (9), (10) dan (12) di atas, terdapat penghilangan subjek “kau”. Sehingga, secara susunan pola kalimat dalam sintaksis dalam penggalan syair lagu di atas terasa kurang sempurna. e) Gaya Bahasa atau Majas Inverse/Anastrof Dalam syair lagu “Hilang Rasa” tersebut, gaya bahasa atau majas inverse/anastrof ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (4), (5), (6) dan (7). 1) “Tiada ku rasakan bahagia” (4) 2) “Kan ku akhiri semua di sini” (5) 3) “Jangan kau cintai diriku” (6) 4) “Jangan kau inginkan aku” (7) Dalam penggalan syair lagu nomor (4), (5), (6) dan (7) di atas, terdapat pertukaran susunan antara subjek dan predikat. Dalam kontruksi susunan kalimat secara konvensional, fungsi subjek seharusnya berada di depan fungsi predikat, namun dalam penggalan keempat syair lagu di atas fungsi predikat justru terletak di awal subjek. Hal ini terlihat dalam kalimat “Tiada ku rasakan ...”, seharusnya “Ku rasakan tiada ...”; Kalimat “Kan ku akhiri ...”, seharusnya “Ku kan akhiri ...”; Kalimat “Jangan kau cintai ...”, seharusnya “Kau jangan cintai ...”; Kalimat “Jangan kau inginkan ...”, seharusnya “Kau jangan inginkan ...”. 2) Deskripsi Data Persajakan dalam Syair Lagu “Hilang Rasa” Dalam lagu “Hilang Rasa”, dapat dideskripsikan bahwa dalam lagu tersebut ditemukan ada lima jenis sajak atau rima, yaitu: a) Sajak atau rima sempurna/mutlak; b) Sajak atau rima aliterasi/pangkal; c) Sajak atau rima depan/awal; d) Sajak atau rima sama/terus/rangkai/luru dan e) Sajak atau rima patah/putus. a) Sajak atau Rima Sempurna/Mutlak Dalam syair lagu “Hilang Rasa” tersebut, sajak atau rima sempurna/mutlak ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (7) dan (8). “Jangan kau inginkan aku” (7) “Singkirkanlah aku” (8) (Bait ke-2) Dalam penggalan syair lagu nomor (7) dan (8) di atas, terdapat kata akhir yang sama dan diulang sebanyak dua kali. Kata tersebut adalah kata “aku”. b) Sajak atau Rima Aliterasi/Pangkal Dalam syair lagu “Hilang Rasa” tersebut, sajak atau rima aliterasi/pangkal ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (3) dan (4). “Tak jarangnya dirimu” (3) “Tiada ku rasakan bahagia” (4) (Bait ke-1) Dalam penggalan syair lagu nomor (3) dan (4) di atas, terdapat sebuah konsonan yang sama, yaitu: konsonan /t/ yang diulang sebanyak dua kali di awal setiap larik penggalan syair lagu tersebut. c) Sajak atau Rima Depan/Awal Dalam syair lagu “Hilang Rasa” tersebut, sajak atau rima depan/awal ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (6) dan (7). “Jangan kau cintai diriku” (6) “Jangan kau inginkan aku” (7) Dalam penggalan syair lagu nomor (6) dan (7), terdapat kata “jangan” yang diulang sebanyak dua kali di awal penggalan syair lagu tersebut. d) Sajak atau Rima Sama/Terus/Rangkai/Lurus Dalam syair lagu “Hilang Rasa” tersebut, sajak atau rima sama/terus/rangkai/lurus ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (1) dan (2); serta penggalan syair lagu nomor (16), (17), (18), (19) dan (20). “Setelah sekian lama” (1) “Kujalin cinta” (2) (Bait ke-1) “Pengganti dirimu” (16) “Jangan kau cintai diriku” (17) “Jangan kau inginkan aku” (18) “Singkirkanlah aku” (19) “Jauhiku” (20) (Bait ke-4) Dalam penggalan syair lagu nomor (1) dan (2) di atas, secara berurutan diakhiri oleh kata “lama” dan “cinta” yang sama-sama mempunyai akhiran huruf konsonan /a/ dan disimbolkan dengan sajak aa; serta penggalan syair lagu nomor (16), (17), (18), (19) dan (20) di atas, ditemukan secara berurutan kata “dirimu”, “diriku”, “aku”, “aku” dan “jauhiku”. Semua kata diakhiri dengan vokal /u/ dan disimbolkan dengan sajak aaaaa. e) Sajak atau Rima Patah/Putus Dalam syair lagu “Hilang Rasa” tersebut, sajak atau rima depan/awal ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (3), (4) dan (5). “Tak jarangnya dirimu” (3) “Tiada ku rasakan bahagia” (4) “Kan kuakhiri semua di sini” (5) (Bait ke-1) Dalam penggalan syair lagu nomor (3), (4) dan (5) di atas, secara berurutan terdapat kata “dirimu”, “bahagia” dan “di sini” yang memiliki vokal akhir yang berbeda, yaitu: vokal /u/, /a/, dan /i/. Karena ketiga vokal itu berbeda semua, maka penggalan syair lagu di atas dapat disimbolkan dengan sajak abc. 4.1.1.10 Deskripsi Data Syair Lagu Afgan “Biru” dalam Album Conffension No.1 Biru Tiada pernah aku bahagia (1) Sebahagia hari ini kasih (2) Sepertinya ku bermimpi (3) Dan hampir tak percaya (4) Hadapi kenyataan ini (5) Belai manja serta kecup sayang (6) Kau curahkan penuh kepastian (7) Hingga mampu menghapuskan luka goresan cinta (8) Yang sekian lama sudah menyakitkan (9) Kau terangkan gelap mataku (10) Kau hilangkan resah hatiku (11) Kau hidupkan lagi cintaku (12) Yang telah beku dan membiru (13) Kini tetes air mata haru (14) Menghiasi janji yang terpadu (15) Tuhan jangan Kau pisahkan (16) Apapun yang terjadi (17) Kuingin selalu dekat kekasihku (18) Kau terangkan gelap mataku (19) Kau hilangkan resah hatiku (20) Kau hidupkan lagi cintaku (21) Yang telah beku dan membiru (22) Kini tetes air mata haru (23) Menghiasi janji yang terpadu (24) Tuhan jangan Kau pisahkan (25) Apapun yang terjadi (26) Ku ingin selalu dekat kekasihku (27) Ku ingin selalu dekat kekasihku (28) 1) Deskripsi Data Gaya Bahasa dalam Syair Lagu “Biru” Dalam lagu “Biru”, dapat dideskripsikan bahwa dalam lagu tersebut ditemukan ada tujuh macam gaya bahasa atau majas, yaitu: a) Gaya bahasa atau majas personifikasi; b) Gaya bahasa atau majas metafora; c) Gaya bahasa atau majas perumpamaan/asosiasi; d) Gaya bahasa atau majas pararelisme anapora; e) Gaya bahasa atau majas hiperbola; f) Gaya bahasa atau majas elipsis dan g) Gaya bahasa atau majas inverse/anastrof. a) Gaya Bahasa atau Majas Personifikasi Dalam syair lagu “Biru” tersebut, gaya bahasa atau majas metafora ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (14) dan (15). 1) “Kini tetes air mata haru” (14) “Menghiasi janji yang terpadu” (15) Dalam penggalan syair lagu nomor (14) dan (15) di atas, terdapat hubungan perbandingan frasa “air mata” yang pada hakikatnya dianggap benda tidak bernyawa dibandingkan dengan sifat manusia yang dapat melakukan kegiatan “menghiasi” sebuah janji. b) Gaya Bahasa atau Majas Metafora Dalam syair lagu “Biru” tersebut, gaya bahasa atau majas metafora ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (8) dan (10). 1) “Hingga mampu menghapuskan luka goresan cinta” (8) 2) “Kau terangkan gelap mataku” (10) Dalam penggalan syair lagu nomor (8) dan (10) di atas, terdapat frasa “luka goresan cinta” dan “gelap mataku” yang merupakan pembanding dengan frasa “kepedihan akibat cinta” dan “kegagalan hidup”. Frasa-frasa itu membandingkan dengan kiasan langsung tanpa mempergunakan kata/frasa lainnya sebagai kata pembanding secara lugas. c) Gaya Bahasa atau Majas Perumpamaan/Asosiasi Dalam syair lagu “Biru” tersebut, gaya bahasa atau majas perumpamaan/asosiasi ditemukan dalam kelompok penggalan syair lagu nomor (1), (2) dan (3). “Tiada pernah aku bahagia” (1) “Sebahagia hari ini kasih” (2) “Sepertinya ku bermimpi” (3) Dalam penggalan syair lagu nomor (1), (2) dan (3) di atas, terdapat hubungan kalimat-kalimat perumpamaan yang menyatakan bahwa penulis merasakan tidak pernah bahagia, sebahagia hari ini. Penulis mengumpamakan peristiwa itu seperti mimpi yang sedang dialaminya. Hal tersebut diumpamakan oleh penulis dengan kata “seperti”. d) Gaya Bahasa atau Majas Pararelisme Anapora Dalam syair lagu “Biru” tersebut, gaya bahasa atau majas pararelisme anapora ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (10), (11) dan (12), serta penggalan syair lagu nomor (27) dan (28). 1) “Kau terangkan gelap mataku” (10) “Kau hilangkan resah hatiku” (11) “Kau hidupkan lagi cintaku” (12) 2) “Ku ingin selalu dekat kekasihku” (27) “Ku ingin selalu dekat kekasihku” (28) Dalam penggalan syair lagu nomor (10), (11) dan (12) di atas, terdapat kata “kau” yang diulang sebanyak tiga kali di awal penggalan syair lagu tersebut. Demikian juga dengan penggalan syair lagu nomor (27) dan (28), terdapat frasa “ku ingin” yang diulang sebanyak dua kali di awal penggalan syair lagu tersebut. e) Gaya Bahasa atau Majas Hiperbola Dalam syair lagu “Biru” tersebut, gaya bahasa atau majas hiperbola ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (10), (11) dan (12). 1) “Kau terangkan gelap mataku” (10) 2) “Kau hilangkan resah hatiku” (11) 3) “Kau hidupkan lagi cintaku” (12) Dalam penggalan syair lagu nomor (10), (11) dan (12) di atas, terdapat kalimat-kalimat yang dianggap berlebihan. Hal tersebut sesuai dengan penggalan syair lagu di atas, yang melebih-lebihkan kekasihnya dapat melakukan beberapa hal seperti menerangkan mata, menghilangkan resah dan menghidupkan kembali sebuah cinta. f) Gaya Bahasa atau Majas Elipsis Dalam syair lagu “Biru” tersebut, gaya bahasa atau majas elipsis ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (4) dan (8). 1) “Dan hampir tak percaya” (4) 2) “Hingga mampu menghapuskan luka goresan cinta” (8) Dalam penggalan syair lagu nomor (4) dan (8) di atas, terdapat kata-kata yang dihilangkan, seperti: kata “aku” sebagai subjek penggalan syair lagu nomor (4) dan (8). g) Gaya Bahasa atau Majas Inverse/Anastrof Dalam syair lagu “Biru” tersebut, gaya bahasa atau majas inverse/anastrof ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (3). 1) “Sepertinya ku bermimpi” (3) Dalam penggalan syair lagu nomor (3) di atas, terdapat pertukaran susunan antara subjek dan predikat. Dalam penggalan syair lagu tersebut, predikat “sepertinya” terletak di awal subjek “ku”. Subjek “ku” semestinya terletak mendahului predikat. 2) Deskripsi Data Persajakan dalam Syair Lagu “Biru” Dalam lagu “Biru”, dapat dideskripsikan bahwa dalam lagu tersebut ditemukan ada lima jenis sajak atau rima, yaitu: a) Sajak atau rima awal/depan; b) Sajak atau rima tengah; c) Sajak atau rima akhir; d) Sajak atau rima sama/terus/rangkai/lurus; dan e) sajak atau rima patah/putus. a) Sajak atau Rima Awal/Depan Dalam syair lagu “Biru” tersebut, sajak atau rima depan/awal ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (10), (11) dan (12). “Kau terangkan gelap mataku” (10) “Kau hilangkan resah hatiku” (11) “Kau hidupkan lagi cintaku” (12) (Bait ke-3) Dalam penggalan syair lagu nomor (10), (11) dan (12), terdapat kata “kau” di awal setiap penggalan syair lagu. Kata tersebut mempunyai bunyi dan bentuk yang sama. b) Sajak atau Rima Tengah Dalam syair lagu “Biru” tersebut, sajak atau rima tengah ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (10), (11) dan (12). “Kau terangkan gelap mataku” (10) “Kau hilangkan resah hatiku” (11) “Kau hidupkan lagi cintaku” (12) (Bait ke-3) Dalam penggalan syair lagu nomor (10), (11) dan (12), terdapat suku kata “kan” di tengah-tengah penggalan syair lagu. Kata tersebut mempunyai bunyi dan bentuk yang sama. c) Sajak atau Rima Akhir Dalam syair lagu “Biru” tersebut, sajak atau rima akhir ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (10), (11) dan (12). “Kau terangkan gelap mataku” (10) “Kau hilangkan resah hatiku” (11) “Kau hidupkan lagi cintaku” (12) (Bait ke-3) Dalam penggalan syair lagu nomor (10), (11) dan (12), terdapat suku kata “ku” di akhir setiap penggalan syair lagu. Kata tersebut mempunyai bunyi dan bentuk yang sama. d) Sajak atau Rima Sama/Terus/Rangkai/Lurus Dalam syair lagu “Biru” tersebut, sajak atau rima sama/terus/rangkai/lurus ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (14) dan (15). “Kini tetes air mata haru” (14) “Menghiasi janji yang terpadu” (15) (Bait ke-4) Dalam penggalan syair lagu nomor (14) dan (15), secara berurutan terdapat kata “haru” dan “terpadu” yang memiliki vokal akhir yang sama, yaitu: vokal /u/. Karena kedua vokal itu sama, maka penggalan syair lagu di atas dapat disimbolkan dengan sajak aa. e) Sajak atau Rima Patah/Putus Dalam syair lagu “Biru” tersebut, sajak atau rima depan/awal ditemukan dalam penggalan syair lagu nomor (1), (2) dan (3); penggalan syair lagu nomor (6), (7) dan (8); serta penggalan syair lagu nomor (16), (17) dan (18). “Tiada pernah aku bahagia” (1) “Sebahagia hari ini kasih” (2) “Sepertinya ku bermimpi” (3) (Bait ke-1) “Belai manja serta kecup sayang” (6) “Kau curahkan penuh kepastian” (7) “Hingga mampu menghapuskan luka goresan cinta” (8) (Bait ke-2) “Tuhan jangan Kau pisahkan” (16) “Apapun yang terjadi” (17) “Ku ingin selalu dekat kekasihku” (18) (Bait ke-4) Dalam penggalan syair lagu nomor (1), (2) dan (3), secara berurutan diakhiri kata “bahagia”, “kasih” dan “bermimpi” yang memiliki vokal dan konsonan akhir yangg berbeda, yaitu: vokal /a/, /h/, dan /i/. Demikian juga dengan penggalan syair lagu nomor (6), (7) dan (8), secara berurutan diakhiri dengan kata “sayang”, “kepastian” dan “cinta” yang juga diakhiri dengan konsonan dan vokal /g/, /n/ dan /a/. Sama halnya dengan penggalan syair lagu nomor (16), (17) dan (18) di atas, secara berurutan diakhiri kata “pisahkan”, “terjadi” dan “kekasihku” yang diakhiri oleh konsonan dan vokal /n/, /i/ dan /u/. Karena vokal dan konsonan itu berbeda semua, maka penggalan syair lagu di atas dapat disimbolkan dengan sajak abc. 4.2 Analisis Data 4.2.1 Analisis Data Jenis Gaya Bahasa atau Majas pada Syair Lagu-Lagu Afgan dalam Album Conffension No.1 Berdasarkan deskripsi data pada bagian sebelumnya, diperoleh hasil bahwa dalam album Conffension No.1 terdapat 15 gaya bahasa atau majas, yaitu: 1) Klasifikasi gaya bahasa atau majas perbandingan meliputi: a) Gaya bahasa atau majas personifikasi, b) Gaya bahasa atau majas metafora dan c) Gaya bahasa atau majas perumpamaan/asosiasi; 2) Klasifikasi gaya bahasa atau majas penegasan/perulangan meliputi: a) Gaya bahasa atau majas pararelisme anapora, b) Gaya bahasa atau majas pararelisme epipora/epistrofa, c) Gaya bahasa atau majas tautologi/tautotes dan d) Gaya bahasa atau majas enomerasio/enumerasi; 3) Klasifikasi gaya bahasa atau majas pertentangan meliputi: a) Gaya bahasa atau majas hiperbola, b) Gaya bahasa atau majas sinisme, c) Gaya bahasa atau majas paradoks dan d) Gaya bahasa atau majas antitesis; 3) Klasifikasi gaya bahasa atau majas pertautan meliputi: a) Gaya bahasa atau majas sinekdoke pars prototo, b) Gaya bahasa atau majas sinekdoke totem proparte, c) Gaya bahasa atau majas elipsis dan e) Gaya bahasa atau majas inverse/anastrof. Untuk lebih jelas penggunaan gaya bahasa atau majas yang terdapat dalam album Conffension No.1 tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini. No Klasifikasi Gaya Bahasa atau Majas Jenis Gaya Bahasa atau Majas Jumlah 1) Perbandingan a) Personifikasi b) Metafora c) Alegori d) Perumpamaan/Asosiasi 4 5 0 1 2) Penegasan/Perulangan a) Pararelisme - Anapora - Epipora/Epistrofa b) Repetisi c) Tautologi/tautotes d) Kiasmas/Kaismus e) Antanaklasis f) Enomerasio/Enumerasi g) Interupsi/Enterupsi h) Praterito/Preteresio 6 3 0 3 0 0 3 0 0 3. Pertentangan a) Hiperbola b) Litotes c) Ironi d) Sinisme e) Sarkasme f) Oksimoron g) Paradoks h) Antitesis i) Kontradiksio interminis 6 0 0 1 0 0 2 1 0 4. Pertautan a) Sinekdoke - Pars Prototo - Totem Proparte b) Metonimia c) Alusio d) Elipsis e) Inverse/Anastrof 1 2 0 0 8 7 Dari tabel di atas, penulis menginterpretasikan bahwa gaya bahasa yang paling dominan atau paling banyak digunakan pada syair lagu-lagu Afgan dalam album Conffension No.1 adalah gaya bahasa elipsis (8 kali). Sebagaimana diketahui, gaya bahasa elipsis adalah gaya bahasa yang di dalamnya terdapat penghilangan kata atau unsur penting dalam sintaksis. Berikut ini, hasil analisis masing-masing gaya bahasa yang digunakan pada syair lagu-lagu Afgan dalam album Conffension No.1. 1. Klasifikasi Gaya Bahasa atau Majas Perbandingan pada Syair Lagu-Lagu Afgan dalam Album Conffension No.1 Berdasarkan hasil analisis terhadap sepuluh syair lagu Afgan yang ada dalam album Conffension No.1, diperoleh ada tiga jenis gaya bahasa atau majas perbandingan, yaitu: a) Gaya bahasa atau majas personifikasi; b) Gaya bahasa atau majas metafora; dan c) Gaya bahasa atau majas perumpamaan/asosiasi. a. Gaya Bahasa atau Majas Personifikasi Penggunaan gaya bahasa atau majas personifikasi pada lagu Afgan dalam album Conffension No.1 sebanyak 4 kali. Personifikasi adalah gaya bahasa perbandingan yang membandingkan benda-benda tidak bernyawa dengan sifat insani persona atau manusia, misalnya dalam penggalan syair lagu: 1) Masih ada desau angin malam-angin malam (“Shanty Lussy” Larik ke-13); dan 2) Kini tetes air mata haru, menghiasi janji yang terpadu (“Biru” larik ke-14 dan 15). Dari dua penggalan syair lagu tersebut dinyatakan benda-benda mati dapat disamakan dengan manusia yang dapat melakukan suatu aktivitas atau kegiatan. b. Gaya Bahasa atau Majas Metafora Penggunaan gaya bahasa atau majas metafora pada lagu Afgan dalam album Conffension No.1 sebanyak 5 kali. Metafora adalah gaya bahasa perbandingan yang membandingkan dua hal secara implisit yang menggunakan kata-kata yang bukan arti sesungguhnya, melainkan menggunakan kiasan langsung yang diungkapkan secara singkat dan padat serta tidak menggunakan kata-kata pembanding, seperti bagai, laksana, seperti dan sebagainya, misalnya dalam penggalan syair lagu: 1) Cahaya kasihmu menuntunku (“Terima Kasih Cinta” larik ke-3); 2) Entah kapankah ku dapat membuka hati ini, untukmu? (“Entah” larik ke-8); 3) Setiap detik waktu dalam hidupku (“Hanya Ada Satu” larik ke-5); 4) Pelampiasan cintamu (“Sadis” larik ke-3); 5) Kau terangkan gelap mataku (“Biru” larik ke-10). Dari penggalan lima syair lagu di atas, banyak ditemukan kiasan yang berusaha membandingkan suatu benda dengan benda pembanding lain yang derajat dan sifatnya sama dengan tanpa kata-kata pembanding. c. Gaya Bahasa atau Majas Perumpamaan/Asosiasi Penggunaan gaya bahasa atau majas perumpamaan/asosiasi pada lagu Afgan dalam album Conffension No.1 sebanyak 1 kali. Gaya bahasa atau majas perumpamaan/asosiasi adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal yang berbeda namun sengaja dianggap sama dengan cara melanjutkan dengan keadaan lain yang sejalan dengan sifat-sifat pembandingnya, misalnya dalam penggalan syair lagu: 1) Tiada pernah aku bahagia, sebahagia hari ini kasih, sepertinya ku bermimpi (“Biru” larik ke-1, 2 dan 3). Dari penggalan syair lagu tersebut, penulis merasakan tidak pernah bahagia, sebahagia hari ini. Penulis mengumpamakan peristiwa itu seperti mimpi yang sedang dialaminya. 2. Klasifikasi Gaya Bahasa atau Majas Penegasan/Perulangan pada Syair Lagu- Lagu Afgan dalam Album Conffension No.1 Berdasarkan hasil analisis terhadap sepuluh syair lagu Afgan yang ada dalam album Conffension No.1, diperoleh ada empat jenis gaya bahasa atau majas penegasan/perulangan, yaitu: a) Gaya bahasa atau majas pararelisme anapora; b) Gaya bahasa atau majas pararelisme epipora/epistrofa; c) Gaya bahasa atau majas tautologi/tautotes; dan d) Gaya bahasa atau majas enomerasio/enumerasi. a. Gaya Bahasa atau Majas Pararelisme Anapora Penggunaan gaya bahasa atau majas pararelisme anapora pada lagu Afgan dalam album Conffension No.1 sebanyak 6 kali. Pararelisme anapora adalah gaya bahasa perulangan kata atau kelompok kata yang sama di depan tiap larik/baris/kalimat secara berulang, misalnya dalam penggalan syair lagu: 1) Kau duakan cintaku yang tulus (2) Kau tahu, diriku (3) Entah masihkah ada cinta dihatiku, untukmu? (7) Entah kapankah ku dapat membuka hati ini, untukmu? (8) (“Entah” larik ke-2, 3, 7 dan 8) 2) Hanya ada satu sayang di hatiku (10) Hanya ada satu cinta di hatiku (11) Hanya ada satu rindu di hatiku (12) (“Hanya Ada Satu” larik ke-10, 11 dan 12) 3) Setiap saat (4) Setiap waktu (5) Izinkan aku kecup keningmu (7) Izinkan aku peluk dirimu (8) Izinkan aku hadir di dalam mimpimu (9) Betapa aku cinta padamu (10) Betapa aku aku ingin dirimu (11) (“Betapa Aku Cinta Padamu” larik ke-4, 5, 7, 8, 9, 10 dan 11) 4) Masih gelap warna embun (11) Masih deras turun hujan (12) Masih ada desau angin malam-angin malam (13) Masih ingin aku memeluk dirimu lagi (14) Masih ingin menyayangmu lagi” (15) (“Shanty Lussy” larik ke-11, 12, 13, 14 dan 15) 5) Jangan kau cintai diriku (6) Jangan kau inginkan aku (7) (“Hilang Rasa” larik ke-6 dan 7) 6) Kau terangkan gelap mataku (10) Kau hilangkan resah hatiku (11) Kau hidupkan lagi cintaku (12) Ku ingin selalu dekat kekasihku (27) Ku ingin selalu dekat kekasihku (28) (“Biru” larik ke-10, 11, 12, 27 dan 28) Dari keenam penggalan syair lagu di atas, banyak ditemukan pengulangan-pengulangan kata yang sama bentuk dan bunyi yang ditemukan di awal setiap larik lagu. b. Gaya Bahasa atau Majas Pararelisme Epipora/Epistrofa Penggunaan gaya bahasa atau majas pararelisme epipora/epistrofa pada lagu Afgan dalam album Conffension No.1 sebanyak 3 kali. Epipora adalah gaya bahasa (majas) pengulangan yang menempatkan kata atau kelompok kata yang sama pada akhir baris atau kalimat berurutan, misalnya dalam penggalan syair lagu: 1) Entah masihkah ada cinta dihatiku, untukmu? (7) Entah kapankah ku dapat membuka hati ini, untukmu? (8) (“Entah” larik ke-7 dan 8) 2) Hanya ada satu sayang di hatiku (10) Hanya ada satu cinta di hatiku (11) Hanya ada satu rindu di hatiku (12) (“Hanya Ada Satu” larik ke-10, 11 dan 12) 3) Jangan kau inginkan aku (7) Singkirkanlah aku (8) (“Hilang Rasa” larik ke-7 dan 8) Dari ketiga syair lagu di atas, banyak ditemukan pengulangan-pengulangan kata yang sama bentuk dan bunyi yang ditemukan di akhir setiap larik lagu. c. Gaya Bahasa atau Majas Tautologi/Tautotes Penggunaan gaya bahasa atau majas tautologi/tautotes pada lagu Afgan dalam album Conffension No.1 sebanyak 3 kali. Tautologi/tautotes adalah gaya bahasa perulangan yang menjelaskan dengan kata berapa kali dalam sebuah kontruksi/kalimat, misalnya dalam penggalan syair lagu: 1) Ku jatuh cinta, jatuh untuk kesekian kalinya (7) (“Tanpa Batas Waktu” larik ke-7 dan 9); 2) Sudah bosan klise, klise semua (“Klise” larik ke-5); dan 3) Yang aku sayang, yang aku rindu (“Betapa Aku Cinta Padamu” larik ke-3). Berdasarkan contoh-contoh tersebut, diketahui bahwa syair-syair tersebut mengalami sebuah pengulangan dalam suatu kontruksi kalimat yang sama. d. Gaya Bahasa atau Majas Enomerasio/Enumerasi Penggunaan gaya bahasa atau majas enomerasio/enumerasi pada lagu Afgan dalam album Conffension No.1 sebanyak 3 kali. Enomerasio/enumerasi adalah gaya bahasa yang berupa ungkapan pendek untuk menyatakan suatu peristiwa secara lugas dan jelas dengan maksud agar terasa dinamis, misalnya pada penggalan syair lagu: 1) Ku jatuh cinta, jatuh untuk kesekian kalinya (“Tanpa Batas Waktu” larik ke-7); 2) Cerita kita berakhir begini (“Entah” larik ke-10); dan 3) Masih gelap warna embun (“Shanty Lussy” larik ke-11). Berdasarkan ketiga penggalan syair lagu tersebut, penulis banyak menceritakan sebuah peristiwa secara lugas dan jelas. 3. Klasifikasi Gaya Bahasa atau Majas Pertentangan pada Syair Lagu-Lagu Afgan dalam Album Conffenison No.1 Berdasarkan hasil analisis terhadap sepuluh syair lagu Afgan yang ada dalam album Conffension No.1, diperoleh ada empat jenis gaya bahasa atau majas pertentangan, yaitu: a) Gaya bahasa atau majas hiperbola; b) Gaya bahasa atau majas sinisme; c) Gaya bahasa atau majas paradoks dan d) Gaya bahasa atau majas antitesis. a. Gaya Bahasa atau Majas Hiperbola Penggunaan gaya bahasa atau majas hiperbola pada lagu Afgan dalam album Conffension No.1 sebanyak 6 kali. Hiperbola adalah gaya bahasa yang berupa kiasan yang berlebih-lebihan baik jumlah, ukuran, ataupun sifatnya. Misalnya dalam penggalan syair lagu: 1) Tergila-gila memuja (“Tanpa Batas Waktu” larik ke-10); 2) Tanpamu tiada berarti (“Terima Kasih Cinta” larik ke-9); 3) Menunggu tanda kau berubah, tapi lama-lama bisa gila (“Klise” larik ke-10 dan 11); 4) Aku takut kehilanganmu oh sayang (“Hanya Ada Satu“ larik ke-2); 5) Izinkan aku hadir di dalam mimpimu (“Betapa Aku Cinta Padamu” larik ke-9); 6) Kau terangkan gelap mataku (“Biru” larik ke-10). Berdasarkan keenam penggalan syair lagu tersebut, kata-kata yang digarisbawahi tersebut mempunyai makna yang berlebih-lebihan yang sengaja ditulis oleh si penulis. b. Gaya Bahasa atau Majas Sinisme Penggunaan gaya bahasa atau majas sinisme pada lagu Afgan dalam album Conffension No.1 sebanyak 1 kali. Sinisme adalah gaya bahasa yang merupakan sindiran secara tidak langsung (lawan kata) yang diutarakan secara kasar. Misalnya dalam penggalan syair lagu: 1) Terlalu sadis caramu (“Sadis” larik ke-1). Dalam penggalan syair lagu tersebut terdapat sebuah sindiran kasar. Sindiran tersebut timbul dari rasa kecewa seseorang yang merasa telah dimanfaatkan kekasihnya. c. Gaya Bahasa atau Majas Paradoks Penggunaan gaya bahasa atau majas paradoks pada lagu Afgan dalam album Conffension No.1 sebanyak 2 kali. Paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan dengan fakta-fakta yang ada untuk menampakan arti dengan objek yang sebenarnya, misalnya dalam penggalan syair lagu: 1) Ciptakan alasan berbeda, tapi tak buat diriku suka (“Klise” larik ke-2 dan 3) 2) Setelah sekian lama Ku jalin cinta Tak jarangnya dirimu Tiada ku rasakan bahagia (“Hilang Rasa” larik ke-4) Berdasarkan kedua penggalan syair lagu tersebut, terjadi sebuah pertentangan kejadian dari fakta sebenarnya yang disampaikan dengan objek yang benar-benar terjadi. d. Gaya Bahasa atau Majas Antitesis Penggunaan gaya bahasa atau majas antitesis pada lagu Afgan dalam album Conffension No.1 sebanyak 1 kali. Antitesis adalah gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan dengan maksud sebagai penekanan pertentangan, misalnya dalam penggalan syair lagu: 1) Mencoba bisa melawan, tetapi semakin tertawan (“Tanpa Batas Waktu” larik ke-5 dan 6). Penggalan syair lagu tersebut mempunyai gagasan yang bertentangan. Pertentangan tersebut terlihat pada pernyataan yang menyatakan bahwa ketika si penulis lagu mencoba untuk bisa melawan, tetapi justru semakin tertawan. 4. Klasifikasi Gaya Bahasa atau Majas Pertautan pada Syair Lagu-Lagu Afgan dalam Album Conffension No.1 Berdasarkan hasil analisis terhadap sepuluh syair lagu Afgan yang ada dalam album Conffension No.1, diperoleh ada empat jenis gaya bahasa atau majas pertautan, yaitu: a) Gaya bahasa atau majas sinekdoke pars prototo; b) Gaya bahasa atau majas sinekdoke totem proparte; c) Gaya bahasa atau majas elipsis; dan d) Gaya bahasa atau majas inverse/anastrof. a. Gaya Bahasa atau Majas Sinekdoke Pars Prototo Penggunaan gaya bahasa atau majas sinekdoke pars prototo pada lagu Afgan dalam album Conffension No.1 sebanyak 1 kali. Sinekdoke adalah gaya bahasa yang menyebutkan suatu bagian sebagai ganti nama keseluruhan atau sebaliknya. Sinekdoke yang menyatakan sebagian untuk seluruhnya disebut sinekdoke pars prototo, misalnya dalam penggalan syair lagu: 1) Di hati kecilku berharap kau masih bagian dari hidupku (“Entah” larik ke-17). Berdasarkan contoh tersebut, kata “hati kecilku” menjadi representatif bagian suatu perihal dalam diri penulis lagu yang masih berharap bahwa pasangannya masih berada dalam kehidupannya. Padahal, maksudnya adalah segenap jiwa dan raga penulis lagu tersebut yang berharap bahwa pasangannya masih berada dalam kehidupannya. b. Sinekdoke Totem Proparte Penggunaan gaya bahasa atau majas sinekdoke totem proparte pada lagu Afgan dalam album Conffension No.1 sebanyak 2 kali. Sinekdoke adalah gaya bahasa yang menyebutkan suatu bagian sebagai ganti nama keseluruhan atau sebaliknya. Sinekdoke yang menyatakan seluruh untuk sebagian disebut sinekdoke totem proparte, misalnya dalam penggalan syair lagu: 1) Terima kasih cinta untuk segalanya (“Terima Kasih Cinta” larik ke-5); dan 2) Teganya kau dustai semua (“Entah” larik ke-5). Berdasarkan contoh tersebut, penulis menggunakan kata “segalanya” dan “semua”, padahal maksud yang sesungguhnya hanya sebagian saja. c. Gaya Bahasa atau Majas Elipsis Penggunaan gaya bahasa atau majas elipsis pada lagu Afgan dalam album Conffension No.1 sebanyak 8 kali. Elipsis adalah gaya bahasa yang di dalamnya terdapat penghilangan kata atau unsur penting dalam sintaksis. Misalnya dalam penggalan syair lagu: 1) Cintai kamu (“Tanpa Batas Waktu” larik ke-8); 2) Tersadar di dalam sepiku (“Terima Kasih Cinta” larik ke-1); 3) Menunggu tanda kau berubah (“Klise” larik ke-10); 4) Selalu datang (“Hanya Ada Satu” larik ke-4); 5) Menyingkirkan diriku (“Sadis” larik ke-7); 6) Bawalah aku, dalam mimpi-mimpi indahmu (“Shanty Lussy” larik ke-18); 7) Singkirkanlah aku (“Hilang Rasa” larik ke-8); 8) Dan hampir tak percaya (“Biru” larik ke-4). Berdasarkan delapan penggalan syair lagu tersebut, kita ketahui bahwa terjadi penghilangan subjek seperti: “kau”, “aku” dan lain sebagainya. d. Gaya Bahasa atau Majas Inverse/Anastrof Penggunaan gaya bahasa atau majas inverse/anastrof pada lagu Afgan dalam album Conffension No.1 sebanyak 7 kali. Inverse/anastrof adalah gaya bahasa yang diperoleh dengan membalikan susunan kata atau susunan kalimat. Misalnya dalam penggalan syair lagu: 1) Tak ku mengerti (“Tanpa Batas Waktu” larik ke-16); 2) Semula ku diamkan saja (“Klise” larik ke-9); 3) Tak pernah ku bayangkan (“Entah” larik ke-9); 4) Kan ku coba membahagiakan dirimu (“Hanya Ada Satu” larik ke-6); 5) Tak usah engkau ragu (“Shanty Lussy” larik ke-6); 6) Tiada ku rasakan bahagia (“Hilang Rasa” larik ke-4); 7) Sepertinya ku bermimpi (“Biru” larik ke-3). Berdasarkan tujuh penggalan syair lagu tersebut, susunan kata dalam syair-syair tersebut yang mengalami pembalikan susunan atara subjek dan predikat. Hal itu terlihat pada kata-kata yang digarisbawahi di atas. 4.2.2 Analisis Jenis Persajakan atau Rima pada Syair Lagu-Lagu Afgan dalam Album Conffension No.1 Berdasarkan deskripsi data pada bagian sebelumnya, diperoleh hasil bahwa dalam album Conffension No.1 terdapat 11 sajak atau rima, yaitu: 1) Klasifiksi sajak atau rima berdasarkan bunyinya yang meliputi: a) Sajak atau rima sempurna/mutlak; b) Sajak atau rima asonansi/paruh; c) Sajak aliterasi/pangkal dan d) Sajak disonansi/Rangka; 2) Klasifikasi sajak atau rima berdasarkan letaknya dalam baris yang meliputi: a) Sajak atau rima depan/awal, b) Sajak atau rima tengah dan c) Sajak atau rima akhir; 3) Klasifikasi sajak atau rima berdasarkan letaknya dalam bait yang meliputi: a) Sajak atau rima silang; b) Sajak berpeluk/genggang/bertaut; c) Sajak sama/terus/rangkai/lurus; d) Sajak berpasangan/kembar dan e) Sajak patah/putus. Untuk lebih jelas penggunaan sajak atau rima yang terdapat dalam album Conffension No.1 tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini. No Klasifikasi Sajak atau Rima Jenis Sajak atau Rima Jumlah 1) Sajak atau rima berdasarkan bunyinya a) Sajak sempurna/mutlak b) Sajak asonansi/paruh c) Sajak aliterasi/pangkal d) Sajak disonansi/rangka 4 1 8 0 2) Sajak atau rima berdasarkan letaknya dalam baris a) Sajak depan/awal b) Sajak tengah c) Sajak akhir 6 2 2 3. Sajak atau Rima berdasarkan letaknya dalam bait a) Sajak silang b) Sajak berpeluk/genggang/bertaut c) Sajak sama/terus/rangkai/lurus d) Sajak berpasangan/kembar e) Sajak patah/putus 2 1 6 2 6 Dari tabel di atas, penulis menginterpretasikan bahwa sajak atau rima yang paling dominan atau paling banyak digunakan pada syair lagu-lagu Afgan dalam album Conffension No.1 adalah sajak atau rima aliterasi/pangkal (8 kali). Sebagaimana diketahui, sajak atau rima aliterasi/pangkal adalah sajak atau rima yang pada sebuah lariknya diawali oleh kata-kata dengan fonem konsonan yang sama. Berikut ini, pembahasan masing-masing sajak atau rima yang digunakan pada syair lagu-lagu Afgan dalam album Conffension No.1. 1. Klasifikasi Sajak atau Rima Berdasarkan Bunyinya pada Syair Lagu-Lagu Afgan dalam Album Conffension No.1 Berdasarkan hasil analisis terhadap sepuluh syair lagu Afgan yang ada dalam album Conffension No.1, diperoleh ada tiga jenis sajak atau rima berdasarkan bunyinya, yaitu: a) Sajak atau rima sempurna/mutlak; b) Sajak atau rima asonansi/paruh dan c) Sajak atau rima aliterasi/pangkal. a. Sajak atau Rima Sempurna/Mutlak Penggunaan sajak atau rima sempurna/mutlak pada lagu Afgan dalam album Conffension No.1 sebanyak 4 kali. Sajak atau rima sempurna atau rima mutlak adalah rima yang terjadi bila suku kata akhir bunyi dan bentuknya sama dengan pola (aa/aaa/aaaa). Misalnya dalam penggalan syair lagu: 1) Entah masihkah ada cinta di hatiku, untukmu? (13) Entah kapankah ku dapat membuka hati ini, untukmu? (14) (“Entah” bait ke-4, larik ke-13 dan 14) 2) Hanya ada satu sayang di hatiku (10) Hanya ada satu cinta di hatiku (11) Hanya ada satu rindu di hatiku (12) (“Hanya Ada Satu” bait ke-3, larik ke-10, 11 dan 12) 3) Masih ingin aku memeluk dirimu lagi (14) Masih ingin menyayangmu lagi (15) (“Shanty Lussy” bait ke-3, larik ke-14 dan 15) 4) Jangan kau inginkan aku (7) Singkirkanlah aku (8) (“Hilang Rasa” bait ke-2, larik ke-7 dan 8) Berdasarkan keempat penggalan syair lagu di atas, terdapat adanya kesamaan bentuk dan bunyi kata akhir dari penggalan syair lagu tersebut. Contoh pertama hingga keempat, secara berurutan berakhiran dengan kata “untukmu”, “dihatiku”, “lagi” dan “aku”. b. Sajak atau Rima Asonansi/Paruh Penggunaan sajak atau rima asonansi/paruh pada lagu Afgan dalam album Conffension No.1 sebanyak 1 kali. Sajak atau rima asonansi/paruh adalah rima atau sajak yang terdapat pada kata akhir yang bunyinya sama karena disebabkan oleh perulangan bunyi vokal yang sama dalam satu kata. Misalnya dalam penggalan syair lagu: 1) Mencoba bisa melawan (5) 2) Tetapi semakin tertawan (6) (“Tanpa Batas Waktu” bait ke-1, larik ke-5 dan 6) Berdasarkan syair lagu di atas, diperoleh kata akhir “melawan” dan “tertawan”. Kedua kata tersebut mempunyai perulangan bunyi vokal yang sama, yaitu: vokal /e/, /a/ dan /a/. c. Sajak atau Rima Aliterasi/Pangkal Penggunaan sajak atau rima aliterasi/pangkal pada lagu Afgan dalam album Conffension No.1 sebanyak 8 kali. Sajak atau rima aliterasi/pangkal adalah rima yang pada sebuah lariknya diawali oleh kata-kata dengan fonem konsonan yang sama. Misalnya dalam penggalan syair lagu: 1) Terlanjur cinta, terlanjur aku inginkan cinta (9) Tergila-gila memuja (10) Tanpa batas waktu (11) (“Tanpa Batas Waktu” bait ke-2, larik ke-9, 10 dan 11) 2) Tanpamu tiada berarti (9) Tak mampu lagi berdiri (10) (“Terima Kasih Cinta” baik ke-3, larik ke-9 dan 10) 3) Ceritakanlah apa saja (1) Ciptakan alasan berbeda (2) (“Klise” bait ke-1, larik ke-1 dan 2) 4) Ku tahu, kau selingkuh (1) Kau duakan cintaku yang tulus (2) Kau tahu, diriku (3) (“Entah” bait ke-1, larik ke-1, 2 dan 3) 5) Setiap saat (4) (“Betapa Aku Cinta Padamu” bait ke-1, larik ke-4) 6) Hingga kau sadari sesungguhnya yang kau punya (13) Hanya aku tempatmu kembali (14) (“Sadis” bait ke-3, larik ke-13 dan 14) 7) Bawalah aku, dalam mimpi-mimpi indahmu (7) Biar abadi cinta di hati (8) (“Shanty Lussy” bait ke-2, larik ke-7 dan 8) 8) Tak jarangnya dirimu (3) Tiada ku rasakan bahagia (4) (“Hilang Rasa” bait ke-1, larik ke-3 dan 4) Berdasarkan delapan penggalan syair lagu di atas, dapat diketahui bahwa penggalan syair lagu di atas sama-sama diawali oleh huruf konsonan yang sama. 2. Klasifikasi Sajak atau Rima Berdasarkan Letaknya dalam Baris pada Syair Lagu-Lagu Afgan dalam Album Conffension No.1 Berdasarkan hasil analisis terhadap sepuluh syair lagu Afgan yang ada dalam album Conffension No.1, diperoleh ada tiga jenis sajak atau rima berdasarkan letaknya dalam baris, yaitu: a) Sajak atau rima depan/awal; b) Sajak atau rima tengah; dan c) Sajak atau rima akhir. a. Sajak atau Rima Depan/Awal Penggunaan sajak atau rima depan/awal pada lagu Afgan dalam album Conffension No.1 sebanyak 6 kali. Sajak atau rima depan/awal adalah sajak atau rima yang terjadi bila awal larik-larik puisi dalam satu bait sama. Misalnya dalam penggalan syair lagu: 1) Sudah bosan klise, klise semua (5) Tak bosan-bosan, buat klise lainnya (6) (“Klise” bait ke-1, larik ke-5 dan 6) 2) Entah masihkah ada cinta di hatiku, untukmu? (13) Entah kapankah ku dapat membuka hati ini, untukmu? (14) (“Entah” bait ke-4, larik ke-13 dan 14) 3) Hanya ada satu sayang dihatiku (10) Hanya ada satu cinta dihatiku (11) Hanya ada satu rindu dihatiku (12) (“Hanya Ada Satu” bait ke-3, larik ke-10, 11 dan 12) 4) Setiap saat (4) Setiap waktu (5) (“Betapa Aku Cinta Padamu” bait ke-1, larik ke-4 dan 5) 5) Masih gelap warna embun (11) Masih deras turun hujan (12) Masih ada desau angin malam-angin malam (13) Masih ingin aku memeluk dirimu lagi (14) Masih ingin menyayangmu lagi (15) (“Shanty Lussy” bait ke-3, larik ke-11, 12, 13, 14 dan 15) 6) Jangan kau cintai diriku (6) Jangan kau inginkan aku (7) (“Hilang Rasa” bait ke-1, larik ke-6 dan 7) Pada keenam penggalan syair lagu di atas, diperoleh data bahwa larik-larik tersebut diawali oleh kata-kata yang bentuk dan bunyinya sama. b. Sajak atau Rima Tengah Penggunaan sajak atau rima tengah pada lagu Afgan dalam album Conffension No.1 sebanyak 2 kali. Sajak atau rima tengah adalah rima yang kata atau suku kata ditengah baris puisi terdapat kesamaan. Misalnya dalam penggalan syair lagu: 1) Untuk bisa memilikimu (4) Mencoba bisa melawan (5) (“Tanpa Batas Waktu” bait ke-1, larik ke-4 dan 5) 2) Kau terangkan gelap mataku (10) Kau hilangkan resah hatiku (11) Kau hidupkan lagi cintaku (12) (“Biru” bait ke-3, larik ke-10, 11 dan 12) Dalam penggalan kedua syair lagu di atas, diperoleh data bahwa ditengah kedua penggalan syair lagu tersebut terdapat kata-kata dan suku kata yang bentuk dan bunyinya sama. c. Sajak atau Rima Akhir Penggunaan sajak atau rima akhir pada lagu Afgan dalam album Conffension No.1 sebanyak 2 kali. Sajak atau rima akhir adalah sajak atau rima yang diakhir setiap larik puisi mengalami pengulangan kata. Misalnya dalam penggalan syair lagu: 1) Mencoba bisa melawan (5) Tetapi semakin tertawan (6) (“Tanpa Batas Waktu” bait ke-1, larik ke-5 dan 6) 2) Kau terangkan gelap mataku (10) Kau hilangkan resah hatiku (11) Kau hidupkan lagi cintaku (12) (“Biru” bait ke-3, larik ke-10,11 dan 12) Dalam penggalan kedua syair lagu di atas, diperoleh data bahwa diakhir penggalan syair lagu tersebut terdapat suku kata yang bentuk dan bunyinya sama. 3. Klasifikasi Sajak atau Rima Berdasarkan Letaknya dalam Bait pada Syair Lagu-Lagu Afgan dalam Album Conffension No.1 Berdasarkan hasil analisis terhadap sepuluh syair lagu Afgan yang ada dalam album Conffension No.1, diperoleh ada lima jenis sajak atau rima berdasarkan letaknya dalam baris, yaitu: a) Sajak atau rima silang; b) Sajak atau rima berpeluk/genggang/bertaut; c) Sajak atau rima sama/terus/rangkai/lurus; d) Sajak atau rima berpasangan/kembar dan e) Sajak atau rima patah/putus. a. Sajak atau Rima Silang Penggunaan sajak atau rima silang pada lagu Afgan dalam album Conffension No.1 sebanyak 2 kali. Sajak atau rima silang adalah sajak yang mempunyai bunyi bersilang antara baris pertama dan ketiga, serta baris kedua dan keempat (pola abab). Misalnya dalam penggalan syair lagu: 1) Bukan sekali, aku alami (1) Getaranmu menyentuhku (2) Tidak berhenti. mencari-cari (3) Untuk bisa milikimu (4) (“Tanpa Batas Waktu” bait ke-1, larik ke-1, 2,3 dan 4) 2) Duhai Shanty Lussy, Shanty Lussy (26) Usah engkau pergi (27) Duhai Shanty Lussy (28) Usah engkau pergi (29) (“Shanty Lussy” bait ke-6, larik ke-26, 27, 28 dan 29) Berdasarkan hasil analisis, penggalan kedua lagu tersebut mempunyai sajak yang sama antara larik pertama dan ketiga, serta larik kedua dan keempat, dan berpola abab. b. Sajak atau Rima Berpeluk/Genggang/Bertaut Penggunaan sajak atau rima berpeluk/genggang/bertaut pada lagu Afgan dalam album Conffension No.1 sebanyak 1 kali. Sajak atau rima sajak atau rima berpeluk adalah rima yang berbait genap dan terjadi persamaan pada larik pertama dan keempat serta larik kedua dan ketiga (pola abba). Misalnya dalam penggalan syair lagu: 1) Cintai kamu (8) Terlanjur cinta, terlanjur aku inginkan cinta (9) Tergila-gila memuja (10) Tanpa batas waktu (11) (“Tanpa Batas Waktu” bait ke-2, larik ke-8, 9, 10 dan 11) Berdasarkan hasil analisis, penggalan syair lagu tersebut mempunyai sajak yang sama antara larik ke-8 dan ke-11, serta larik ke-9 dan ke-10, dan berpola abba. c. Sajak atau Rima Sama/Terus/Rangkai/Lurus Penggunaan sajak atau rima sama/terus/rangkai/lurus pada lagu Afgan dalam album Conffension No.1 sebanyak 6 kali. Sajak atau rima sama/terus/rangkai/lurus adalah sajak atau rima yang terletak pada akhir larik-larik puisi yang semuanya sama (pola aa/aaa/aaaa). Misalnya dalam penggalan syair lagu: 1) Tapi lama-lama bisa gila (11) Tak jelas lagi mana yang bukan dusta (12) (“Klise” bait ke-3, larik ke-11 dan 12) 2) Setiap detik waktu dalam hidupku (5) Kan ku coba membahagiakan dirimu (6) Hapuslah resahmu (7) Peluklah diriku (8) Kekasihku (9) (“Hanya Ada Satu” bait ke-2, larik ke-5, 6, 7, 8 dan 9) 3) Setiap waktu (5) Ku ingin engkau selalu ada di sisiku (6) (“Betapa Aku Cinta Padamu”Bait ke-1, larik ke-5 dan 6) 4) Tega niannya caramu (6) Menyingkirkan diriku (7) (“Sadis” bait ke-2, larik ke-6 dan 7) 5) Sentuhlah aku dengan belai manjamu (5) Tak usah engkau ragu (6) Bawalah aku, dalam mimpi-mimpi indahmu (7) (“Shanty Lussy” bait ke-2, larik ke-5, 6 dan 7) 6) Kini tetes air mata haru (14) Menghiasi janji yang terpadu (15) (“Biru” bait ke-4, larik ke-14 dan 15) Berdasarkan hasil analisis, penggalan keenam lagu tersebut mempunyai sajak yang sama antara larik awal sampai dengan akhir dan berpola aaaa. d. Sajak atau Rima Berpasangan/Kembar Penggunaan sajak atau rima sama/terus/rangkai/lurus pada lagu Afgan dalam album Conffension No.1 sebanyak 2 kali. Sajak atau rima berpasangan/kembar adalah sajak atau rima yang terletak pada akhir larik-larik puisi yang semuanya sama (pola aa/aaa/aaaa). Misalnya dalam penggalan syair lagu: 1) Tanpamu tiada berarti (9) Tak mampu lagi berdiri (10) Cahaya kasihmu menuntunku (11) Kembali dalam dekapan tanganmu (12) (“Terima Kasih Cinta” bait ke-3, larik ke-9, 10, 11 dan 12) 2) Kau tahu, diriku (3) Tak pernah berpaling dari dirimu (4) Teganya kau dustai semua (5) Janji kita berdua (6) (“Entah” bait ke-1, larik ke-3, 4, 5 dan 6) Berdasarkan hasil analisis, penggalan kedua lagu tersebut mempunyai sajak yang sama antara dua larik awal serta dua larik akhirpun juga sama dan berpola aabb. e. Sajak atau Rima Patah/Putus Penggunaan sajak atau rima patah/putus pada lagu Afgan dalam album Conffension No.1 sebanyak 6 kali. Sajak atau rima patah/putus adalah sajak atau rima yang salah satunya atau semua kata akhirnya tidak sama (pola abcde). Misalnya pada penggalan syair lagu: 1) Terima kasih cinta untuk segalanya (5) Kau berikan lagi kesempatan itu (6) Tak akan terulang lagi (7) (“Terima Kasih Cinta” bait ke-2, larik ke 5, 6 dan 7) 2) Masihkah ada (15) Cinta di hati ini (16) Di hati kecilku berharap kau masih bagian dari hidupku (17) (“Entah” bait ke-5, larik ke-16, 17 dan 17) 3) Tahukah kau apa yang aku rasakan (1) Aku takut kehilanganmu oh sayang (2) Perasaaan ini selalu saja ada (3) (“Hanya Ada Satu” bait ke-1, larik ke-1, 2 dan 3) 4) Hingga kau sadari sesungguhnya yang kau punya (13) Hanya aku tempatmu kembali (14) Sebagai cintamu (15) (“Sadis” bait ke-3, larik ke-13, 14 dan 15) 5) Tak jarangnya dirimu (3) Tiada ku rasakan bahagia (4) Kan ku akhiri semua di sini (5) (“Hilang Rasa” bait ke-1, larik ke-3, 4 dan 5) 6) Tiada pernah aku bahagia (1) Sebahagia hari ini kasih (2) Sepertinya ku bermimpi (3) (“Biru” bait ke-1, larik ke-1, 2 dan 3) Berdasarkan hasil analisis, penggalan keenam lagu tersebut mempunyai sajak yang beda dari larik awal sampai dengan larik akhir, dan berpola abcd. 4.3 Pembahasan 4.3.1 Gaya Bahasa pada Syair Lagu-Lagu Afgan dalam Album Conffension No.1 Berdasarkan hasil analisis data pada bagian sebelumnya, dapat diketahui bahwa pada syair lagu-lagu Afgan mempunyai keterkaitan unsur bahasa dan sastra. Keterkaitan tersebut meliputi adanya gaya bahasa sebagai konteks sastra yang melekat pada objek syair lagu-lagu Afgan yang pada hakikatnya merupakan konteks bahasa. Hal tersebut dibuktikan dengan ditemukannya empat jenis klasifikasi gaya bahasa yang meliputi: klasifikasi gaya bahasa perbandingan, klasifikasi gaya bahasa perulangan/penegasan, klasifikasi gaya bahasa pertentangan dan klasifikasi gaya bahasa pertautan. Statistik data pada syair lagu-lagu Afgan dalam album Conffension No.1 menyatakan bahwa klasifikasi gaya bahasa pertautan menduduki jumlah terbanyak untuk jenis gaya bahasa yang dipergunakan dalam album Conffension No.1, dengan total 18 kali, yang meliputi: gaya bahasa elipsis (8 kali), gaya bahasa inverse/anastrof (7 kali), gaya bahasa sinekdoke totem proparte (2 kali) dan gaya bahasa sinekdoke pars prototo (1 kali). Gaya bahasa pertautan merupakan gaya bahasa yang mempergunakan kata-kata kiasan berasosiatif yang mempunyai keterkaitan/pertalian pada intra kalimat itu sendiri dengan gagasan-gagasan yang sejalan. Pertalian asosiatif tersebut terdapat pada konteks bahasa dan pemaknaan eksplisit yang lahir dari interpretasi pembaca/pendengar secara sadar dari teks syair lagu-lagu tersebut. Pada syair lagu-lagu Afgan dalam album Conffension No.1 juga menyatakan bahwa gaya bahasa elipsis merupakan jenis gaya bahasa yang dominan muncul dalam syair lagu-lagu Afgan dalam album Conffension No.1. Gaya bahasa elipsis merupakan salah satu jenis klasifikasi gaya bahasa pertautan yang di dalamnya terdapat penghilangan kata atau unsur penting dalam sintaksis. Penghilangan yang sering muncul pada lagu-lagu tersebut adalah penghilangan fungsi subjek. 4.3.2 Persajakan pada Syair Lagu-Lagu Afgan dalam Album Conffension No.1 Berdasarkan hasil analisis data pada bagian sebelumnya, dapat diketahui bahwa pada syair lagu-lagu Afgan mempunyai keterkaitan unsur bahasa dan sastra. Keterkaitan tersebut meliputi adanya sajak sebagai konteks sastra yang melekat pada objek syair lagu-lagu Afgan yang pada hakikatnya merupakan konteks bahasa. Hal tersebut dibuktikan dengan ditemukannya tiga jenis klasifikasi sajak atau rima pada syair lagu-lagu Afgan dalam album Conffension No.1 yang meliputi: klasifikasi sajak berdasarkan bunyinya, klasifikasi sajak berdasarkan letaknya dalam baris dan klasifikasi sajak berdasarkan letaknya dalam bait. Statistik data menyatakan bahwa klasifikasi sajak berdasarkan letaknya dalam bait menduduki jumlah terbanyak untuk jenis persajakan yang dipergunakan dalam album Conffension No.1, dengan total 17 kali, yang meliputi: sajak sama/terus/rangkai/lurus (6 kali), sajak patah/putus (6 kali), sajak silang (2 kali), sajak berpasangan/kembar (2 kali) dan sajak berpeluk/genggang/bertaut (1 kali). Klasifikasi jenis sajak ini membicarakan mengenai pengulangan bunyi yang dihimpun dari pola suku kata atau kata akhir pada tiap kalimat yang tersusun dari atas ke bawah (vertikal). Hal tersebut, membuktikan bahwa pola bahasa lagu-lagu Afgan dalam album Conffension No.1 juga mempunyai pola kesusastraan dengan menghadirkan sederetan pengulangan bunyi yang menghasilkan suatu estetika yang menarik. Pada syair lagu-lagu Afgan dalam album Conffension No.1 juga menyatakan bahwa sajak atau rima yang dominan muncul pada syair lagu-lagu Afgan dalam album Conffension No.1 adalah sajak aliterasi/pangkal. Sajak ini termasuk ke dalam jenis klasifikasi sajak berdasarkan bunyinya. Sajak ini melibatkan konsonan-konsonan yang sama di setiap awal kata dalam kalimat, baik itu secara vertikal atau horizontal. Konsonan yang sering muncul dalam syair-syair lagu tersebut adalah konsonan /t/, /c/. /k/, /s/ dan /b/ yang melambangkan suasana kekacauan batin, kesunyian atau kesedihan. BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis lakukan, diperoleh simpulan bahwa pada syair lagu-lagu Afgan dalam album Conffension No.1 terdapat empat klasifikasi gaya bahasa, yaitu: 1) Klasifikasi gaya bahasa perbandingan yang meliputi: gaya bahasa personifikasi, gaya bahasa metafora dan gaya bahasa perumpamaan/asosiasi; 2) Klasifikasi gaya bahasa perulangan/penegasan yang meliputi: gaya bahasa pararelisme anapora, gaya bahasa pararelisme epipora, gaya bahasa tautologi/tautotes dan gaya bahasa enomerasio/enumerasi; 3) Klasifikasi gaya bahasa pertentangan yang meliputi: gaya bahasa hiperbola, gaya bahasa sinisme, gaya bahasa paradoks dan gaya bahasa antitesis serta 4) Klasifikasi gaya bahasa pertautan yang meliputi: gaya bahasa sinekdoke pras prototo, gaya bahasa sinekdoke totem proparte, gaya bahasa elipsis dan gaya bahasa inverse/anastrof. Dari keempat klasifikasi gaya bahasa tersebut, klasifikasi jenis gaya bahasa yang dominan muncul adalah klasifikasi gaya bahasa pertautan, dan jenis gaya bahasa yang dominan muncul adalah gaya bahasa elipsis. Selain itu, pada syair lagu-lagu Afgan dalam album Conffension No.1 juga terdapat tiga klasifikasi jenis sajak, yaitu: 1) Klasifikasi sajak berdasarkan bunyinya yang meliputi: sajak sempurna/mutlak, sajak asonansi/paruh dan sajak aliterasi/pangkal; 2) Klasifikasi sajak berdasarkan letaknya dalam baris yang meliputi: sajak depan/awal, sajak tengah dan sajak akhir serta 3) Klasifikasi sajak berdasarkan letaknya dalam bait yang meliputi: sajak silang, sajak berpeluk/genggang/bertaut, sajak sama/terus/rangkai/lurus, sajak berpasangan/kembar dan sajak patah/putus. Dari ketiga klasifikasi sajak tersebut, jenis klasifikasi sajak yang dominan muncul adalah klasifikasi sajak berdasarkan letaknya dalam baris, dan jenis sajak yang dominan muncul adalah sajak aliterasi/pangkal. 5.2 Saran Setelah menyelesaikan penelitian ini, penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut. 1) Untuk akademis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbangan dalam disiplin ilmu bahasa dan sastra, seperti: ilmu semantik, teori dan kajian puisi, khususnya tentang gaya bahasa dan persajakan. 2) Untuk mahasiswa, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu referensi bagi mahasiswa yang berminat menganalisis jenis gaya bahasa dan persajakan dalam penelitian yang serupa serta memberi konstribusi bagi pemahaman dan pengembangan tentang pemakaian gaya bahasa dan persajakan. 3) Untuk dosen dan guru, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan ajar yang sesuai dengan kurikulum dan petunjuk metode pratikum ketika menganalisis unsur bahasa dan sastra dengan mempergunakan media elektronik yang disesuaikan dengan perkembangan iptek. DAFTAR PUSTAKA Amirin, Tri dan Agus Hartanto. 2006. Lembar Kerja Siswa Wajar. Jakarta: Graha Pustaka. Azhari, Muhammad dan Muhammad Nasir. 2011. Kaya Dengan Menulis Karya Sastra. Palembang: Dramata Kreasi Media. http://id.wikipedia.org/wiki/Confession_No.1, (diakses, 23 Desember 2011) Keraf, Gorys. 2001. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia. Muda, A.K. Ahmad. 2006. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jakarta: Reality Publisher. Pradopo, Rachmat Djoko dkk. 1990. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT Manindita Graha Widya. Pradopo, Rachmat Djoko. 2005. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Salsabila, Neyla Ulhaq. 2011. Buku Pintar Peribahasa Indonesia Lengkap dan Terpopuler. Jakarta: Blue Shop Media. Semi, M Atar. 2001. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa. Suroto. 1989. Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Erlangga. Tamara, Yunita. 2008. “Analisis Hakikat dan Metode Kumpulan Puisi Parewa Karya Rusly Marzuki Saria”. Skripsi S1 (belum diterbitkan). Palembang: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Persatuan Guru Republik Indonesia. Tjahjono, Liberatus Tengsoe. 1988. Sastra Indonesia Pengantar Teori dan Apresiasi. Jakarta: Nusa Indah. Verly, Anita dan Alex Suryanto. 2008. Bahasa Indonesia untuk SMP dan MTS Kelas VIII. Jakarta: Gelora Aksara Pratama. Waluyo, Herman J. 1995. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga. Yunita, Fera. 2008. “Gaya Bahasa Dalam Syair-Syair Lagu Letto”. Skripsi S1 (belum diterbitkan). Palembang: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Persatuan Guru Republik Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Ulasan Artikel Jurnal Penelitian

Contoh Proposal Kegiatan Bulan Bahasa di Sekolah

Ringkasan dan contoh soal Materi Bertelepon dengan kalimat yang sopan dan efektif, Modul Bahasa Indonesia Kelas 7SMP Semester 2 Budiwijaya Karangan Alvian Kurniawan