CERPEN "AKAR" (Kisah Nyata Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Univ PGRI Palembang)

Banyak hal yang seolah menjadi harga mati di dalam dunia ini. Saat kekalutan melanda mahasiswa akhir yang hendak menyelesaikan gelar sarjananya. Kebanyakan dari mereka merasa bingung dengan apa itu skripsi?, Bagaimana prosedur skripsi itu sendiri?, Dan bagaimana kiat sukses untuk merampungkan skripsi dengan hasil yang sangat memuaskan?, Untuk itu, Saya, Alvian Kurniawan mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan tahun 2008, Universitas PGRI Palembang, akan mengajak kita berbicara tentang harga mati itu sendiri. Cerita ini mengisahkan kejadian nyata yang bermulai dari sebuah “akar” yang kemudian akar itu menjadi pohon yang subur pada saatnya nanti. Maka bacalah cerita ini, karena cerita inilah yang akan menjawabnya! Selamat membaca, semoga bermanfaat untuk Saudara yang hendak mengetahui bagimana akar dari skripsi itu sendiri? -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- KISAH NYATA (TRUE STORY) (Oleh: Alvian Kurniawan, S.Pd.) “KRRRRRRRRRRRRRRIIIIIIIIIINGGGGGGGGGGG”, alarm hpku berbunyi… Ugh, rasanya memang malas sekali untuk bangun malam ini. Tapi apa boleh buat, masih ada beberapa bab lagi yang belum kuusai pembuatan soalnya. Inginku mengeluh karena mendapatkan tugas dari tempat kerja untuk membuat buku modul bahasa Indonesia sebanyak empat kelas, buku itu dari kelas 6 SD sampai kelas 9 SMP. Padahal dari akhir bulan Agustus 2011 yang lalu, aku sudah mulai menulis 4 buku ini, tapi kok sampai pertengahan bulan November 2011 juga belum usai. Rasanya pengen teriak sekencang-kencangnya. Tapi,, “Arghh, ngak ada gunanya mengeluh!, sekarang bangun dan lekas ngetik di depan notebook. Target minggu ini harus selesai. Ngak lucu sama sekali. Gara-gara tugas kantor ini, aku harus telat wisuda!”, gerutuku sembari menggurui diriku sendiri. Ya, menjadi seorang guru bimbel memang sedikit sulit, harus banyak kreativitas sendiri. Buku modul saja, harus selalu direvisi setiap semester. Kebetulan semester ini, aku mendapat tugas membuat buku modul itu. Rasanya benar-benar berat. Bayangkan! lebih dari tiga ratus lembar aku harus membuat materi + soal akumulatif yang tak terhitung lagi berapa ribu jumlah soal itu. Aku jadi teringat sebulan yang lalu, saat itu Ratna, temanku dari kelas A mengirim sms ke aku. Ia menginformasikan bahwa pembagian dosen pembimbing skripsi sudah ditempel di depan Prodi, katanya aku mendapat Pembimbing Dra. Hj. Siti Rukiyah, M.Pd. yang notabennya adalah Ketua Program Studiku yang terkenal sangat sibuk. Sedangkan, Pembimbing ke-2ku adalah Drs. H. Yuswan, M.Pd. yang juga sudah sangat aku kenal, karena beliau adalah dosen Pembimbing akademikku.Awal tahu informasi tersebut tentang dua nama Pembimbingku, hatiku terasa getir. Ibu Sity kan orang sibuk, pasti sulit nemuinnya untuk bimbingan. Lalu, kalau Pak Yuswan sih, aku agak segan karena beliau tuh selama mengajarku di semester 5 dan 6 terkenal tegas dan sangat perfeksionis. Bayangkan, gara-gara aku pernah bilang kata, “dipatok” eh, disalahkan oleh Pak Yuswan karena dianggap tidak efektif. Tapi, sudahlah, lupakan dulu urusan itu!, yang penting kerjaanku membuat modul harus selesai minggu ini dan aku bisa langsung mengajukan judul. Tak lucukan kalau terlambat ngajuin judul sampai satu bulan lebih seperti saat ini? Hari ini adalah hari Jumat, aku lupa tanggal berapa saat itu. Yang jelas itu merupakan minggu-minggu akhir di bulan November 2011. Wah rasanya lega sekali, karena sekitar pukul 13 lewat tugas mengetik dan editing modul sudah selesai. Tak terasa, setelah tiga bulan lamanya, akhirnya selesai juga empat buku ini. Tinggal dikumpul ke Tim Kreatif dan tinggal menunggu honor nulis dibagikan. Well, “Tahan dulu, Yan!, jangan seneng dulu… selesai modul bukan akhir dari segalanya, artinya harus mulai mengawali medan pertempuran dengan skripsi!”. Aha…. Tak usah pikir panjang lebar lagi, saatnya membuka file notebookku dan mencoba lihat daftar judul-judul yang sudah aku konsep selama aku nulis buku modul. “Wah, ada dua belas judul nih, tapi aku merasa ada satu judul yang aku yakin bakal di acc. Karena judul itu aku peroleh dari mimpi.” Hari itu benar-benar merupakan hari pertamaku memasuki gerbang pertempuran skripsi. Aku ingat, sore itu hujan deras sekali. Angin pun riuh menendang-nendang pohon. Aku hanya duduk di kamarku, menatapi satu per satu kertas-kertas usul judul yang sudah ku-print beberapa jam yang lalu. Ahaaaa… ternyata setelah magrib hujanpun reda. Lantas tak perlu berfikir panjang lebar lagi langsung tancap gas motor dan bergegas menuju prodi. Wah, selama diperjalanan, ada rasa deg-degan. “Kira-kira pembimbingku marah ngak ya, lantaran aku baru ngajuin judul sekarang? Padahal proses pengajuan judul sudah satu bulan lebih yang lalu sudah dimulai. Ah, modal tambeng aja, toh “Better late than never.”. Akhirnya sampailah aku di kampus. “Waduuh, di depan Prodi, rame sekali!, nih ada acara konser atau apa sih?” gerutuku pelan. Perlahan aku mulai menyapa mereka. Wah, ternyata mereka sama sepertiku. Sama-sama mahasiswa yang sedang mengajukan judul. Merasa sangat awam, jadi aku sempatkan diri bertanya dengan mereka tentang prosedur pengajuan judul skripsi. Mereka menjawab bahwa judul skripsi diajukan dulu ke Ketua Prodi, kalau misalkan sudah di acc tiga judul, baru kita bisa menghadap dosen pembimbing untuk transaksi judul yang akan diambil. “Waduh, ribet juga ya!” pikirku di dalam hati. Tapi setidaknya aku agak sedikit aman, karena pengajuan judul bisa melalui ibu Sity atau boleh juga ke Pak Yuswan. Dan kebetulan kedua-duanyakan memang pembimbingku. Yowes, mulai cek kerapian pakaian dan bergegas masuk ke prodi. Ketika masuk di Prodi, aku berkata dalam hati, “Wah ini bener-bener seperti sedang bagi sembako. Panjang banget antreannya!”, Aku mulai bercakap-cakap dengan salah seorang mahasiswa. Dari pengaduannya, ternyata proses mengajukan judul itu juga lumayan sulit. Mereka ada yang sudah berhari-hari bahkan sampai sebulan lebih ngantre di Prodi dan hingga saat ini, judul mereka belum sampai tiga buah yang di acc. Aku mulai memutar balikan logikaku, “Waduh, mereka saja ada yang sampai satu bulan lebih belum juga di acc, apalagi aku!, tapi dicoba dulu deh!”, bisikku dalam hati. Tiba saatnya aku sampai diurutan terdepan. Aku mulai menyalami Pak Yuswan dan bilang , “Pak, mau mengajukan judul!”. Beliau menyambutku dengan senyum dan berkata, “Letakkan saja, Yan di tumpukan berkas itu!” sembari menunjuk berkas-berkas biru yang bertumpuk begitu tingginya dan itu semua adalah berkas pengajuan judul. Setelah selesai meletakkan berkas biru itu, tiba-tiba terdengar suara dari belakang tempatku berdiri, “Wah, baru bangun tidur yan e? kok baru kelihatan.”, sindir ibu Sity kepadaku. Langsung saja aku menoleh ke mejanya yang memang hanya selisih satu meter dari meja Pak Yuswan. “Hemm, maaf, Buk, kemarin sibuk buat buku modul empat kelas untuk ngajar!, jadi baru sekarang saya sempat mengajukan judul!”, jawabku sembari mencium tangannya. Hampir dua jam aku menunggu. Selama menunggu telingaku seolah merasa bersahabat dengan keluhan-keluhan mahasiswa lainnya yang mengeluh lama sekali proses acc. Tak hanya itu, beberapa teman-temanku menegurku dan bertanya, “Sudah sampai ke proposal?”, aku hanya menjawab, “Belum, ini saja baru hari pertama ngajuin judul.” Tak lama kemudian, pintu Prodi terbuka, salah seorang mahasiswa berteriak, “Nah, siappa yang ngajuin judul dengan Pak Yuswan?” Aku segera bergegas mencari berkas milikku. Setelah aku lihat, aku bisa tersenyum lega. Dari dua belas judul, ada dua yang di acc. Dan ada tiga usul judul yang perlu ditambah kajian dan selebihnya disilang. Artinya tinggal satu judul lagi. “Alhamdulillah, hari pertama sudah dapat dua sekaligus, optimis besok minimal satu lagi harus bias di acc,” bisikku di dalam hati. Esoknya, 12 judul itu aku ajukan kembali kepada Ibu Sity. Dengan judul yang masih sama hanya ada penambahan beberapa kajian sesuai dengan permintaan Pak Yuswan. Aku mengajukan kemabli dua belas judul kemarin kepada Ibu Sity dihari itu dengan alas an bahwa terkadang apa yang di acc dari dosen lain, justru malah ditolak oleh beliau. Karena beliaulah yang berhak mutlak untuk memilih judul yang layak di acc atau tidak. Di hari kedua itu, informasi itu benar adanya. Dua judul yang di acc Pak Yuswan malah disilang oleh Ibu Sity. Namun, dua judul yang disilang oleh Pak Yuswan, malah di acc Ibu Sity. Artinya masih tetap harus nyari satu judul lagi. Hingga akhirnya, satu judul lagi itu butuh delapan hari untuk menunggu acc judul ke-tiga itu. Aku teringat akan tiga judul itu, judul pertama “Analisis Strata Bunyi dan Strata Metafisis dalam Puisi “Berdarah” karya Sutardji Calzoum Bachri,” judul kedua, “Analisis Wacana Persuasif pada Media Brosur Iklan Layanan Bimbingan Belajar di Kota Palembang.” Dan yang ketiga, “Analisis Kata Majemuk dan Persajakan pada Syair Lagu yang ditransliterasikan dari Album Berbahasa Inggris pada album Celine All The Way”. Dan, sesuai dengan judul yang ku peroleh dari mimpi, bahwa judul ketiga yang benar-benar di-acc oleh kedua dosen Pembimbingku. Proses pembuatan proposal penelitianpun berlangsung. Aku tak ingin membuang waktu lagi, pembuatan buku modul kemarin telah menyita waktuku sangat lama. Dan dalam waktu dua hari, aku berusaha mencari buku-buku referensi yang berhubungan dengan judul penelitianku. Jelas buku-buku itu merupakan buku linguistiK dan literatur, karena penelitianku mengarah kepada cangkupan sastra dan sekaligus bahasa. Aku memang telah menargetkan untuk meneliti penelitian gabungan bahasa dan sastra karena dulu sewaktu duduk di bangku semester 3,4,5 saya merasa sangat dekat dengan ibu Emawaty, M.Pd. Beliau menyarankan agar jangan terpaut kepenelitian tunggal. Misal, ke penelitian sastra saja atau ke bahasa saja atau juga ke pengajaran saja. Hal itu nanti akan berdampak pada mata perkuliahan yang diasuh jika suatu hari nanti aku menjadi seorang dosen. Proposal ku selesaikan kurang dari satu minggu. Tentunya, dengan langkah seribu aku mulai tak memperhitungkan malas lagi. Bimbingan proposal penelitian segera aku mulai. Dan tahap pertama adalah menuju ke pembimbing 2. Dalam waktu satu minggu lebih atau tiga kali proses bimbingan dengan pembimbing 2, proposalkupun telah usai dan di acc. Setelah itu, aku harus menuju ke pembimbing 1. Wah, memang butuh waktu yang lama untuk bimbingan dengan Ibu Sity, wajar saja beliau memang orang sibuk di Prodi kami. Bimbingan pertama dengan beliau masih harus diperbaiki, dan dilanjutkan pada bimbingan kedua dengan beliau, dan hasilnya adalah setuju dan siap menuju seminar. Begitu bahagianya aku, hanya dalam waktu kurang dari tiga minggu proposalku usai. Mengingat seminar merupakan salah satu medan pertempuran yang besar. Aku coba beranikan menemui kembali pembimbing 1 guna memantapkan proposalku. Ketika itu, aku bertanya kepada Ibu Sity, “Maaf, Buk! Proposal saya kan sudah di-acc dan bisa langsung daftar seminar. Tapi, kira-kira sebelum saya daftar seminar, apa yang harus saya siapkan, Buk?” “Kamu cukup persiapkan argument, buku-buku dan sumber datamu juga harus ada?” “Sumber data, Buk?” “Ya, kamukan pakai lagu-lagu terjemahan bahasa Inggris, jadi kamu bawa kaset itu!” “Tapi kaset itu kan pakai bahasa Inggris, Buk?” “Lho, kok bahasa Inggris? Kitakan prodi bahasa dan sastra Indonesia.” “Kan di judul sudah dijelaskan, Buk. Lirik lagunya kan ditransliterasikan dari bahasa inggris. Jadi terjemahannya itu saya sendiri yang menerjemahkan.”, Ibu Sity Nampak bingung, direngkuhnya proposalku yang telah di-accnya dan kembali dibacanya dengan sedikit mendetil. Raut bingung merona diwajahnya. Ku lihat beliau memanggil Pak Yuswan dan beliau mencoba mendiskusikan dengan Pak Yuswan, wah ternyata kedua pembimbingku mengira sumber dataku itu memang sebuah kaset yang sudah dialih bahasakan ke dalam bahasa Indonesia. “Hmm, kami pikir kemarin sumber datamu ini sudah berbahasa Indonesia, Yan. Jadi mau tak mau, kamu harus mengganti sumber datamu dengan kaset album berbahasa Indonesia!”, Kata Ibu Sity. Mendengar pernyataan itu, hatiku getir. Kebahagiaan menuju seminar seolah sirna. Sebenarnya mengganti sumber data saja pada judul itu sangat mudah. Tapi masalahnya, dalam penelitianku itu, aku mengkaji kata majemuk dan persajakan yang keduanya kuperoleh dari mimpi, bukan dari skripsi yang ada di ruang skripsi. Nah, kedua kajian itu belum aku temukan kajian relevannya. Kajian relevan adalah sejenis skripsi yang telah diteliti sebelumnya oleh mahasiswa lain dan salah satu kajian penelitian itu ada kemiripan dengan penelitian yang akan kita digarap. Sedikit bercerita, pertama kalinya, kajian relevan itu aku cari setelah judul di-acc. Awal mula, aku tak menganggap penting kajian relevan tersebut, ternyata itu salah. Kajian terdahulu yang relevan dianggap mutlak ada. Dalam proposal itu, aku menggunakan kajian relevan skripsi mahasiswa Universitas Indonesia jurusan ilmu bahasa Jepang yang mengambil judul tentang naturalisasi lagu-lagu terjamahan popular bahasa Jepang. Judul skripsi itu aku peroleh dari google. Dalam penelitianku, terjadi kemiripan dengan penelitian tersebut karena sama-sama mengkaji masalah lagu-lagu terjemahan. Sedangkan, lagu terjemahan dalam proposalku diminta untuk diganti. Lantas apa lagi yang sama? Dimanakah aku harus mencari kajian relevan yang mengkaji tentang persajakan dan kata majemuk? Keputusasaanku mulai menjangkit, tak ada semangat lagi untuk melanjutkan penulisan proposalku. Dalam pikiranku, nyaris aku harus mengajukan judul baru lagi. Dan aku harus memulai dari awal lagi, padahal proses sampai mendekati seminar itu tidak mudah. Singkat cerita, gundah gulana dan beban yang berat itu terasa terpikul sendiri, sehingga kesehatanku mulai terganggu. Dipertengahan itu, aku sempat mengalami sakit dan susah tidur, ketika dibawa ke rumah sakit, aku di vonis gejala demam berdarah. Namun, demam berdarah tak membuatku getir. Aku mulai bangkit dari penyakit dan keputusasaanku. Jika aku hanya diam terus, masalah ini takkan bisa selesai. Dengan keadaan pucat, aku mulai memasuki ruang skripsi. Aku baca katalog-katalog judul skripsi dengan kepala yang berat dan badan yang panas. Aku sengaja menolak anjuran dokter untuk rawat inap, karena meskipun aku di opname, tapi jika pikiranku masih tertuju pada proposal, tetap saja semua percuma. Orang tuaku juga selalu menghalauiku untuk tidak berangkat ke kampus. Tapi aku tetap saja bersikeras harus segera dapat penyelesaian. Aku berfikir, sudah lebih dari satu minggu proposalku tak tersentuh setelah kekecewaanku terhadap penggantian sumber data itu. Sekilas, jirihpayahku menemui hasil, aku melihat ada satu judul penelitian tentang, “Gaya Bahasa dalam Syair Lagu-Lagu Letto” yang merupakan penelitian mahasiswi Universitas PGRI Palembang pada tahun 2008 yang lalu. Segera aku memutar balikan otakku, dan berfikir bagaimana caranya supaya judul penelitian ini menjadi kajian relevanku. Mengingat kajian gaya bahasa tak ada sama sekali sangkut pautnya dengan kata majemuk dan persajakan. Namun, sebait kata lagu-lagu itukan sama-sama mengena dengan penelitianku. Aku mulai mengonsultasikan itu kepada Pak Yuswan. Beliau menyarankan padaku, bagaimana kalau aku harus ganti dengan judul yang pertama. Otakku berfikir dengan kilat, judul pertama adalah judul makalahku waktu presentasi mata kuliah “Kajian Puisi” di semester 4 dengan Drs. Sjech Dullah, M.Pd. dan saat itu tulisan itu dipuji oleh beliau, dan kemudian disemester ke-5 makalah itu saya revisi menjadi proposal penelitian sederhana dan saya presentasikan pada mata kuliah penelitian sastra asuhan Ibu Dra. Hj. Missriani, M.Pd. dan beliau mengatakan tulisan itu bagus dan coba lanjutkan nanti pas proposal penelitian yang sebenarnya. Aku teringat, dulu membuat makalah itu hanya pakai beberapa buku acuan saja. Tapi, ketika dibawa ke skripsi. Aku akan kesulitan mencari buku-buku kajian puisi yang harus berjumlah minimal sepuluh buku. Melirik kejudul kedua juga percuma, judul itu juga aku buat berdasarkan pemikiranku sendiri. Tak ada sama sekali kajian relevannya. Alhasil, aku tetap meminta waktu kepada Pak Yuswan untuk memikirkan yang terbaik untuk judul proposalku. Dari kata “Gaya bahasa”, aku akan mempunyai satu judul yang sudah pasti punya kajian relevan. Keputusan segera aku ambil. Satu-satunya solusi adalah menambahkan satu kajian lagi dalam proposalku, menjadi analisis jenis kata majemuk, gaya bahasa dan persajakan. Namun, masalah kembali muncul. “Album siapakah yang akan aku teliti?” Sempat aku men-download lirik lagu-lagu album penyanyi Indonesia dan segera kulakukan analisis data lebih awal. Namun sayang sekali, lagu-lagu berbahasa Indonesia sangat jarang memiliki kata majemuk. Hingga akhirnya, aku menghadap kembali kepada Pak Yuswan untuk meminta bagaimana kalau kata majemuk dihilangkan saja. Namun, beliau mempunyai argumen lain, “Wah, saya memilih judulmu itu karena saya tertarik dengan kajian kata majemukmu itu lho, Yan!, kalau misal dihilangkan kata majemuknya, maka penelitianmu tidak akan wah lagi, mending kamu cari lagi album apa yang pas! Skripsi itu butuh kesabaran, jadi kamu sabar ya, Yan! Jangan gegabah nyarinya. Kalau sudah mantep, nanti kamu ngadep Bapak lagi!”, wah, jujur nasihat itu masih terniang ditelingaku. Nasihat yang sangat bijak dari dosen yang selama ini aku kenal agak cuek. Tapi, bukan aku namanya, kalau bisa bersikap tenang pas tugas belum selesai. Pernah merasa putus asa, karena lagu-lagu Indonesia minim kata majemuk, hingga akhirnya punya inisiatif untuk mengganti sumber data ke buku antologi puisi. Pas dilakukan analisis awal, ternyata buku antologi puisi jauh lebih banyak jumlah kata majemuknya. Kabar itu aku konsultasikan kepada Pak Yuswan, namun jawaban beliau sedikit membuatku putus semangat, “Yan, dalam puisi. Kata-kata di dalamnyakan bukan denotatif, melainkan konotatif. Kalau misal di situ ada kata air mata. Apakah air mata itu maknanya sama dengan air mata yang kamu maksud? Belum tentu lho, padahal dalam bentuknya, kata majemuk itu harus mempunyai arti yang sebenarnya yang merupakan arti baru dari gabungan dua kata atau lebih dan itu nanti beda juga dengan frasa.”, jawaban itu memang masuk akal. Tapi, rasanya sedikit kecewa karena buku antologi puisinya sudah aku beli dari Gramedia. Ketika sedang berfikir lagu apa yang tepat untuk menjadi sumber dataku, aku memutar musik dari winamp notebookku. Tanpa sadar, lagu yang terputar adalah lagu “Terima Kasih Cinta” miliknya Afgan. “Aha, kenapa aku tidak kepikiran lagu ini dari kemarin?” Serentak aku mulai men-download lirik lagu dalam album itu. Binar kebahagiaanan terpancar saat itu. Hasil analisis awalku menyatakan kalau lirik lagu-lagu Afgan banyak ditemukan kata majemuk. Dengan langkah semringah, besok sorenya aku menghadap Pak Yuswan dengan membawa usul judul baru, yaitu: “Analisis Pemajemukan Kata, Gaya Bahasa dan Persajakan Syair Lagu-Lagu Afgan dalam Album Conffension No.1”. Dengan melihat analisis awal yang telah kulakukan, beliau langsung meng-accnya dan judul itupun segera aku konsultasikan ke pembimbing 1 dan Alhamdullilah, Ibu Sity pun juga memberikan accnya. Dengan judul yang baru, aku merasa sangat nekat. Penelitian ini akan jauh sangat berat. Karena kajian analisisnya berjumlah tiga buah. Padahal skala skripsi, kajian analisis dua buah saja itu sudah lebih dari cukup. Tapi, tak apalah, yang penting tidak ada masalah lagi. Proposalku tidak terlalu banyak dirombak, hanya saja mengganti nama album dan paling tidak menambahkan kajian literatur untuk gaya bahasa. Sehari saja, aku habiskan waktu libur di hari Minggu untuk menggetik revisi proposal baru dari pukul 6 pagi sampai pukul 8 malam. Wah, modal nekat tapi memang harus nekat. Alhasil, proposal ini akan menjadi proposal tertebal sepanjang massa di Universitas PGRI Palembang yang hingga mencapai 51 halaman. Tak perlu lama-lama, karena hanya revisi, alhasil accpun langsung aku peroleh dari dua pembimbingku sekaligus di malam yang sama. Dan saat itu merupakan hari-hari terakhir bimbingan proposal, karena Universitas libur setelah semesteran dan dosen-dosen berekreasi bersama ke luar kota dan kebetulan pula, beberapa hari kemudian PPL II dimulai. Aku bersyukur, karena telah mendaftar seminar. Berdasarkan info yang ku dengar seminar akan dimulai lagi kurang lebih satu bulan lagi. Kesempatan jeda itu bisa aku alihkan untuk konsentrasi pas PPL II. Selama PPL II berlangsung, aku benar-benar tak membaca lagi proposalku. Terlalu sibuk dengan persiapan materi, RPP dan lain-lain menyebabkanku harus menyisihkan proposal jauh-jauh. Aku juga ingat, selama PPL II berlangsung aku hanya dua kali datang ke prodi untuk memastikan kapan jadwalku seminar. Dari kunjungan itu, aku tahu bahwa aku seminar pada tanggal 27 Februari 2012 pukul 17.00 WIB. Mengingat begitu dekatnya seminar itu, aku mulai gelisah. Banyak materi yang sudah lupa. Perlengkapan praktik PPL II juga perlu dibuat, singkat cerita hanya dalam waktu tiga hari, persiapan itu berlangsung. Senin, 27 Februari 2012. Ku sempatkan masuk satu kelas dulu untuk ngajar di tempat PPL. Setelah itu, aku mulai izin dengan Wakasek bidang Kesiswaan dan Kurikulum untuk pulang lebih awal termasuk juga guru pamong. Aku ingat, teman-temanku PPL juga memberikan motivasi bagiku untuk semangat karena diantara semua teman PPLku, aku yang paling duluan seminar. Dukungan itu membuatku lebih percaya diri menghadapi medan pertempuran seminar yang benar-benar mendebarkan. Pukul 17.00 WIB lebih, seminar berlangsung. Aku adalah mahasiswa kedua yang tampil dari lima mahasiswa yang mempunyai jadwal ujian seminar dihari itu. Nampak di depanku, lima orang dosen, mereka adalah: Drs. Houtman, M.Pd., Drs. Sjech Dullah, M.Pd., Dra. Hj. Yenny Puspita, M.Pd., Drs. H. Hairudin, M.Pd., dan dosen pembimbing 2 ku, Drs. H. Yuswan, M.Pd., sayangnya pembimbing 1 ku berhalangan hadir saat itu. Selama seminar berlangsung, ku coba menampilkan presentasi yang berbeda. Dengan metode ekstemporan ku paparkan rancangan penelitian itu dihadapan lima dosen pengujiku dan mahasiswa lainnya yang juga menonton seminar tersebut. Setidaknya, aku merasakan puas karena aku mampu memaparkan dengan tidak melihat teks secara utuh. Pertanyaan demi pertanyaan, masukan dan perbaikan begitu banyak aku peroleh. Bahkan aku juga ingat, waktu disuruh menyanyikan salah satu lagu Afgan oleh Drs. Houtman, M.Pd. Wah rasanya malu sekali, karena aku paling tak bisa untuk nyanyi meskipun aku seorang penyiar radio. Selama seminar berlangsung, empat dosen memintaku untuk menghapuskan kajian kata majemuk. Karena dianggap sudah melebihi tingkat skripsi dan setara dengan tesis. Dengan modal rendah hati, ku terima saran itu meski berulang kali pendapat-pendapat itu aku bantah, untuk ku pertahankan. Melihat hanya dua kajian, yaitu gaya bahasa dan persajakan, hati ini merasa tidak nyaman. Dengan penelitianku yang hanya menggunakan dua kajian itu. Dengan hanya dua kajian, akan menjadikan judul penelitian yang ku garap menjadi tidak “Wah” lagi. Apalagi dua kajian itu adalah gaya bahasa dan persajakan. Hingga akhirnya, salah seorang mantan rekan siaranku dulu menasehatiku di YM, “Dek, penelitian mbak kemarin sangat sederhana lho judulnya, namun bagaimana dengan penelitian yang sederhana itu cangkupan bahasan kita bisa tajam dan akurat. Buktinya mbak bisa dapat nilai yang sangat memuaskan.”, Kalimat itu seperti sugesti bagiku, meskipun kami berbeda jurusan dan Univeristas, tapi benar apa yang dikatakannya. Dengan judul yang sederhana kita bisa membuat sebuah penelitian kita menjadi “Wah” dengan cara mempertajam pembahasan. Perjuanganku untuk memperbaiki kesalahan pasca seminar tertunda selama tiga minggu. Bukan karena malas, namun konsentrasiku kucurahkan sementara ke kegiatan PPL II yang telah mendekati batas usai. Sehingga, kami harus mempersiapkan hal-hal yang berkenaan dengan persiapan ujian dan laporan yang begitu rumitnya. Sekelar semua urusan PPL II, aku kembali pada proposalku. Yah, tiga minggu lamanya kertas-kertas itu tak ku sentuh sama sekali. Namun, modal optimis dan percaya diri saja. Akhirnya, selama dua hari proses perbaikan berakhir. Semua berkas tinggal dijilid dan dikumpulkan kepada Pak Yuswan. Hmm, sekitar dua minggu kemudian nilai seminar pun keluar. Wah, sedikit dapat tersenyum. Ku toreh nilai seminarku terpampang paling tinggi, hingga mencapai 77,2. Meski masih juga dilambangkan dengan nilai “B” namun setidaknya itu kebanggaan bagiku. Pasca seminar bukan berarti selesai semua urusan. Ini adalah awal perjuangan tingkat inti. Di mana sudah saatnya aku harus kembali menghadap dosen pembimbingku untuk fase bab 1, 2 dan 3. Dalam fase ini, rancangan penelitian kembali dibedah dan dibagi menjadi tiga bab, yaitu: pendahuluan, landasan teori dan prosedur penelitian. Kegiatan bimbingan aku rutinkan, ketika bimbingan dengan Pak Yuswan, kupatuhi jadwal bimbingan tersebut yang hanya tiga hari, yaitu hari: Selasa, Rabu dan Jumat. Selama jadwal bimbingan, aku selalu tak menjedakannya. Bagiku jika besok ada jadwal bimbingan dengan Pak Yuswan, maka malam ini sudah selayaknya aku rampungkan. Komitmen itu harus dan wajib bagiku. Dalam hal ini, aku ingin proses bimbingan dapat berlangsung cepat. Maka, salah satu cara yang ku tempuh adalah melakukan pengoreksian tulisanku dari huruf pertama hingga huruf terakhir dan demikian juga peletakan dan lain sebagainya sangat detil ku teliti. Bahkan hanya untuk mengkoreksi tulisan tersebut saja, aku sering menghabiskan waktu 2-3 jam untuk melakukan proses editing. Hal tersebut kulakukan karena aku berfikir, “Lebih baik aku lama mengedit daripada aku harus lama perbaikan karena sering dicoret dosen.” Memang, rata-rata mahasiswa kalau sudah selesaai ngetik mereka paling malas untuk membaca kembali atau mungkin hanya dibaca sekali lewat saja. Alhasil kesalahan-kesalahan kecil terkadang tak disadarinya, hingga kemudian mereka sadar kesalahan tersebut ketika dikoreksi pembimbing dan pulang dengan perbaikan. Hal ini jelaslah jangan sampai terjadi dalam proses bimbinganku, hingga alhasil hanya satu kali perbaikan dengan pembimbing 2 dan setelahnya di-acc. Masalah kembali ku peroleh dari Ibu Sity, ya aku maklumi karena beliau memang seorang pemimpin yang mempunyai banyak sekali pekerjaan, sehingga proses bimbingan bab 1,2,3 harus tertahan selama satu minggu. Namun, aku juga tiadalah lelah untuk terus berjuang supaya kertas bimbingan itu sesegera mungkin aku terima. Meski harus memasang muka tebal datang setiap hari ke prodi, dan sering dimarahi Ibu Sity karena bukan jadwal bimbingan beliau, bahkan terkadang sampai malam sekali aku tetap berjaga-jaga di depan prodi dengan harapan aku bisa membawa pulang skripsiku malam itu juga, meski terkadang juga aku harus pulang dengan tangan hampa. Namun, itu seolah menjadikan sebuah kebiasaan baru bagiku. Aku mulai merasakan bahwa Prodi telah menjadi rumah ke-2 ku. Singkat cerita dalam waktu hampir 3 minggu, proses bimbinganku dengan Ibu Sity pada bab 1,2 dan 3 selesai dengan satu kali perbaikan dan satu kali acc. Wah, tak dirasa saat ini aku harus berjuang dua kali lipat, karena bab yang akan aku garap adalah bab 4-5, di mana pada bagian ini aku harus dapat menyajikan analisis data dan simpulan umum. Pada bagian ini juga, puncak kerumitan dipusatkan pada sumber-sumber data. Dari sepuluh lagu dalam album Conffension No.1 mulai ku analisis. Dalam pengerjaannya, bab 4 tidak bisa disamakan dengan proposal dan bab 1,2 dan 3. Proses penggarapan bab 4-5 berlangsung selama 9 hari. Dan seperti biasa, sebelum diprint, aku harus membacanya berulang-ulang untuk melakukan proses editing sebelum aku serahkan kepada pembimbing 2. Proses editing pada bab ini berlangsung sangat lama, butuh 2 hari untuk melakukan pembacaan yang mendetil dari apa yang sudah aku tulis. Karena pada bagian ini, interpretasi banyak dituntut di dalamnya, sedangkan pada bagian proposal dan bab 1,2,3 itu hanya mengambil dari pendapat-pendapat pakar saja. Jadi yang diedit hanya pada tulisan dan tipografinya saja, namun pada bagian ini semua aspek harus diedit, baik dari penulisan, diksi, analisis data, interpretasi dan lain sebagainya. Dan pada bab 4-5, aku selalu terniang dengan ucapan rekanku saat itu, “Dek, bagaimana caranya dari judul yang sederhana, kita bisa buat penelitian kita menjadi wah dengan cara mempertajam analisis kita.” Kalimat itu aku jadikan asas selama mengerjakan bab 4 dan 5 ini. Proses bimbingan pun berlangsung, kertas yang ku bawa dalam bab ini mencapai 100 halaman lebih. Benar-benar tebal, hingga map bimbingan pun harus kuganti dengan ukuran yang lebih besar. Bimbingan pertama dengan Pak Yuswan masih juga perbaikan, beberapa kesalahan kecil terlewatkan dan ada beberapa analisis yang beliau coret saat itu. Namun, dengan analisis setebal itu, aku patut bersyukur karena pada bimbingan kedua sudah bisa di-acc. Mengingat teman-teman hingga 8-12 kali bimbingan baru selesai. Langkahku ku lanjutkan kepada Ibu Sity. Dalam bimbingan kali ini, aku seolah sudah sangat mengenal beliau. Berkas bimbingan ku tinggalkan di mejanya dan selama empat hari aku tidaklah datang ke kampus. Karena aku yakin, butuh waktu yang agak lama selama proses bimbingan dengan beliau. Apalagi dengan format setebal itu. Hari kelima aku datang ke prodi dan beliau bilang belum selesai dibaca, sehingga aku kembali menemuinya keesokan harinya tapi jawabannya tetap sama. Kenyataan itu tak membuatku jera, aku terus datang kepada beliau setiap hari untuk menanyakan berkas bimbinganku. Bahkan aku ingat dihari ke-8, disaat beliau rapat, semua mahasiswa bimbingan beliau pulang, namun aku dan Dewi tetap setia menunggu beliau sampai pukul 21.00 wib, dan di sana pun aku tak mendapatkan hasil apapun pada malam itu. Dan dihari ke-9, aku baru mendapatkannya dengan beberapa perbaikan. Namun, sekali lagi proses bimbingan, ku targetkan harus di-acc sehingga tidak perlu hingga 8-12 kali bimbingan. Untuk itu proses editing kembali kulakukan, dan buah manis pun terpetik, bimbingan kedua sudah di-acc. Oh senangnya hatiku. Batas perjuangan hampir mendekati titik akhir. Ujian komprehensif gelombang pertama di prodiku dimulai, namun sepertinya aku belum dapat menyelesaikan skripsiku dengan baik. Alhasil hanya tujuh mahasiswalah yang mengikuti ujian komprehensif gelombang pertama di prodiku (Sebenarnya ujian itu merupakan komprehensif gelombang ke-2 di Universitas, karena pada komprehensif gelombang pertama dari prodiku belum ada yang selesai, maka aku katakan itu adalah ujian komprehensif pertama di Prodiku). Kekecewaan karena tak berhasil menjadi peserta ujian komprehensif gelombang awal, menyebabkan motivasiku untuk menyelesaikan skripsi semakin kuat. Apalagi, setelah bab 5 selesai, bimbingan hanya dilakukan untuk abstrak, lembar-lembar pengesahan, daftar isi, perjanjian dan lain-lain. Namun, proses itu tertahan di Ibu Sity, sehingga di suatu sore pada hari Sabtu. Aku membaca pengumuman bahwa Ujian kompre selanjutnya dilaksanakan pada hari Selasa, 29 Mei 2012 dan pendaftaran ditutup pada hari Jumat, 25 Juni 2012. Melihat pengumuman itu, aku segera bergegas menemui Ibu Sity untuk mempercepat proses bimbingan abstrak dan lain-lain. Setelah bernegosiasi, alhasil Ibu Sity memberikan berkas bimbinganku pada sore itu juga. Perjuangan melengkapi persyaratan administrasi komprehensif dimulai. Setelah mendapat berkas bimbingan dari Ibu Sity, aku segera menuju ke ruang Microteaching untuk meminta surat pengantar keterangan bahwa telah lulus PPL II. Setelah sampai di tempat, kekecewaan ku peeroleh, petugas bilang data namaku dan nilai belum dikumpulkan oleh dosen pembimbing PPL II, jadi aku diminta untuk menghubungi beliau dan menghadap lagi hari Senin. Malam itu juga aku menghubungi beliau, namun ponselnya tidak dapat dihubungi sama sekali. Hingga esoknya pun demikian. Merasa niat sudah bulat, Minggu malam aku coba mencari nomor telepon yayasan tempat dosen pembimbing PPL ku bekerja. Esoknya, aku menghubungi nomor telepon tersebut, untungnya dosen pembimbing PPL ku menyikapi telponku dengan bersahabat, karena beberapa dosen terkadang harus ditemui langsung jika ada keperluan mendesak. “Wah, Bapak sudah serahkan nilai PPL kalian sudah lama, Yan. Coba kamu datang lagi ke Microteaching, mungkin saja terlewat!” jawab Bapak itu. Mendengar informasi tersebut, jelas ada setitik cahaya terang bagiku. Sore sebelum pukul 17.00 WIB, aku mulai berangkat ke Kampus. Tempat pertama yang kutuju adalah UPT Bahasa asing yag terletak di lantai 1 gedung A, di tempat itu aku meminta surat pengantar bahwa aku sudah lulus les bahasa asing dan toefl. Mengingat aku terlambat mengambil dua program tersebut, alhasil proses piagamku juga belum selesai. Jadi jalan satu-satunya adalah mengurus surat keterangan telah mengikuti dua program tersebut. Nah, di dalam data petugas, mereka hanya menemukan berkas keterangan les bahasa asing saja. Untuk toefl, karena tergolong baru, jadi data nilai masih berada di gedung Rektorat lantai 4, selintas kupacu langkah seribuku untuk menuju ke lantai 4 gedung Rektorat. Sesampainya di sana, ternyata petugas belum datang. Aku mulai getir, karena masih banyak berkas-berkas yang belum aku urus. Aku mulai turun dan naik ke lantai 2 untuk menyerahkan perbaikan abstrak dan lain-lain dengan Ibu Sity di Prodi, namun sampai di sana. Beliau juga belum datang. Sepontan, aku langsung menuju ke gedung E di belakang sana, dan naik ke lantai 4 untuk menemui pegawai Microteching. Namun, ruangan tersebut juga belum buka. Tak mau bersantai-santai ria, serentak dari lantai 4 gedung E aku harus turun dan berjalan dan akhirnya naik lagi ke gedung Rektorat di lantai 4. Usahaku berhasil, aku dapat menemui pegawai itu dan mencatat nilai toefl yang baru saja dikeluarkan. Ternyata di kertas itu tercatat nilai toeflku 427. Namun itu sudah lebih dari cukup, karena pihak Universitas hanya menuntut angka 350 untuk syarat lulus toefl pada program studi non bahasa Inggris. Sesampainya di gedung A lantai 1, aku diminta datang besok karena kepala ruangan tersebut sedang mengajar. Mendengar ucapan itu, aku menegleuarkan permain lidah, aku katakan, “Malam ini terakhir daftar kompre, Buk!” Mendengar desakkanku akhirnya petugas memintaku datang lagi setelah Magrib. Langkahku kembali kutujukan ke lantai 4 gedung E, ternyata sampai pukul 19.00 WIB ruangan tersebut belum juga buka. Aku kembali turun dan berjalan dan kemudian naik kembali ke lantai 2 Prodi. Untuk menyerahkan berkas perbaikan abstrakku kepada Ibu Sity. Alhasil, tak sampai satu jam, berkas itu ku terima kembali dengan goresan setuju tanda abstrakku dianggap tak perlu diperbaiki lagi. Kegembiraanku sedikit terpancar melihat kartu bimbingan skripsiku telah usai, lantas kembali ku langkahkan kaki turun ke lantai 1, dan di sana juga ku dapati surat pengantar keterangan lulus bahasa asing dan toefl. Pukul 19.30an aku kembali lagi ke lantai 4 gedung E, dan terus menunggu sampai pukul 20.30 WIB dan ternyata hasilnya nihil. Esoknya, Selasa, 22 Mei 2012, aku mendapatkan informasi bahwa penutupan pendaftaran kompre di Prodiku dimajukan pada hari Kamis tanggal 24 Mei 2012. Wah, begitu getirnya aku. Mengingat surat pengantar PPL II, belum ku peroleh. Alhasil, di hari Selasa ku tunggu di depan ruang Microteaching dari pukul 17.00 WIB sampai pukul 20.30 WIB, ternyata juga tidak buka. Kesempatan hanya tinggal besok. Kalau besok tidak juga buka, artinya aku akan gagal mengikuti kompre karena ada proses checklist di BAK dan Prodi jika semua syarat telah terpenuhi. Rabu, 23 mei 2012, pukul 16.30 WIB aku telah berjaga-jaga di depan ruang Microteching. Di sana kutemukan wajah-wajah mahasiswa dari prodi lain yang juga resah menunggu surat pengantar pasca PPL II dari Microteching. Ini adalah harapan terakhirku, checklist setidaknya membutuhkan dua hari. Hingga pukul 19.00 WIB, ruangan tetap terkunci. Hingga akhirnya, lemaslah kaki ini, impian untuk kompre gelombang itu seolah sirna. Rasa kesal, kecewa dan sedih bercampur aduk. Ku coba langkahkan kaki untuk menuju ke Prodi untuk meminta dispensasi kepada Ibu Sity (dalam hal ini, beliau bukan selaku dosen pembimbing, melainkan sebagai Ketua Prodi). Sesampainya di Prodi, ternyata hpku berbunyi. Aku melihat ada nama Yogie, temanku dari prodi olahraga yang juga terlibat ngatre di ruang Microteching.Ia mengabarkan bahwa ruang Microteching sudah buka. Mendapat kabar itu, aku langsung teriak kegirangan. Dua temanku yang juga mendengar kabar itu juga ikut berlari mengejarku menuju parkiran di lantai satu, dan secara spontanitas saja, aku mengambil motor dan memboncengkan ke-2 temanku yang notabennya mempunyai badan jumbo. Tapi, tak peduli orang-orang mau ketawa atau meledek apa, yang penting malam ini harus selesai semua urusan. Sesampainya di Microteching, aku bilang bahwa dosen pembimbingku telah memberikan nilai ke situ. Dan ketika dilihat kembali di komputer, memang benar adanya. Surat pengantar PPL dicetak dan aku merasa gembira karena aku mendapat nilai A. Masalah baru muncul untuk Ira, temanku. Nilainya belum masuk ke komputer. Petugas memintanya untuk datang lagi besok. Namun, kondisi sudah mendesak, kami meminta Bapak itu untuk mencari berkas-berkas di lemari, karena dari dosen pembimbing PPL Ira bilang kalau nilai Ira sudah dikumpul. Melihat kejadian itu, aku dan Dewi bilang, “Pak, kalau misal Bapak sibuk untuk membuka berkas di lemari. Kami siap membantu Bapak untuk mencari nilai Ira.” Mendengar kalimat itu, Bapak Petugas, langsung mencari berkas-berkas itu di dalam lemari. Alhasil berkas untuk Ira ditemukan. Ira sedikit kecewa karena nilai PPLnya mendapat B. Tapi itu bukan akhir segalanya, kami harus turun kembali dan berjalan dan menyambung lagi naik ke lantai 2 gedung C, untuk meminta tanda tangan Purek 1, serta cap pengesahan FKIP. Proses itu, berlangsung sangat mudah. Mengingat waktu tinggal besok. Kami bergegas ke BAK, dengan semua syarat administrasi yang lengkap kami mengajukan berkas-berkas kami untuk di checklist. Namun, kembali lagi kekecewaan yang kami temui. “Proses checklist sesuai dengan prosedur dari Rektorat, harus dilakukan secara hati-hati. Jadi batas minimal yang harus dilakukan untuk checklist adalah 2 hari. Artinya, Jumat baru kalian bisa ambil lagi!”, kata petugas kepada kami. “Tapi, Pak! Besok terakhir daftar kompre di Prodi. Apakah tidak bisa malam ini juga?”, kataku menyakinkan. “Nak, Bapak cuma mengikuti prosedur. Apalagi ini sudah pukul 20.30 WIB. Maaf, jika Anda masih bersikeras untuk malam ini juga, ya dengan berat hati silahkan bawa kembali berkas Anda!”, mendengar jawaban itu hatiku getir sekali. Tapia apa boleh buat, “Ahaaa, Ibu Sity!”, teriakku berbarengan dengan Ira. Kebetulan kami berdua adalah mahasiswa bimbingan Ibu Sity. Kami bergegas ke Prodi, untung saja beliau masih ada di ruangannya. Kami mengahadap beliau untuk meminta diberi dispensasi pendaftaran sampai hari Jumat karena alasan checklist. Dan, mendengar penjelasan itu, Beliau menyetujuinya dengan satu catatan jika nanti sampai hari Jumat proses checklist belum selesai, maka kami harus batal kompre untuk gelombang ini. Jumat, 25 Mei 2012, aku dan Ira datang ke BAK. Syukur Alhamdulillah, proses checklist telah selesai dan kami pun mendaftarkan diri sebagai peserta ujian komprehensif meski terlambat satu hari. Dan saat itu, untuk gelombang ke-2 di Prodiku juga baru tujuh mahasiswa yang mengikuti ujian ini. Hatiku bersyukur, karena mengingat dulu aku terlambat satu bulan lebih untuk pengajuan judul, namun dengan kerjakeras dan semangat yang tinggi aku buktikan bahwa aku bisa menyusul mereka dan aku bisa mengikuti ujian komprehensif gelombang itu, sedangkan ratusan mahasiswa lain yang awalnya mereka lebih dulu memulai proses pengajuan judul, ternyata justru masih banyak yang belum selesai bimbingan. Sabtu, 26 Mei 2012, Kami bertujuh harus telah mempersiapkan format skripsi dengan baik sebanyak lima rangkap. Dalam hal ini, kami dikumpulkan disuatu ruangan oleh Ibu Sity, dan dibagilah kami dengan nama-nama dosen penguji. Namaku diumumkan pada saat itu dengan penguji 1, Dra. Hj. Yenny Puspita, M.Pd., dan penguji 2, Drs. Sjech Dullah, M.Pd. Proses pengumuman selesai, kami segera mungkin bergegas menuju ruangan dua penguji, dan dua pembimbing untuk menyerahkan format skripsi yang telah dijilid kepada mereka untuk dipelajari, dan kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan pukul berapa mereka dapat menguji dan di mana tempat kami untuk bisa menemui mereka saat ujian. Dari proses pertanyaan itu, akhirnya aku memperoleh jawaban bahwa satu-satunya dosen yang bisa ditemui pagi harinya hanya Pak Yuswan dan ketiga dosen lainnya semuanya setelah magrib. Dua hari, ku persiapkan semua perlengkapan dan kebutuhanku menjelang kompre. Dari buku-buku yang kugunakan dalam daftar pustaka, power point, penguatan materi, sumber data dan lain-lainnya. Jujur, rasanya menjelang kompre seolah-olah menjadi persiapan yang menegangkan. Dulu waktu SMA, waktu UN tak serumit ini dan tak setegang ini. Namun, dibenakku hanya ingin skripsiku mendapatkan nilai B. Karena hanya tinggal satu nilai saja untukku sebagai penentu, apakah aku akan lulus dengan predikat “Cumloude” atau tidak. Karena saat itu IPK-ku telah mencapai 3,66 dan apabila aku dapat C, maka gagalah semua perjuanganku selama ini, meskipun nantinya IPK-ku masih di atas 3,60an. Dalam hal ini, aku tak berani menargetkan nilai A. Karena sejarah dalam Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas PGRI Palembang, nilai A merupakan nilai yang sangat pelit diperoleh. Bahkan kabar yang ku terima sudah lebih dari sepuluh tahun tidak ada mahasiswa dari prodiku yang memperoleh nilai ini. Jelas, kemungkinan yang terjadi hanyalah nilai B dan C, itupun kalau dapat nilai itu IPK-ku sudah dipastikan turun. Malam hari menjelang kompre, aku hafalkan abstrakku dan berulang kali aku berlatih berpresentasi di depan kaca. Aku ingin menjadi mahasiswa yang dapat mencuri perhatian dosen dengan presentasiku yang tidak sama sekali membaca teks, baik itu teks kecil atau teks dalam power point. Notebookku ku check berulangkali dan kupastikan sumber dataku berupa sepuluh lagu Afgan dalam album Conffension No.1 sudah tersimpan, jadi kalau dosen penguji menanyakan sumber data itu, aku telah siap di dalam notebookku. Tak hanya menghafal abstrak, malam itu kupelajari serentetan teori-teori serta analisis yang ku tulis dari bab 1-5. Aku mulai menerka pertanyaan-pertanyaan apa saja yang akan dipertanyakan dosen padaku, dan aku harus mampu menjawabnya dengan baik. Hmm, malam itu, rasanya menjadi malam yang panjang bagiku, dan sedetik pun mata ini tak dapat tertidur sama sekali. Selasa, 29 Mei 2012. Setelah Subuh, aku lekas beranjak dari ranjang tidurku. Rasanya kepala ini pusing sekali, lantaran tak ada satu detik pun mata ini tertidur semalaman. Aku segera bergegas mandi dan kembali melatih presentasi di depan kaca. Sejenak, aku mulai kembali memastikan sumber dataku sudah tersimpan dengan baik atau tidak dinotebook. Ketika ku buka notebook, “Astaga, ada apa dengan notebookku ini? Mengapa tidak bisa terbuka sama sekali? Setiap ku buka hanya ada tulisan repair. Dan meski di klik berulang kali tetap tulisan itu yang muncul.” Konsentrasiku buyar, ini memang salahku, mengapa aku tak menyimpan data itu dalam flashdisc? Kenyataan ini benar-benar membuat semangatku turun. Namun, aku berusaha menjadi psikiater buat diriku sendiri. Aku menghibur diri sendiri dan memastikan semua berjalan secara aman. Aku harus semangat, biarlah sumber data tak dapat aku bawa dihadapan dosen pembimbing namun setidaknya, aku harus memfokuskan kepada hal-hal lain yang menjadi substansi skripsiku. Pukul delapan pagi, aku mulai sampai di Kampus. Sebelum berangkat tentunya harus minta doa restu orang tua. Sesampainya di kampus, adik-adik tingkatku yang melihatku berjas rapi menyalamiku dan mereka memberiku dukungan dan doa atas kompreku. Ini adalah keutungan bagiku yang bergabung di Organisasi, karena keberadaan kita akan selalu dikelilingi orang-orang banyak yang menyayangi kita. Pukul sembilan semua mahasiswa dari berbagai prodi yang mengikuti kompre berkumpul semua. Rasanya duduk dihari itu dan tempat itu sepertinya merupakan keberuntungan. Karena kalau tidak salah, peserta kompre dari semua prodi baru limapuluhan peserta. Artinya bisa lebih dulu menyelesaikan skripsi adalah suatu kesempatan dan kebanggaan tersendiri. Dalam pembukaan itu, acara dibuka langsung oleh Rektor Universitas PGRI Palembang, Dr. H. Syarwani Ahmad, M.M., dan sebelumnya diawali dulu pengarahan dari Pembantu Rektor 1, Drs. Magdad Hatim, M.Hum. Acara seremonial berlangsung secara khitmad. Selepas pembukaan, kami bertujuh bergegas menuju Prodi Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia. Saat itu, dosen yang hadir hanya dua orang, yakni: Drs. H. Yuswan, M.Pd., dan Drs. Warino, M.Pd., meskipun hanya dua orang, proses presentasi pun tetap dilaksanakan. Pada saat presentasi, mereka meminta presentasi dilaksanakan di ruang sebelah, yaitu ruang prodi Pendidikan Bahasa Inggris, yang kebutulan pada saat kompre berlangsung belum ada satupun mahasiswa bahasa Inggris yang mendaftar kompre. Aku menawarkan diri menjadi operator, tawaran itu selain untuk membantu teman-teman dalam presentasi aku juga bisa mengurangi rasa gugup karena telah melihat proses presentasi dari teman-teman yang lain. Empat orang termasuk aku sebagai operator memasuki ruangan presentasi. Aku amati cara satu per satu presentasi yang dilakukan teman-temanku. Setelah selesai, maka masuklah tiga temanku yang lainnya, pada kesempatan ini aku tak lagi bertugas sebagai operator melainkan sebagai Orator. Proses presentasi berakhir, kami disuruh menunggu di Prodi bahasa dan Sastra Indonesia. Dan kedua dosen tersebut mendahulukan mahasiswa yang mereka uji daripada mahasiswa bimbingannya. Kebetulan, aku hanya menghadap Pak Yuswan saja pada waktu itu dan itupun posisiku sebagai mahasiswa bimbingan beliau, jadi aku dipanggil agak akhir. Ketika namaku dipanggil Pak Yuswan, beliau hanya berkata, “Pembimbing hanya bertanya apa saja yang ditanya oleh dosen penguji, sedangkan Bapak tahu kalau kamu belum di uji kan? Jadi Bapak acc saja!”, Wah demikian proses interaksi berlangsug, tak sampai 2 menit. Pukul 12 kami pulang ke rumah masing-masing, namun aku masih akan melanjutkan hari-hariku untuk mengetahui kerusakan apa yang ada dalam notebookku. Sampai akhirnya, aku menemui salah seorang teman di Rumah Sakit Siti Khotidjah, jujur rasa ngantuk benar-benar tak terbendung lagi. Sesampainya di sana, ia bilang bahwa notebookku hanya perlu di install saja. Kalau begitu, langsung saja aku meluncur ke tempat service notebook. Aku berharap, notebookku bisa hidup lagi sebelum magrib. Sesampainya di tempat itu, ternyata Karyawan toko itu bilang, “Hardiscknya perlu diganti, mas. Jadi biaya install dan ganti hardisck sekitar Rp 750.000.” Wah, aku tak pernah mengira akan semahal itu, lantas kuurungkan untuk menyervice notebookku dan aku kembali ke rumah dan menyempatkan tidur siang. Sore harinya, sebelum magrib kami telah berkumpul di depan Prodi. Aku adalah mahasiswa yang paling banyak untuk ujian. Karena habis magrib jadwalku masih harus menemui dua penguji dan satu pembimbing. Lantas, selesai magrib aku segera menuju ke ruang Pak Sjech dulu dilantai tiga gedung Pascasarjana. Di sana, sudah berjejer antre panjang sekali mahasiswa yang bimbingan skripsi dengan Pak Sjech, belum lagi banyak adik-adik tingkat yang juga akan menyelesaikan keperluan tugas akhir semester dengan beliau. Aku ikut antre saat itu, setelah kursi terlihat kosong, aku bergegas menghampiri Pak Sjech di meja kerjanya. Di belakangku, masih banyak mahasiswa yang masih antre. Aku duduk dengan begitu tenangnya, dan suasana itu tak setegang pagi tadi. Pak Sjech mengawali perjumpaan kami dengan pertnyaan ringan, “Makan apa yan? Kok tambah ndut!”, pertanyaan itu menggelitik hatiku. Beliau segera memintaku untuk mempresentasikan abstrak penelitianku. Dengan lancar aku segera mempresentasikan abstrak penelitianku, rasanya aku seperti artis saat itu, di ruang yang luas aku berpresentasi dengan dilihat beberapa mahasiswa yang antre dibelakang sana. Setelah presentasi berlangsung, Pak Sjech memulai pertanyaannya kepadaku, “Gaya bahasa dalam lagu? Apa tujuanmu meneliti itu?” “Terima kasih, Pak! Tujuan saya melakukan penelitian gaya bahasa dalam sebuah lagu karena beberapa penelitian-penelitian terdahulu juga pernah melakukan penelitian serupa dan intisarinya, dalam penelitian ini saya ingin mencari pekatnya gaya bahasa dan intensitas pembangun syair lagu-lagu itu dengan tataran kalimat-kalimat konotatifnya. Dalam hal ini saya sebut majas.” “Wah, kalau begitu untuk apa kamu teliti lagi penelitian seperti ini? Konsep sebuah penelitian menuntut kita untuk mencari sesuatu hal yang baru. Sedangkan sebelum kamu meneliti penelitian ini, apakah kamu tahu apakah ada gaya bahasa di dalam lagu itu?” “Ya, saya tahu. Pasti ada gaya bahasa dalam lagu itu.” “Nah, kalau kamu tahu sebuah lagu pasti mempunyai gaya bahasa, mengapa kamu masih mau menelitinya? Bukankah sudah jelas tanpa kamu teliti, gaya bahasa sudah pasti ada dalam lagu.” “Terima kasih, Pak! Jenis pertanyaan itu ada beragam bentuk. Dalam pelajaran bahasa Inggris, ada pertanyaan-pertanyaan yang dikatagorikan ke dalam pertanyaan yes/no Question. Yang artinya, pertanyaan itu hanya mempergunakan jawaban ya atau tidak. Demikian juga dengan pertanyaan Bapak tadi, pertanyaan apakah saya mengetahui ada gaya bahasa atau tidak dalam sebuah lagu, saya hanya menjawab dengan kata “ya” karena itu adalah hipotesis yang berkemungkinan benar. Namun, dalam penelitian ini, saya tidak mendasarkan penelitian saya dengan pertanyaan yes/no Question, Pak. Melainkan pertanyaan essay yang menuntut jawaban uraian dari hasil suatu penelitian.” “Baiklah, lantas sekarang apa manfaatnya bagi dunia pendidikan dengan penelitianmu itu?” “Terima kasih, saya mengajar di bimbel selama hampir tiga tahun lamanya, selain itu juga saya pernah menjadi siswa juga sebelumnya. Materi gaya bahasa atau majas, merupakan materi yang sering sekali muncul sebagai materi pengayaan dan banyak siswa yang mengaku meski sering dipelajari, tapi majas merupakan materi yang sukar diingat. Ketika masalah itu perlu sebuah jawaban, maka saya menyorotnya dari segi penyampaian materi. Selama ini guru hanya menyampaikan materi kepada siswa tentang majas dengan cara yang konvensional, biasanya guru hanya menyebutkan jenis majas yang kemudian diterangkan pengertiannya dan diikuti satu hingga dua contoh. Siswa memang secara mudah untuk menangkapnya, namun secara mudah juga untuk melupakannya karena mengingat jenis majas sangat banyak. Nah, dalam praktik lapangannya, ketika ulangan siswa sering bertemu dengan sebuah puisi dan dalam puisi tersebut siswa diberikan ujian untuk menganalisis majas apa saja yang ada. Siswa cenderung kesulitan menjawab, Pak. Karena ketika proses belajar, siswa hanya dikenalkan potongan-potongan kalimat saja. Tidak seperti pada contoh soal itu. Jadi, dengan penelitian ini, diharapkan dalam bidang pendidikan, terutama bagi guru, untuk tidak mengajarkan materi majas dengan cara yang konvensional seperti penjelasan saya barusan, melainkan guru harus mempunyai media khusus yang pas untuk membuat siswa mampu dan terampil dalam menganalisis gaya bahasa. Nah, saya pikir, zaman sekarang siswa-siswa cenderung menyukai lagu-lagu daripada puisi. Mereka juga lebih cepat memahami lagu daripada puisi, maka penelitian ini bisa menjadi motivasi atau rujukan guru-guru untuk dapat menggunakan media lagu sebagai bahan ajar materi gaya bahasa atau majas.” “Baik, Yan. Di judul kamu kan analisis gaya bahasa dan persajakn pada album Conffension No.1. Di dalam judul sudah jelas, bahwa yang akan kamu analisis adalah album. Sedangkan di bab 3 kamu menjelaskan bahwa dalam album itu terdapat lagu yang berjumlah 13 lagu, mengapa kamu hanya mengambil 10 lagu saja? Bukannya itu tidak konsisten dengan judulmu sendiri?” “Terima kasih, Pak! Benar saya menulis bahwa album tersebut berjumlah 13 lagu, namun bukankah sebuah penelitian yang apabila mempunyai populasi data lebih dari 10, kita bisa mengambil 50% nya saja sebagai sampel penelitian. Dan menurut saya, 10 lagu itu sudah representative dan melebihi 50% dari jumlah sumber data yang ada.” “Tapi, tetap saja itu tidak konsisten. Kalau kamu buat nama album, ya semua lagu harus kamu masukan!” “Baik, Pak! Dalam 13 album itu, ada 2 album yang berjudul ILU dan My Conffension itu memergunakan bahasa inggris. Apakah nanti jika saya harus konsisten dengan judul saya, lantas saya harus mengabaikan hakikat penelitian ini yang pada dasarnya penelitian ini berbicara tentang bahasa dan sastra Indonesia, bukan bahasa asing.” “Ya, sekarang Bapak punya dua kata, yang satu “Mega” dan yang satu “Awan”. Mega dan awan mempunyai satu hubungan, sesuai dengan hubungan itu, coba jelaskan hubungan apa yang terjadi pada kedua kata itu? Dan berikan satu contoh analisis dari sumber datamu yang sama dengan kedua kata itu!” “Baik, Pak. Awan dan mega merupakan sebuah benda yang sama, hanya saja dibedakan dalam penyebutan. Jika dikaitkan dengan ilmu semantik, kedua kata tersebut mengandung jenis sinonim atau padanan makna. Namun, jika harus dibicarakan dalam segi gaya bahasa, kedua kata tersebut mengandung hubungan asosiasi yang merupakan dua istilah yang saling berumpama dan memiliki sifat yang sama. Dalam penelitian saya, asosiasi juga terdapat dalam kata “kasih” yang terdapat pada penggalan lagu “Terima Kasih Cinta” yang mana kata “kasih” dapat diasosiasikan dengn kata “cinta” atau “sayang” dan lain sebagainya.” “Nah, saya membaca di kesimpulanmu. Kamu hanya sekedar menyimpulkan lagu A mempunyai gaya bahasa 1,2,3 dan persajakan 4,5,6. Jadi, mana interpretasi sastramu?” “Maaf, Pak!, penelitian saya cenderung saya arahkan kepada penelitian semu. Ranah penelitian ini bisa masuk ke dalam tataran bahasa karena gaya bahasa juga ditemukan dalam ilmu semantik dan persajakan ditemukan dalam ilmu puisi. Jika harus, saya interpretasikan lebih detil, maka penelitian saya akan meluas. Coba Bapak buka halaman 3!, dalam tulisan saya, saya telah membatasi rumusan masalah saya hanya pada jenis-jenis gaya bahasa dan persajakan saja. Tidak untuk interpretasi data yang lebih lanjut, Pak!” “Wah, tetap saja, kalau tak ada interpretasi data yang lebih detil, penelitianmu akan sangat datar dan sama saja dengan penelitian mahasiswa-mahasiswa lain, yang Bapak lulus-lulusakan saja. Gini saja Yan, kamu nanti datang lagi ke saya, bawa skripsimu itu dengan interpretasi data yang kuat!”. “Jadi itu perbaikan untuk saya sekarang, Pak?” “Bukan perbaikan, tapi kamu bawa lagi penelitian kamu lagi ke saya dengan analisis yang lebih tajam, dan masukan interpretasi data dan itu bukan sekarang, tapi besok-besok!” “Oh, ya! Baik, Pak segera mungkin saya perbaiki!” “Bukan perbaikan, yan!, tapi kamu cukup ngadep saya lagi. Dan sekaligus Bapak tunggu kamu di S2 nanti!” “Tapi, pak !” “Ngak ada tapi-tapian, saya faham kemampuan otakmu! Kamu tak pantas hanya lulus di S1 saja!” “Baik, Pak. InsyaAllah saya akan rundingkan dengan orang tua saya, terima kasih, Pak!” Aku mulai meninggalkan ruangan, aku heran. Kok teman-temanku yang pernah kompre dengan beliau biasanya 15-20 menit saja sudah selesai, kok saya sampai 56 menit?, lalu maksud Bapak saya harus membawa kembali skripsi saya ke Bapak itu apa? Bukankah itu sebuah perbaikan? Tapi mengapa Bapak bilang hingga dua kali kalau itu bukan perbaikan?, aku mulai beerfikir, apakah aku akan di kompre lagi? “Ah, lupakan dulu itu. Sekarang saatnya menuju ke prodi dan menemui Ibu Yenny.” Sesampainya di prodi, Ibu Yenny dan Ibu Sity masih sibuk dengan mahasiswa yang mereka uji. Aku mulai bertanya dengan teman-teman yang lain, apa saja yang dipertanyakan dengan Ibu Yenny?. Hemm, suasana deg-degan kembali muncul, alampun seolah tak bersahabat. Hujan deras mengguyur kampus dengan kilatan cahaya yang menyeramkan dan suara gemuruh petir yang menyambar-nyambar saat itu. Selintas, aku mulai masuk dan menghadap ke meja Ibu Yenny. “Yan, coba kamu presentasikan abstrakmu!”, pinta beliau, serentak aku presentasikan abstrak itu. Dan mulailah ibu Yeny bertanya, “Berapa klasifikasi majas yang kamu temukan dalam album itu?” “Ada empat, buk. Yaitu: pertentangan, pertautan, perbandingan dan perumpamaan.” “Lalu sajaknya ada berapa klasifikasi?” “Tiga, buk! Sajak berdasarkan letaknya dalam baris, sajak berdasarkan letaknya dalam bait, dan sajak berdasarkan bunyinya.” “Oh, begitu. Sekarang jelaskan alasanmu memilih pendekatan stilistika dalam penelitianmu?” “Terima kasih, sebenarnya di awal saya menulis, saya merasa bingung untuk memilih pendekatan stilistika atau pendekatan struktural. Setelah saya kaji lebih detil dari berbagai referensi buku, saya menilai bahwa penelitian saya ini semu. Tatarannya mengarah pada sastra namun kebanyakan objek yang dikaji adalah penggunaan bahasa yang menimbulkan cikal bakal lahirnya sastra. Maka saya menyatakan itu adalah pendekatan stilistika.” “Ibu sering membimbing penelitian tentang gaya bahasa, tapi sejauh ini kok ibu baru ketemu ada nama-nama lain yang menurut ibu itu sangat asing. Contoh: Ibu taunya itu adalah gaya bahasa tautologi kok kamu tambahi kata tautotes, enomersio kamu ataukan dengan enumerasi, terus banyak nama-nama baru yang kamu sandingkan dengan nama-nama majas lainnya. Darimana kamu mendapatkan nama-nama itu?” “Baik, Buk! Ini adalah keuntungan kita membaca banyak acuan buku, Buk. Sebenarnya nama-nama asing atau tambahan itu bukan nama baru, namun itu adalah nama-nama lama. Saya membaca buku-buku terbitan 1990an, terutama buku karangan Suroto yang menggunakan istilah-istilah lama itu. Setelah saya baca dan saya telaah, ternyata maksud dari nama-nama lama itu mirip dengan nama-nama gaya bahasa secara umum. Sehingga saya tambahkan disetiap subbab dengan nama-nama lain yang mengandung pengertian yang serupa, Buk!” “Terus, Yan! Coba jelaskan maksud gaya bahasa enomerasio itu seperti apa?, karena ini seperti masih asing sekali!” “Saya menemukan istilah itu dari buku karangan Nayla Ulhaq dan KLBI karya Ahmad A.K. Muda, dijelaskan bahwa majas ini adalah gaya bahasa yang mengarah pada deskriptif keadaan secara detil. Lihat kalimat ini!, Hamparan laut biru terbentang luas. Sebenarnya kita bisa mengatakan itu adalah laut, namun kesannya jika kita bilang itu laut. Gambaran yang diterima mitra tutur tidak akan detil menangkap gambaran itu, namun dalam enomerasio acapkali diberikan gambaran fisik yang lebih tajam seperti biru, luas sekali dan lain sebagainya. Sehingga pembaca atau pendengar dapat tergambar dengan sangat jelas.” “Baik, di sini ibu membaca ada kata melawan dan tertawan, kamu memasukan penggalan syair itu sebagai sajak disonansi. Coba kamu jelaskan!” “Terima kasih, Buk. Sajak disonansi disebut juga dengan sajak rangka, sajak ini terbentuk dari kerangka huruf vokal yang bentuk dan susunan sama. Untuk mengetahui bentuk dan susunan huruf vokal, kita bisa matikan huruf konsonan. Coba kata melawan, huruf konsonannya (m,l,w dan n) kita hilangkan, maka vokal pembentuk kata itu adalah /e/, /a/, /a/. Demikian juga dengan kata tertawan, konsonan /t/, /r/, /t/, /w/ dan /n/ kita buang, maka yang tersisa juga vokal /e/, /a/, /a/.” Rasanya, jawaban-jawaban itu dapat diterima oleh Ibu Yenny dan beliau mengalihkan pembicaraan pada perbaikan penulisan yang salah. Mengingat jawaban itu sangat memuaskan aku optimis bahwa aku akan mendapat nilai B. Namun, masih ada satu lagi yang belum aku hadapi, beliau adalah ketua Prodi sekaligus dosen pembimbing 1 ku. Meski harus disuruh menunggu sekitar 15 menit, namun beliau langsung memintaku untuk presentasi abstrak, dan sedikit bertanya tentang tulisanku serta bertanya tentang pertanyaan-pertanyaan dari dosen penguji. Lantas berakhirlah proses kompre hari itu tepat pukul 20.30 WIB dan hujan pun seolah mengerti karena ia mulai mereda. Esoknya, pengumuman dilakukan diruangan tertutup bersama Ibu Sity. Kami bertujuh dibuat deg-degan karena proses pengumuman dibuat lama. Dan ketika Ibu Sity bilang aku lulus, wah rasanya hilang semua beban berat. Dan Alhamdullilah, semua mahasiswa yang kompre saat itu semua lulus. Dan sebelum mengakhiri rapat tersebut, Ibu Sity sempat mengucapkan maaf, apabila selama proses bimbingan pernah membuat kecewa. Hati ini merasa tersentuh, mendengar ucapan beliau, rasa kesal, kecewa selama bimbingan dengan beliau seolah lenyap begitu saja. Ketika posisiku masih tertegun, tiba-tiba Ibu Sity melihat ke arahku, ia berkata kepadaku di depan enam mahasiswa lain, “Yan, kamu lanjutkan pendidikanmu sampai S2 ya!, sayang nilaimu tinggi lho, kalau Cuma S1 saja itu meneurut ibu masih dangkal untukmu. Coba nanti kamu cari Universitas Negeri dulu sebagai tempat merujuk S2 mu, Ibu yakin kamu mampu!”, wah ucapan itu seolah sugesti bagiku. Setelah dulu Ibu Missriani juga pernah berkata di kelas kepadaku seperti itu, disusul Pak Sjech dan kali ini Ibu Sity. Rasanya benar-benar seperti mendapatkan amanat yang sangat besar sekali. Setelah pengumuman kelulusan, proses perbaikan segera aku jalani, termasuk perintah dari Pak Sjech. Setelah selesai memperbaiki skripsi selama tiga hari, tiba saatnya aku menuju ke ruangan Pak Sjech, sesampainya di sana Bapak sedang akan shalat. Lantas dari lantai 3 gedung pascasarjana, aku menuju ke gedung rektorat lantai 4, dan di sana juga Ibu yenny belum hadir. Merasa gelisah kembali aku turun dan naik lagi ke gedung Pascasarjana untuk menemui Pak Sjech, pas sampai dilantai tiga. Aku berpapasan dengan Pak Sjech. “Mau kemana yan?” “Oh, saya mau menemui Bapak!” “Wah, Bapak mau ngajar pascasarjana, Yan. Besok Senin saja gimana?” “Wah, ngak bisa besok saja, Pak. Kan besok hari Sabtu?” “Besok Bapak kuliah, Nak!” “Yah, kalau begitu kalau malam ini saja gimana, Pak?” “Tapi, Bapak ngajar sampai malam lho!” “Tidak apa-apa, Pak. Saya tunggu Bapak sampai selesai.” “Ya sudah, Bapak tinggal ngajar dulu ya! Kamu tunggu saya di depan ruangan saya!” “Baik, Pak!” Melihat waktu sangat sempit, aku segera kembali harus turun dan naik lagi ke lantai 4 gedung Rektorat. Sesampainya di sana ternyata antrean panjang sekali. Lebih dari satu jam aku mengantre untuk mengurus perbaikan skripsi dengan Ibu Yenny. Setelah lama mengantre akhirnya, aku berkesemptan bertemu dengan beliau, dan beliau membaca sekilas, lalu beliau memberikan tanda tangan tanda perbaikan telah diterima. Langkahku tak berhenti sampai di situ. Kembali harus turun dan naik lagi ke lantai 3 gedung Pascasarjana untuk menemui Pak Sjech, sesampainya di atas untung saja Bapak belum selesai ngajar. Aku duduk di kursi depan dengan membawa buku-buku tebal yang ku baca sebagai persiapan kalau saja, nanti aku harus dikompre lagi. Setelah menunggu sekitar 20 menit, Pak Sjech turun. Aku tidak langsung masuk ruangan karena aku tahu Bapak perlu minum atau istirahat sebentar. Tak lama kemudian, Bapak keluar. “Yan, sini yan, masuk!”, Astaga, rasanya seperti mimpi. Padahal selama ini mahasiswa yang ada keperluan dengan beliau harus mengetok pintu dan mahasiswa itu sendiri yang mempunyai inisiatif untuk menemui dosen seperti Pak Sjech. Namun, satu kehormatan bagiku, karena Pak Sjech sendiri yang keluar menemuiku dan menyilakanku untuk masuk ke ruangannya. “Nah, ini baru skripsi!, Bapak menyuruhmu untuk datang lagi ke sini, karena Bapak tidak ingin kecewa karena telah memberikan nilai yang sangat besar kepadamu, dan Bapak juga dapat informasi bahwa dosen-dosen penguji dan pembimbingmu memberikan nilai kepadamu dengan sangat besar. Maka, kelak nanti, Bapak yakin skripsimu akan menjadi pemecah rekor tahun ini, bahkan beberapa puluh tahun terakhir. “Astaga… rasanya tak memercayainya! Benarkah ini nyata? Ataukah ini mimpi!, tapi jika ini mimpi, aku tak mau mimpi ini lantas hilang. Beberapa hari kemudian nilai skripsi dikeluarkan, dan sungguh takjub mata ini dibuat. Karena nilai A, tertulis di KRS nilaiku. Dan yang jelas, ini menjadi sejarah baru, sebuah skripsi yang mendapatkan nilai A yang notabennya seperti nilai yang tak pernah mungkin diperoleh untuk prodi kami sepanjang sejarah beberapa belas tahun terakhir. Alhamdulillah nilai A, mengangkat IPKku menjadi 3,68 dan membawaku menjadi mahasiswa yang lulus dengen predikat “DENGAN PUJIAN/CUMLOUDE”. Demikian kisah ini, aku tulis dan ku bagikan untuk semua. Agar kelak cerita ini akan menjadi motivasi untuk kita semua. Bahwa kerjakeras, doa dan keyakinan adalah modal penting untuk menaklukan sesuatu hal yang TIDAK MUNGKIN menjadi MUNGKIN. Selamat berjuang! Mohon dikomentari!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Ulasan Artikel Jurnal Penelitian

Contoh Proposal Kegiatan Bulan Bahasa di Sekolah

Novelet "“NOVELETE KETIKA AKU HARUS …” Oleh: Alvian Kurniawan