Cerpen "Pesan di Helaian Benang-Benang Emas" oleh: Alvian Kurniawan, S.Pd.

Remang telah datang bertamu malam ini. Riuh suara hujan terdengar lincah menari di atas genting-genting rumah panggungku. Petir pun turut serta hadir menggangguku yang sedang duduk di samping lemari ukir yang sudah retak kacanya. Gemuruh suaranya menambah suasana malam menjadi kian mencekam. Ku amati dari kejauhan, Nyimas, anak bungsuku tidur dengan pulasnya. Ia nampak lelah setelah seharian penuh berlatih menari tanggai bersama teman sekelasnya di SD. Aku ingat, sekitar lima jam yang lalu, ia mengeluh lelah dan pusing. Ia sempat berpesan kepadaku sebelum tidur, kalau esok pagi ia ingin mengenakan baju penari khas dari Sumatera Selatan ini. Tentunya, sebagai seorang ibu aku merasa ingin memenuhi permintaan anak kesayanganku ini. Apalagi aku ingat bahwa seharusnya baju ini sudah selesai ku rajut sembilan hari yang lalu bertepatan dengan ulang tahun Nyimas yang ke-11.
Ku lihat jam dinding sudah menunjukan hampir pukul dua dini hari. Aku terus saja menenun satu demi satu helaian benang emas ini. Dalam batinku terbit sebuah hasrat ingin melihat Nyimas menari dengan luwesnya besok pagi pada acara penyambutan Bapak lurah di sekolahnya. Maklum, sebagai mantan penari adat, aku sangat paham medan kegembiraan yang dirasakan setiap penari ketika ia sukses membawakan tariannya di hadapan tamu-tamu yang disambutnya. Sebab tarian ini sengaja dibuat khusus untuk menyambut para tamu kehormatan yang sedang berkunjung. Artinya, apabila tamu kehormatan terasa senang melihat penyambutan ini, maka sebagai seorang penari pun pasti merasakan hal yang serupa karena telah berhasil pada tujuan asalnya. Pelan-pelan pikiranku berjalan pada masa remaja yang pernah ku lalui dulu. Aku membayangkan seolah sedang menari bersama teman-teman gadis sebayaku dulu yang berjumlah tiga orang, termasuk aku sendiri. Memang tari tanggai ini pada umumnya ditarikan oleh gadis kota Palembang yang berjumlah ganjil. Aku sudah paham akan jumlah itu. Aku juga merasai tengah bangga memergunakan “aesa dodot” yang merupakan busana untuk menari tanggai. Bersamaan juga dengan khayalku yang sedang asik menari, aku seolah-olah mendengar teduh suara iringan musik “enam bersaudara” yang juga mengiringiku menari kala itu. Iringan kental instrumen dengan tempo lambat dan memadukan antara musik gendang, gong, dan sebagainya seolah menyuruhku untuk bergerak terus menerus. Aku tersenyum lepas sembari menggerakan jari-jariku dengan sangat lembut. Aku seolah dijemput untuk menari di suatu masa yang aku sendiri tak tahu di mana lamunanku itu membawanya. Ku rasai ada tatapan kagum dari ratusan pasang mata yang tengah asik menikmati indahnya gerakan yang ku tampilkan. Tiba-tiba,
“Prakkk !!!” aku tersadar dari lamunanku setelah sebuah gelas kecil di sampingku tidak sengaja tersentuh oleh tanganku. Aku tersenyum seketika, sembari kembali mengambil segenggam benang emas yang masih setia menemaniku menenun songket.
Waktu menunjukan pukul setengah enam sore, ku lihat Nyimas dengan begitu semangatnya bangun dengan memasang rona wajah yang gembira.
“Mak, apakah songket tenun buatan mak sudah jadi?” tanyanya dengan nada penasaran. Sebenarnya, aku tak kuasa mengatakan bahwa songket tenun itu belum ku usai pengerjaannya hingga saat ini. Tapi, untuk menjaga perasaannya yang sedang gembira, aku hanya berucap kepadanya,
“Sudah kok, nanti kamu tinggal pakai saja!” demikian jawabku kepada Nyimas. Ku lihat Nyimas berlari kegirangan mendengar jawabanku tadi. Ia segera menuju kamar mandi dan sepintas terdengar suara dentum gayung dan siraman air dari dalam kamar mandi itu.
Seusai mandi, Nyimas segera berganti baju. Diambilnya tas pakaian yang di dalamnya sudah ada semua perlengkapan tari, hanya saja kain songket yang tidak ada di dalam tas tersebut.
“Nyimas, songket tenunnya tinggal Mak gosok saja. Dari pada kamu terlambat, mending kamu berangkat ke sekolah dulu saja. Nanti Mak yang mengantarkannya kepada gurumu.”
“Tapi jangan sampai telat ya, Mak!”
“Iya! Pokoknya kamu berangkat dulu sana. Jangan lupa bawa pisang goreng. Makanlah di sekolah, jangan tidak! Takutnya nanti kamu lapar pada saat menari!” teriakku kepada Nyimas.
Ku lihat Nyimas berlari kencang menuju meja makan yang terletak tidak jauh dari tempatku duduk. Dirautnya beberapa pisang goreng dan burgo dengan tangan kecilnya sembari memasukannya bersamaan ke mulut kecilnya itu.
“Mak, aku berangkat ya!” teriaknya kepadaku sembari menyalamiku.
“Iya hati-hati! Tapi itu makanannya dihabiskan dulu! Tidak enak berjalan sambil mengunyah makanan,” teriakku mengingatkan.
“Tidak apa-apa, Mak! Soalnya buru-buru nih!”
Aku hanya tersenyum geli melihat ulah anakku. Lalu segera kembali ku ambil benang-benang emas yang sepertinya tinggal beberapa helai lagi untuk ku tenun. Aku tidak mau menunggu nanti-nanti lagi. Aku khawatir kalau ditunda pengerjaannya, nantinya malah terlambat.
Tepat pukul tujuh kurang lima belas menit songket tenun buatanku telah usai. Perasaan gembira itu seketika muncul. Hal ini wajar terjadi, sebab sekitar tiga bulan lamanya aku mengerjakan pembuatan songket tenun ini. Demikian hal ini juga menjadi jawaban besar bagi mereka yang sering menanyakan mahalnya harga songket itu sendiri. Yah, sebagai penenun songket, harga demikian memang sesuai dengan jirih payah besar dari kami yang harus menghabiskan waktu berbulan-bulan lamanya untuk menenun.
Tanpa berfikir panjang lebar, aku bergegas pergi ke sekolah Nyimas guna menghantarkan hasil tenunan songketku ini. Ada perasaan gembira dan cemas menyelinap di balik rongga pemikiranku. Kekhawatiran akan keterlambatan menjadi faktor utama yang menyebabkanku harus melangkah dengan langkah seribu.
Sesampainya di depan pagar sekolah, ku lihat ada banyak sekali siswa dan guru tengah duduk sembari melakukan gladi untuk penyambutan Pak Lurah di bawah tenda. Ku sapai satu per satu orang tua siswa yang terlihat sedang berdiri mengamati anak-anaknya dari kejauhan. Aku tahu, mereka pasti orang tua siswa kelas satu dan dua SD. Sebab dulunya aku juga begitu, tiap hari harus berdiri di depan pagar sekolah mengawasi Nyimas yang sedang belajar di dalam kelas.
“Halah, kok aku jadi teringat masa-masa dulu saat Nyimas baru masuk sekolah?” Sejenak aku kembali pada ingatan awalku, yaitu menemui guru kelas Nyimas untuk memberikan songket tenun ini kepadanya. Segera ku cari ruangan kelasnya, dan ku dapati Ibu Lini sebagai guru kelasnya sedang sibuk merias para penari yang salah satunya adalah si Nyimas.
Usai menyerahkan songket tenun itu, aku berpamitan dengan ibu Lini untuk bergabung bersama rombongan orang tua siswa berdiri di depan pagar. Aku tidak mau ketinggalan untuk menyaksikan buah hatiku menari dengan kain songket tenun buatanku. Perasaan cemas itu tiba-tiba berubah menjadi perasaan tidak sabar menanti Nyimas berlenggak-lenggok mengenakan “aesa dodot” yang terdiri dari sewet songket, kemben songket, teratai, selempang, gelang sempuru, gelang kuno, cempako, sumping, gelang gepeng, gelung malang, pending, sundur, bunga urai, dan kalung kebo munggah. Aku berfikir pasti Nyimas akan terlihat sangat cantik dengan mengenakan seperangkat baju itu. Ditambah lagi apabila aku melihat Nyimas memainkan jari tanggainya sembari membawa tepak yang berisi ramuan, seperti daun sirih, pinang, dan lain-lain sebagai simbol abdi kehormatan bagi para tamu agung.
Mungkin bagi sebagian orang tua melihat anaknya menari tanggai adalah suatu hal yang wajar, tapi tidak untukku. Lahir dari orang tua yang mewariskan bakat seni tari kepadaku menjadikanku kaya akan rasa cinta terhadap mereka yang masih setia melestarikan tarian adat sebagai aset kebudayaan di daerahnya.
Pukul sembilan lewat tujuh menit, rombongan lurah telah tiba di lokasi. Setelah ramah-tamah dan sedikit berbincang-bincang kecil antara Kepala Sekolah dan rombongan tamu. Akhirnya pembawa acara memanggil rombongan penari untuk naik ke panggung. Di sinilah rasa degdegan itu muncul seketika.
Ku lihat anakku menghampiri Pak Lurah dengan menyodorkan tepak untuk diambil daun sirihnya, lalu dilanjutkan dengan gerakan pembuka yang lemah gemulai menjadikanku semakin bersemangat memberikan tepuk tangan yang paling keras di deretan orang tua siswa yang sedang menonton tarian tersebut dari kejauhan.
Aku merasakan kegembiraan yang luar biasa saat ini, dan mungkin kegembiraan itu tidak serta merta dimiliki semua penonton. Rasa haru juga menyelinap di dinding aortaku. Paling tidak aku telah menjalankan amanah dari almarhum suamiku yang pernah berkata kepadaku,
“Aku dipertemukan cinta denganmu melalui gerakan tarianmu. Aku menjunjung tinggi ketertarikanku padamu juga melalui kebiasaanmu mempertahankan seni budaya di kota ini. Untuk itu, kelak ketika tiada aku di sampingmu, maka janganlah berfikir aku meninggalkanmu. Selama tarian itu masih tetap ditarikan oleh siapapun itu, di sanalah energi cinta ini tetap ada untukmu.”
Sungguh di sini tak terungkap olehku akan rasa banggaku saat ini. Aku seolah sedang menyimak kembali rekaman remajaku, tatkala aku dipertemukan dengan cinta dari seseorang yang pernah berkata itu kepadaku. Kini amanah itu tetap dapat ku jalankan, bahkan anakku pun membantuku mempertahankan amanah itu melalui bakatnya yang turun temurun dari keluargaku.
Tuhan, secarik sajak ku goreskan untuk-Mu, memandang pelan fajar yang ku rasai ada dari kuasa-Mu. Di sini aku menangis bukanlah sedih, melainkan aku menangis karena setelah sekian lama aku tersenyum karena nikmat-Mu. Sungguh tiada daya hamba membalas semua karunia ini untukmu, kecuali melalui munajat syukur ini ku haturkan pesan-pesan cinta yang ku tujukan kepada-Mu wahai Dzat yang maha pemberi cinta.

Palembang, 18 Agustus 2015
Pukul 14.35 WIB

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Ulasan Artikel Jurnal Penelitian

Contoh Proposal Kegiatan Bulan Bahasa di Sekolah

Ringkasan dan contoh soal Materi Bertelepon dengan kalimat yang sopan dan efektif, Modul Bahasa Indonesia Kelas 7SMP Semester 2 Budiwijaya Karangan Alvian Kurniawan