Cerpen "Dua Belas : Dua Puluh" Pemenang Harapan II Kategori Guru se-Sumsel dalam Lomba Penulisan Cerpen Pilihan Pembaca Koran Sumeks 2012
Dua Belas : Dua Puluh
Oleh: Alvian Kurniawan
Palembang dipersinggahan malam yang dingin dan menusuk sukma. Suara gemericik air berlincah memukul genting-genting rumah. Hujan seolah menari-nari tak tahu diri. Ia bergembira dan tak menghiraukan kepiluan yang sedang ku rasa. Aku jua tak menemui serunai suara kodok yang biasa nyaring memekakan telingaku. Yang ada hanyalah suara gemuruh petir yang bertandang dari langit dan begitu mencekamnya. Ia seolah garang akan dirinya sendiri. Gemuruh itu menyala putih dan kemudian hilang seraya menakuti ribuan anak kecil yang sedang tak terjaga dari peraduan tidurnya. Entah, berapa ribu bocah kecil yang dibangunkan olehnya malam itu. Mungkin alam sedang berbicara dengan para iblis di muka bumi ini. Lantas, suara itu benar-benar tak bisa membuat mata ini tertutup rapat. Batin yang sedang lara dibuat seolah semakin getir dan kalut. Yah, harus berulang kali aku tutup telinga ini. Tapi, semua percuma. Aku tak kuasa menolak bahasa alam saat itu.
Seperti biasa, malam ini adalah hari ke tujuh belas, di mana aku memasuki satu fase yang teramat memilukan. Aku harus berdialog dengan kamar kecilku ini. Kamarku terlihat sunyi dan senyap malam itu, binar lampu lilin terasa mulai meredup dan mengecil ia karena meleleh. Berulang ku tengok jam dinding tua yang berwarna coklat yang terpasang di dekat tirai jendela kamarku. Kacanya sudah pecah, dan dari pagi hingga sekarang, tetap saja ia tak bergeming untuk bergerak. Kedua jarum itu selalu menunjuk pada pukul dua belas lewat dua puluh menit. Harusnya benda itu tak ada lagi di dinding itu. Tiadalah berfungsi ia terpasang di sana. Namun, bukanlah fungsi yang menahanku untuk tetap mempertahankannya di tempat itu. Melainkan, kali ini aku sedang berbicara tentang sejarah. Ya, sejarah yang tak pernah aku lupakan. Sejarah yang berbicara tentang siapa si pemberi jam mati itu. Ia seolah memberi rekaman pada memori indahku pada masa lampau.
Dalam pilu yang menusuk batin, aku merasa tertarik untuk terus memerhatikan jam tua itu. Setiap aku melihatnya, fikirku menerawang jauh pada masa-masa di mana aku memerolehnya. Rasanya baru lima tahun yang lalu aku menerimanya. Tapi, kini jam itu seperti mayat yang tergantung. Ia hanya diam serta membangkai di atas dinding sana. Lantas, rasanya dada ini semakin kuat berdegup. Rasa penat mulai menyerbu dinding aortaku. Aku merasai ada satu ruh yang sengaja masuk ke ragaku disetiap aku melihat jam coklat tua itu. Benda yang ku sebut seperti mayat itu seolah menyimpan rekaman yang begitu indah tuk ku rasa dan ku rindui.
Perlahan aku berdiri dan mendekati benda itu. Sejenak, aku mulai terhanyut oleh suasana. Aku mulai tak menghiraukan alam. Biarlah petir terus berteriak, tapi ku coba tuk mengacuhkannya. Kakiku mulai melangkah dan perlahan menyokongku hingga aku dapat berdiri tepat di depan benda kenangan itu. Ku perhatikan setiap sisi dan bentuknya yang seolah tak pernah berubah, hanya saja bagian kacanya sudah pecah. Bentuknya yang bundar serta sedikit antik menyebabkan tanganku seolah tak kuasa untuk bergerak dan menyentuh benda tua itu. Semua seakan tak tertahankan, ketika aku menatap dan menyentuh jam itu. Aku ingat bahwa aku tak pernah kuasa untuk dapat menahan air mata ini. Air lembut itu terus menetes dari bingkai mataku secara perlahan. Kerinduan akan kasih sayang semakin menakik di setiap persendianku. Rasanya ingin teriak di suatu massa yang tak ada sedikit pun yang mendengar teriakan itu. Ingin ku sampaikan bongkahan kerinduan yang ingin kutujukankan kepada sesosok wanita yang telah menghadiahi benda itu kepadaku.
Oh ya, perkenalkan namaku Diandra. Aku adalah seorang pelajar yang duduk di bangku SMK di kota ini. Masa kecilku selalu diwarnai dengan kasih sayang. Meskipun, aku dibesarkan hanya dengan satu orang tua. Dulunya, ayahku seorang pengusaha sukses di kota Yogyakarta. Namun, selama aku hidup, aku hanya sekali berjumpa dengannya. Penghianatannya pada keluarga ini membuatku seolah tak merasakan adanya posisi ayah dalam hidupku. Aku hanya dibesarkan oleh seorang ibu. Ia adalah wanita yang kuat bagiku. Ia adalah satu-satunya orang tua dan sahabat dekatku di rumah ini. Setiap hari, ibu selalu saja menemaniku bermain, bercerita, belajar dan sebagainya. Parasnya sangat cantik, sayangnya nasib tak secantik wajahnya. Ia ditinggalkan ayah ketika aku masih bayi. Menurut kisah yang ku dengar. Ayah telah membagi perasaannya dengan seorang wanita yang merupakan rekan bisnisnya. Prahara itulah yang menyebabkan ibu tak kuasa untuk tetap setia terhadap ayah. Ia memilih jalan berpisah ketika aku masih berusia dua tahun. Setelah bercerai dengan ayah, ibu membawaku pindah dari kota gudeg ke kota empek-empek ini. Di sini, ibu membangun rumah sederhana dan usaha menjahit dengan beberapa pegawai sebagai pekerjaan kesehariannya.
Aku ingat di hari terakhir Ujian Nasional ketika aku duduk di bangku SMP. Tiba-tiba aku merasakan ada hal yang aneh dalam diriku. Sekujur tubuhku seolah lemas. Mulutku juga seolah mual, berulangkali aku harus berlari ke toilet sekolah untuk membuang makanan yang sudah masuk ke dalam perutku. Kepalaku pusing, dan tiba-tiba aku terjatuh pingsan saat itu.
“Diandra, kamu tidak apa-apa sayang?”
Suara itu terdengar begitu lembutnya ditelingaku, mataku perlahan terbuka dengan pandangan yang kurang jelas. Di sana, ku lihat ada ibu di dekatku,
“I...bu?” tanyaku lirih.
“Iya, nak. Ini ibu sayang. Kamu sudah siuman?” tanya ibu panik. Aku hanya tersenyum saja tanpa bertanya kepada ibu di tempat manakah aku saat itu. Aku sudah tahu, bahwa aku pasti berada di rumah sakit. Ya, ini sudah kesekian kalinya aku masuk rumah sakit.
“Buk, anemiaku kambuh lagi ya?”
“Iya, sayang. Mungkin kamu kecapekan!”
“Sudah berapa lama Diandra di sini, Bu?”
“Sekitar tiga jam, nak!”
“Bu, ayo kita pulang saja, Diandra sudah sehat kok!” rengekku kepada ibu. Kali ini aku harus berbohong kepadanya. Karena aku tahu, bahwa biaya rumah sakit tidaklah murah. Aku khawatir, ibu akan pusing mencari uang untuk berobatku. Usaha jahitan ibu akhir-akhir ini juga agak sepi. Aku tak ingin ibu menjadi terbebani oleh penyakitku ini.
“Jangan sayang, kamu masih harus dirawat. Kamu belum pulih!” cegah ibu kepadaku. Namun, aku tetap saja memberontak,
“Diandra sudah sehat kok, Buk! Diandra tidak sakit lagi. Toh ini cuma anemia biasa kok. Ayo Buk kita pulang!”
“Diandra, kamu belum sehat nak!” cegah ibu.
“Pokoknya Diandra mau pulang sekarang!” bentakku kesal sambil berusaha bangun dari ranjang tidurku.
“Kamu tidak boleh berdiri dulu, sayang!” paksa ibu sembari memegangku.
“Pokoknya Diandra maunya pulang sekarang, Buk!”, kali ini aku memberontak semakin kencang. Namun, ibu menahan badanku dengan pelukannya yang erat. Aku tak ingin kalah dengan ibu. Bagiku, keluar dari rumah sakit akan membantu ibu untuk meringankan administrasi perawatanku di rumah sakit ini. Kali ini aku berusaha dengan sisa kekuatanku untuk melepaskan diri dari pelukan ibu. Sedangkan ibu terus saja memelukku dengan begitu kuatnya. Spontan terjadi dialog badan antara aku dan ibu, dan tiba-tiba,
“Arggggggggggggggghhhhhhhhhhh....Sakiiiiiiiiiiiiiiiiittttt!!!” teriakku sembari memegang pinggangku. Aku kembali lagi meraskan seolah-olah dihantam benda keras di bagian pinggangku. Entah dari mana asalnya. Tapi, rasa sakit itu benar adanya. Aku berteriak begitu kencangnya. Tak terasa air mata ini meleleh begitu deras. Berulang kali aku menggerang kesakitan menahan sakit yang begitu kuat mendera pinggangku. Spontanitas ibu melepaskan dekapannya tadi, berulang kali ia bertanya apa yang terjadi padaku. Namun, aku hanya bisa menjawab dengan tangisan histeris.
Melihat keadaanku, ibu terlihat panik. Ia berlari keluar dengan membanting pintu sekuat-kuatnya. Ia berteriak memanggil para perawat. Di tengah sakitnya pinggang yang menderaku. Tak begitu lama wanita-wanita berbaju putih itu datang tergopoh-gopoh mendekatiku. Jumlahnya ada tiga orang, salah seorang perawat mencoba untuk memasang alat pengukur darah, sedangkan dua orang lainnya memegangi tubuhku yang mengeliat kesakitan. Ibuku membelai rambutku dengan bercucuran air mata. Ketika sakit itu semakin memuncak, tiba-tiba ku rasakan ada suatu tusukan yang masuk ke dalam nadi pergelangan tanganku. Aku merasakan sakit yang semakin mendera tubuhku ketika benda itu terhujam di pergelangan tanganku. Badanku seolah menjadi lemas. Tangisan ibu pun terdengar semakin lirih dan hingga akhirnya aku tak mendengar lagi suara itu.
Pasca kejadian tersebut, aku merasakan semakin aneh pada kondisi kesehatanku. Bahkan ketika aku sudah memasuki bangku SMK pun, penyakit pinggang itu semakin sering kambuh secara dadakan. Tak hanya itu, perlahan demi perlahan terjadi pembengkakan di beberapa tubuhku. Hal aneh juga aku alami pada saat aku membuang air kecil. Rasanya urineku tidak seperti biasanya. Keinginan untuk membuang air kecil pun juga sangat jarang. Bahkan bisa dipastikan hanya satu kali aku membuang air kecil dalam waktu tiga hari terakhir ini. Air seniku pun seolah berbeda. Rasanya, ini bukan hanya sekedar penyakit anemia biasa. Ada apa yang terjadi sebenarnya padaku?
Kecurigaanku semakin meningkat, tatkala ibu mengubah semua pola makananku dengan mengurangi hal-hal yang berhubungan dengan garam, protein dan fosfat. Ibu seolah menjadi overprotected kepadaku. Entah apa gerangan yang menyebabkan semua itu, yang jelas setiap aku tanya tentang penyakitku, ibu selalu menjawab bahwa aku cuma sakit anemia biasa. Namun, jawaban itu semakin lama semakin meragukan. Jika itu cuma anemia biasa, mengapa berulang kali ibu harus membawaku ke rumah sakit untuk mencuci darah. Ini adalah keadaan yang tidak bisa diterima oleh logikaku. Aku mulai mencari tahu tentang penyakit ini melalui beberapa artikel kesehatan di internet. Perlahan demi perlahan aku mulai menemukan jawaban dari semua permasalahanku. Tabir tanda tanya besar itu semakin lama semakin terkuak.
Sudah hampir seminggu aku tidak masuk sekolah. Siang itu, seperti biasa ibu masuk ke kamarku. Ia membawa makanan dan obat-obatan untukku.
“Ayo, sayang, waktunya makan dan minum obat!” sapanya dengan ramah tamah. Aku hanya diam dan mengacuhkan kalimatnya itu. Ibu terus mengulang kalimatnya. Tapi, siang itu aku tetap tak menyahut dengan satu kata pun.
“Diandra, sayang. Kamu marah ya dengan ibu?” tanyanya sambil meletakkan makanan di atas meja sebelah kiri ranjangku. Perlahan ia duduk di sampingku dan membelai rambut ikalku yang saat itu sengaja ku uraikan. Sepintas aku menatap mata ibu dan berkata,
“Ibu, maaf jika Diandra bertanya ini kepada ibu. Namun, Diandra tak kuasa untuk menahan pertanyaan ini. Diandra tahu ibu sangat sayang pada Diandra. Namun, sayang bukan berarti harus bohongkan?”
“Bohong? Maksudmu apa, nak?” tanya ibu dengan nada gugup.
“Diandra sakit ginjalkan, Buk? Diandra bukan hanya sakit anemiakan? jawab Buk! jawab yang jujur! Ibu sayang kan dengan Diandra?” gertakku sembari menitikan air mata.
Ekspresi ibu berubah total. Bibirnya pun terlihat gemetaran. Pertanyaanku seolah memberatkan dirinya untuk menjawab. Ia berusaha berdiri sebentar dan kemudian duduk perlahan di sampingku. Ia terlihat menunduk, sambil berfikir untuk mengatur kata-kata.
“Maafkan ibu, sayang? Ibu tidak bisa menjagamu dengan baik. Ibu sayang denganmu nak. Ibu tidak ingin kau gelisah karena penyakit ini. Ya, kau memang sakit ginjal, sayang! bahkan dokter memvonis bahwa kau mengidap ginjal kronik. Penyakit ini jauh lebih parah dibandingkan dengan ginjal angkut. Pasien penyakit ini biasanya tidak akan bisa bertahan lama untuk hidup, Nak! Dokter juga berulang kali menyarankan untuk segera mungkin melakukan transplantasi ginjal. Dan kamu jangan khawatir! ibu janji, ibu akan mengusahakan kesembuhan untukmu. Berapa pun ibu akan bayar, asal kau kembali sehat.”
“Bu, transplantasi ginjal itu sulit. Lagi pula itu mahal, Buk!”
“Tidak nak, kau jangan khawatir. Ibu sudah mendapat pendonornya!”
“Siapa, Buk?”
“Kau tak perlu tahu sayang. Yang jelas ia rekan ibu semasa di Jogja. Bagaimana, apakah kamu mau nak menerima ginjal itu?”
“Tapi Buk ...”
“Ssstttt, tidak ada waktu lagi untuk berfikir. Dalam waktu tiga minggu ibu akan urus semua administrasi pencangkokan ginjal itu. Kau jangan takut sayang, kau pasti sembuh!” ucap ibu meyakinkanku. Suasana sekilas hening, kami dipertemukan dalam keadaan yang sangat memilukan. Aku merasa suungguh beruntung mempunyai ibu sebaik dirinya. Aku berjanji ketika aku sehat nanti aku akan membahagiakannya, aku akan menjaganya agar ia tetap tersenyum dan bangga kepadaku.
Tepat pada hari yang ditentukan. Aku mulai berpasrah kepada Tuhan yang Maha Esa. Aku berdoa agar operasi pencangkokan ginjal dapat berlangsung dengan lancar. Dua hari sebelum operasi dilakukan aku meminta ibu untuk membawakan jam dinding coklat kesayanganku yang dulu pernah ibu berikan ketika ulang tahun kesebelasku. Aku ingin, jam itu dapat menemaniku menjalani masa-masa tersulit yang akan aku alami sebentar lagi. Dan aku ingin, jam itu akan menjadi benda pertama yang akan ku lihat setelah aku kembali membuka mata nanti. Tak selang beberapa lama, proses operasi pun berjalan. Aku seolah tertidur nyenyak tanpa beban. Aku merasakan seolah-olah ibu menopangku dari bawah. Dalam tidur nyenyakku, aku bermimpi aku bermain dengannya. Ibu memintaku untuk mengejarnya. Namun, ia berlari begitu cepat. Ia berlari dengan suatu kegembiraan. Aku tak kuasa mengejarnya. Ketika aku berhenti mengejarnya, ibu terus saja berlari meski berulang kali aku memanggilnya.
Pukul dua belas lewat sepuluh menit, aku terbangun. Seperti apa yang telah ku rencanakan, bahwa benda yang pertama ku lihat adalah jam coklat itu. Tanganku berusaha merengkuh dan mendekap jam bundar itu. Aku rasakan, ada kelegaan yang kurasa saat ini. Aku tersenyum, dan ketika ku menolehkan kepalaku ke samping kanan. Di sana ku dapati Bukde Suti (pegawai ibuku di tempatnya menjahit) sedang menungguku. Seperti biasanya, ia mengenakan baju batik khas Jogja berwarna coklat kekuning-kuningan, serta jarik di badannya. Ia tersenyum menyambutku. Sepintas ku balas pula senyumnya itu. Mataku mencoba bergerak untuk melihat semua sisi yang ada di ruangan itu. Pertanyaan besar seketika muncul di saat aku tidak menemui ibu di sampingku saat ini. Ku beranikan diri bertanya kepada Bukde Suti perihal keberaadaan ibu. Namun, Bukde Suti hanya menjawab dengan kalimat yang terputus-putus. Nada bicara Bukde Suti terlihat begitu mencurigakan. Ada apa gerangan yang terjadi? aku berusaha memaksa Bukde Suti untuk memberikan penjelasan. Namun, kembali pertanyaanku hanya dijawab dengan ekspresi pilu. Hal ini yang membuatku menjadi tidak stabil. Aku berteriak kencang seolah memaksa Bukde Suti agar ia dapat berkata jujur. Teriakanku itu membuatnya semakin bingung. Ia kualahan menenangkanku. Hingga akhirnya, ia pun menjelaskan kepadaku bahwa sebenarnya pendonor ginjal ke badanku itu adalah ibu. Selama proses operasi pencangkokan ginjal dilakukan, kondisi ibu terus-terusan mengalami pendarahan. Berulang kali kekuatan tubuhnya menurun, Dokter pun dibuat gelisah olehnya, namun semua percuma. Ibu telah tiada!
Aku berteriak begitu kencangnya. Air mata tak kuasa ku tahan saat itu. Rasa kehilangan menyelinap di bilik-bilik rongga dadaku. Ku angkat jam coklat itu dan sepintas terlihat bahwa waktu menunjukkan pukul dua belas lewat dua puluh menit. Seketika ku lempar jam coklat itu hingga membentur ke dinding. Pelukan erat ku peroleh dari Bukde Suti saat itu. Beberapa perawat terlihat mendekati kami. Seperti biasa, suntikan kecil itu kembali mendera nadi pergelangan tanganku. Ia seolah membuatku semakin mengantuk. Hingga akhirnya, aku kembali tertidur. Dan tidur itulah merupakan tidur pertamaku setelah aku tahu bahwa kini aku seorang gadis piatu. Ya, ini adalah sebuah perjalanan hidup. Ibu yang selalu ada untukku, kini telah berpulang kepada-Nya. Terima kasih untuk semua warna yang kau berikan untukku, Ibu. Aku berjanji akan menjadi gadis yang tegar untukmu. Kau boleh pergi, namun namamu tetap tertinggal di hatiku. Selamat jalan ibu! Diandra sayang kepadamu!
Komentar
Posting Komentar