Koneksi AntarMateri Modul 1.4 Disiplin Positif

 

Eksistensi Peran Diri Sebagai Guru Penggerak dalam Pembentukan Disiplin Positif
(Refleksi Hasil Belajar Modul Disiplin Positif)

Oleh: Alvian Kurniawan, M.Pd., Gr.

Guru penggerak merupakan sosok yang berperan penting dalam membawa perubahan positif dalam ekosistem pendidikan. Keberadaan guru penggerak diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan sesuai dengan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Dalam hal ini, guru penggerak akan menjadi garda terdepan dalam menghadapi permasalah-permasalahan yang secara krusial diingini untuk segera diselesaikan. Untuk itu, guru penggerak harus diberikan bekal pemahaman yang banyak untuk menghadapi dinamika yang terjadi dalam lingkaran pendidikan saat ini. Maka daripada itu, Pendidikan Calon Guru Penggerak dianggap sebagai salah satu jalur utama untuk merevolusi pengendali pendidikan di masa mendatang. Sehingga, modal pemahaman yang menjadi lingkup masalah dan solusi pemecahan dalam kasus pendidikan harus dapat dikuasai oleh sosok ini. Dalam hal ini, tulisan ini akan mengulas keterkaitan antarmateri terkait disiplin positif dengan materi-materi lainnya seperti filosofi Ki Hadjar Dewantara, nilai dan peran guru penggerak, serta visi guru penggerak itu sendiri.

Guru penggerak menjadi subjek pelaku dalam penegakan disiplin positif. Kata disiplin secara etimologi berasal dari bahasa Latin yaitu discere yang berarti belajar. Jika dikaitkan secara pemaknaan semantik, frasa ‘disiplin positif’ tidak dapat ditafsirkan ke dalam satu pemahaman parsial antara kata ‘disiplin’ dan ‘positif’, melainkan keduanya utuh membentuk satu pemaknaan baru yang dapat dipahami sebagai pendekatan yang dapat diterapkan untuk mendorong perubahan perilaku murid tanpa adanya paksaan ataupun pemberian hadiah. Hal ini selaras dengan pendapat yang dikutip melalui https://repositori.kemdikbud.go.id/9731/1/DISIPLIN%20POSITIF%20%28TERBARU%29%203.pdf yang menyatakan, “Disiplin positif adalah menumbuhkan disiplin yang didorong dalam diri anak tanpa hukuman dan hadiah”.

Guru penggerak sudah selayaknya memahami konsep disiplin positif secara mendalam. Hal ini dikarenakan terdapat kaitannya dengan salah satu peran guru penggerak yaitu menjadi pempimpin pembelajaran. Dalam proses kepemimpinannya pada murid, guru penggerak diharapkan mampu menggunakan beberapa nilai yang dimilikinya, yaitu inovatif dan reflektif untuk merancang cara-cara pendisiplinan secara intrinsik, bukan ekstrinsik. Sebab melalui penerapan pendisiplinan secara intrinsik akan membawa perubahan besar bagi murid untuk menjadikan dirinya sebagai pribadi yang tangguh. Tentunya, pribadi yang tangguh tersebut diperoleh melalui pendidikan yang dikelola secara baik dan benar. Untuk mengelolanya, guru penggerak secara sadar harus merefleksikan konsep pendidikan sesuai pandangan Ki hadjar Dewantara, yaitu pendidikan bertujuan menjadikan murid berada pada posisi yang bahagia dan selamat. Untuk itu, guru berupaya agar tidak membiasakan murid mendapatkan pola pendisiplinan dikarenakan ketakutan karena hukuman atau pemberian hadiah yang akan membuatnya menjadi tergantung pada hadiah itu sendiri.

Dalam upaya mewujudkan disiplin positif, guru penggerak seyogyanya mampu menerapkan posisi kontrol dalam menghadapi permasalahan murid. Jika dikaitkan dengan konteks pendisiplinan, maka disiplin sangat anti dengan hukuman dan pemberian hadiah, maka setidaknya ada beberapa posisi kontrol yang harus dihindari oleh guru itu sendiri, di antaranya posisi posisi penghukum dan pembuat rasa bersalah yang sangat dekat dengan pemberian hukuman; selain itu posisi kontrol teman juga dipandang kurang efisien dikarenakan sangat berpeluang dengan pemberian hadiah itu sendiri. Sehingga, jika guru menerapkan nilainya sebagai guru penggerak maka secara reflektif setidaknya guru mampu melakukan pendisiplinan positif melalui posisi pemantau atau lebih bagusnya lagi adalah menggunakan posisi kontrol manajer. Mengapa harus kedua posisi kontrol tersebut? Alasan kuatnya sesuai dengan penjelasan modul 1.3 tentang konsep berpikir strategis. Dalam modul tersebut, terdapat pandangan yang dikemukakan Evans (2001) yang menyatakan bahwa untuk memastikan perubahan terjadi secara mendasar dalam operasional sekolah, maka para pemimpin sekolah hendaknya mulai dengan memahami dan mendorong perubahan budaya sekolah. Perubahan budaya sekolah inilah yang harus dibentuk secara cermat melalui posisi kontrol yang sesuai.

Dalam disiplin positif perlu keteraturan dalam penataannya, sehingga diperlukan adanya keyakinan sekolah atau kelas. Keyakinan ini bersumber pada nilai-nilai kebajikan yang menjadi cerminan visi satuan pendidikan. Untuk mewujudkan visi sekolah, diperlukan aturan-aturan yang mengikat. Namun, di atas dari aturan yang mengikat itu, ada keyakinan yang sudah disepakati oleh kelas atau warga sekolah. Dengan keyakinan kelas, akan muncul nilai kolaboratif pada guru untuk bersama-sama dengan warga sekolah untuk mewujudkannya. Untuk merumuskan dan menjalankan keyakinan kelas, guru juga harus berpedoman dengan sistem among yang diprakarsai oleh KHD yang berbunyi “Ing ngarso sung tulodho”, “Ing madyo mangun karso”, “Tut wuri handayani”.

Dalam menjalankan sistem among di atas yang nantinya bermuara pada disiplin positif, guru akan menghadapi berbagai macam permasalahan. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, diperlukan pendekatan segitiga restitusi. Pendekatan ini menggunakan tahapan menstabilkan identitas, memvalidasi kebutuhan, dan menanyakan keyakinan. Pendekatan ini sebenarnya berhubungan dengan konsep pendidikan yang disesuaikan dengan kodrat alam dan zaman sesuai dengan materi pada modul 1.1. Melalui segitiga restitusi, guru penggerak akan secara inovatif merealisasikan peran keterpihakannya pada murid. Karena segitiga restitusi akan mengembalikan murid pada karakter yang lebih kuat dan berpijak pada nilai-nilai Kebajikan yang ada.

***

Secara pribadi, selama saya mempelajari materi disiplin positif, saya merasakan ketertarikan bahwa materi-materi yang sudah saya jabarkan di atas tidak hanya bersifat teoretis belaka, melainkan banyak hal yang dapat dipergunakan secara praktis. Banyak hal yang sebanarnya sudah saya lakukan, baik sebelum mempelajari materi ini ataupun pada saat mempelajari materi ini. Namun, banyak juga konsep lain yang tidak sejalan dengan sesuatu yang selama ini saya terapkan. Sebagai contoh bahwa selama ini saya lebih sering memainkan kontrol penghukum. Ternyata kontrol demikian merupakan bagian dari motivasi ekstrinsik yang kebermanfaatannya hanya sementara. Selain itu, saya sangat berpedoman dengan peraturan selama ini dan menganggap bahwa peraturan akan menghasilkan keteraturan bagi murid. Ternyata pemahaman yang demikian salah, hal tersebut hanya akan menghasilkan hukuman yang menyakitkan murid dan tidak merubah murid secara sadar untuk berprilaku disiplin.

Banyak paradigma yang berubah dalam pemikiran saya. Hal tersebut secara sadar terhubung dengan realita yang selama ini terjadi. Saya cukup membenarkan bahwa hukuman yang selama ini saya lakukan tak memiliki pengaruh yang besar. Apalagi jika dikaitkan dengan teori kontrol, bahwa kita tidak bisa mengontrol orang lain untuk menjadi sesuai dengan yang kita inginkan, kecuali ada kesadaran bagi orang tersebut untuk melakukan perubahan atas dasar keinginan sendiri. Sehingga, mulai dari sekarang saya berusaha untuk memikirkan dan menerapkan anjuran-anjuran dalam modul ini untuk melakukan pendisipinan positif dengan motivasi secara intrinsik.

Selama proses pembelajaran ini saya lakukan, saya tidak terlalu sering lagi marah kepada murid. Saya berusaha menciptakan kondisi disiplin yang cukup mendudukan saya sebagai posisi manajer. Saya tidak perlu membuang tenaga dan emosi saya secara meledak-ledak, melainkan kecakapan saya dalam beretorika untuk memberikan pertanyaan-pertanyaan pemantik agar murid yang sedang saya hadapi dengan masalahanya dapat menemukan cara pemecahan masalah dari pemikirannya sendiri secara sadar.

Saat mengalami perubahan karena restitusi secara perlahan saya terapkan, saya merasa tenang karena murid tidak perlu membenci saya. Saya merasakan setidaknya telah membawa mereka pada tujuan pendidikan yang menyelamatkan dan membahagiakan mereka, meski belum secara utuh.

Melanjutkan refleksi penerapan disiplin positif, hal yang saya rasa sudah baik saya terapkan adalah membimbing murid dari permasalahannya dengan menggunakan restitusi. Saya menjadi lebih dekat dengan mereka, tanpa harus menjadi orang asing bagi mereka. Selain itu, saya juga sudah mulai membuat kesepakatan kelas di beberapa kelas yang saya ajar. Meskipun belum sampai kepada keyakinan kelas, namun pelan-pelan saya mulai dulu dari mengubah peraturan kelas menjadi kesepakatan kelas. Baru kemudian ingin saya lanjutkan kepada keyakinan kelas.

Sudah saya uraikan pula pada bagian sebelumnya bahwa saya selama ini sering menggunakan posisi kontrol penghukum. Saat ini saya tengah mencoba posisi kontrol manajer, meski sebenarnya masih banyak proses penyesuaian yang perlu saya lakukan. Perubahan posisi kontrol ini memberi arti yang signifikan bahwa saya merasakan jadi memiliki jiwa yang bijaksana bukan pemarah.

Jika harus mengulang ke belakang, saya jarang melakukan penerapan segitiga restitusi itu. Kalaupun ada murid yang bermasalah, saya hanya menanyakan alasan dan kemudian meminta mereka untuk menyelesaikan masalah itu bahkan ada juga yang saya marahi.

Terakhir, saya menginginkan adanya pembahasan tambahan terkait materi disiplin positif itu sendiri. Saya belum menemukan pembahasan penerapan praktik baik restitusi untuk kesalahan yang dilakukan oleh kelompok atau lebih dari satu orang. Saya berharap, ada pembahasan lain terkait pendekatan positif selain segitiga restitus agar saya dapat memiliki lebih banyak alternatif cara mengatasi murid yang bemasalah.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Ulasan Artikel Jurnal Penelitian

Contoh Proposal Pengajuan Kegiatan Ekstrakurikuler

Contoh Proposal Kegiatan Bulan Bahasa di Sekolah