alvian kurniawan "Cerpen Bayangan"

Rotasi hari menjilma pada kokokan ayam, aku tahu kalau tak lama dari itu mungkin akan ada perapian di sudut timurku. Aku terbangun dan segera bersiap menulis dairy hariku dengan tinta lakuku. Segera ku tinggalkan selimut malasku dan kusandarkan pada rangka ranjang mimpiku.
       " Bu, hari ini aku ingin pergi ke taman", tekasku pada ibu.
seraya membalikan badan, ibuku bertanya, " Seorang dirikah ?";
      "Yah, seorang diri. Untuk apa aku harus ajak orang-orang lain, jika mereka hanya bisa menggangu saja".
Aku ingin bercinta dengan alam, karena alamlah ujung nyawa yang membahana tuk menggandengku dalam setiap hariku, aku tak percaya kamu, bahkan ia, mereka ataukah siapa itu.ku tingalkan ibu dan segeralah mungkin ku berlari pada alam.

      Angka 7 ditunjuk oleh jarum kecil jam perakku, aku segera berlari dan kukawini sesegaran pagi dibawah peraduan angin segar.
      " ohaaaaaaaaaaaaammmmmm " kuhembuskan nafas dengan sertamerta, lekukkan pagi seakan menyulik perhatianku. Aku terus berdiri bahkan mungkin tak kukenakkan rasa bosan yang ku sulam pada bebaitan saat itu. Bagiku alam adalah kekasihku, bukan kamu, ia, mereka ataukah siapa itu.

      Belum lepas tetalian mesra dengan alam saat itu, tiba-tiba ku dengar suara lirih dibawah tongkat penyanggaku;
      " Selamat pagi teman !!!"
Perhatianku dicuri benda itu, Ia adalah hitam dan bahkan ia menjilma mengikuti tubuhku. Dengan rasa penuh debar ku beranikan bertanya kepadanya, " Siapa kamu ?"
Tak ku temukan bahasa tubuhnya menjawab, namun yang ku dengar ia berkata lirih kepadaku, " Aku temanmu.".
      "Temanku ?", dengan penuh pesona tanya ku coba balikkan pernyataannya padaku.
      "Aku mencintaimu, bahkan aku selalu menemanimu.", tekasnya ulang,
      "arrghh, kamu ini siapa, aku tidak mengenalmu. Aku jua tak pernah punya teman. Aku hanyalah si cacat kaki yang telah ditakdirkan pincang dalam bergaul.". Ku menjawab seraya mencari keanehan tubuhnya, sekali lagi ku tak melihat bentuk rupanya,
      "Baiklah, namaku bayangan. aku diciptakan tuk temanimu, aku selalu ada didekatmu, jika kau bergerak maka aku bergerak, jika kau merangkak maka aku merangkak. yah sekali lagi ini adalah aku. Aku adalah bayangan."
Dahiku mengkerut mendengar jawaban itu, Namun aku juga tak mudah percaya. yang ku tahu cacatku ini hanyalah bahan penghinaan saja bukan bahan untuk diakrabpi.
      "Kau binggung wahai badanku? ", tanyanya padaku,
      "Yah, aku binggung !",
      "Pasti kau bertanya mengapa aku justru ingin berteman dengan cacatmu itu ?"
Aku tercengang tiada berbalas, ku coba mencari tahu darimanakah ia dapat menjawab dengan benar itu.
      "Kau tak perlu bertanya darimana aku tahu apa yang ada dipikiranmu, karena aku adalah temanmu, dimana-mana aku mengikutimu. Serta seluruh keluh kesahmu itu aku telah mengetahuinya.",
      "tapi.....", segera ia memotong kalimatku,
      "Aku juga cacat, aku tak punya bibir, aku tak punya mata dan aku tak punya mulut, lihatlah aku juga cacat. aku juga bertongkat. Berarti tak ada juga yang mau berteman denganku demikian kau juga tak ada yang mau berteman denganmu. Kita sama, bahkan aku lebih cacat daripada kamu. Sekali lagi buka ketidak mungkinan itu. Ini mungkin, sahabatku." lirihnya meyakinkan.
Aku tergugah, stigma yang kuenyam selama ini hanyalah intojeksi semata. Aku tak habis pikir, ternyata masih ada orang yang hendak berteman denganku. Ku mulai bercakap dengannya saat ini.

       Tak terasa, peraduan sore telah menjemput. Ku terhunus asik pada cengkraman celoteh teman baruku. Aku tidak kesepian saat itu, namun, kali ini aku semakin bingung. lantaran sahabat baruku semakin pudar,
        "Ada apa denganmu sahabatku?" tanyaku pelan,
        "Aku harus pergi.",
        "Pergi ?",
        "Ya.. aku harus pergi.",
        "Lalu kau tega meninggalkanku?",
        "Ya aku tega. Aku akan mati beberapa jam, dan aku akan bermimpi dibalik gelapnya cahaya pada saat itu, namun aku tetap ada dengan,mu hanya saja aku akan mengabstrak.".
        "Aku tak mengerti maksudmu apa ?",
        "Kau akan tahu nanti"
        "Nanti ?",
        "Ya nanti.",
        "Kapan?",
        "Sampai kau benar-benar tahu."
        "Aku tak mengerti !",
        "Ya, kau tak akan mengerti."
        "Maksudmu?",
        "Kau tetap takkan mengerti, jadi simpanlah pertanyaan itu. Kini aku harus pergi. Aku hanya seusia matahari. Kau masih punya sahabat lain diluar. Mungkin ibumu, ayahmu atau pembantumu. Esok aku akan kmbali, aku hanya ingin tidur sementara saja, aku ingin bermimpi. Dan tak ada kami bersamaku."
          "tapi......"
Belum sempat ia menjawab pertanyaanku dan kucermati ia semakin mengecil, sangat kecil dan hilang tiada berbekas...


Palembang, 17 Maret 2011
Pukul : 12 : 37 : 34
(Alvian Kurniawan)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Ulasan Artikel Jurnal Penelitian

Contoh Proposal Kegiatan Bulan Bahasa di Sekolah

Novelet "“NOVELETE KETIKA AKU HARUS …” Oleh: Alvian Kurniawan