Cerpen Bangkitnya Malin Kundang oleh Alvian Kurniawan, M.Pd.
Cerpen "Bangkitnya Malin Kundang"
PADA SATU KESEMPATAN
( Bangkitnya Malin Kundang)
Dan kisah itu tak jua berakhir hingga ke batu, Tuhan mempunyai sknario lain di balik itu. Di atas kelam langit, menyambarlah petir yang menggelegar melalui tujuh arah yang berbeda. Mendesirlah ombak dan seraya mengguncang isi laut, ikan-ikan kecil terpental keluar dan tak ada satu pun yang mampu mempertahankan dalam perut laut tersebut. Niscaya langit seakan memancarkan bias mati dan kemudian hidup. Dan mulailah ia menangis dengan derunya membahasahi Padang yang semakin sepi dibunuh oleh larutnya malam saat itu. Dipelosok sana, nampak tumbanglah pohon kelapa besar yang telah kalah oleh kuatnya setelah beradu dengan angin yang riuh dan menambah suasana mati pada saat itu.
Tersibaklah batu Malin Kundang yang terus terbungkuk ditepian pesisir pantai itu. Menghunuslah ia sebagai petanda telah matilah cerita kedurhakaan pada saat itu. Dan sekali lagi Tuhan punya sknario lain, Sekilas berbiaslah batu itu dengan warna api yang membara. Tiupan angin dan hujan yang begitu lebat tak padamkan bias api itu. Seraya tertulis kisah yang baru. Terdengarlah tangisan pedih dari batu yang menyerupai orang tersebut. Sepertinya Munkar dan Nakir sedang berbicara keras pada nadi yang telah mengeras itu. Lantas sekejap jua petir kembali menggelegar dan berkumpul diatas kepala batu itu. Dan petir itu tiadalah menyambar si hitam itu, namun hanya memantul dan mengiringi sesuatu yang akan kembali bangkit. Ya.. akan ada kebangkitan di ujung waktu , dan sekali lagi salah bila itu adalah akhir dari segalanya. Dan Tuhan tak mengakhiri cerita hanya dengan sebuah batu, dan sekali lagi ini adalah sknario Tuhan yang baru.
Pesisir pantai kembali diam seketika, dan angin pun beranjak sirna. Perlahan Pecahlah batu itu dan mulailah tubuh itu kembali mengulit, kepala itu kembali mengikal dan nadi itu kembali berdetak. Nan malam, Padang kembali melahirkan ulang sesosok manusia yang telah terbunuh pada masa lampau oleh kesombongan yang dipujanya. Tubuh itu nampak berbeda, meski kembali ia bergerak namun sekali lagi Malin bangkit dengan pembaharuan fisik yang lain. Badan itu kurus, warna sawo kemerah-merahan melekat pada warna kulit itu, mata yang tampak lebar dan melotot. Bulu lebat yang berkumpul pada dada yang tak terikat oleh sehelai kain apapun. Ia bangkit dengan telanjang dan tertatih dengan begitu letihnya bak musafir yang sangat lelah setelah menempuh suatu perjalanan panjang. Ia berjalan dengan tanpa satu bahasa pun yang terucap. Hinggaplah ia mendekati pada sebuah kapal yang menetap dipinggir pantai. Satu per satu langkah kecil itu mulai memasuki kapal yang tak bergerak, lalu ia kembali berjalan menapaki ruang-ruang gelap pada kapal yang sedikitnya berbau amis. Ia terus melangkah, diteguknya liur yang mengumpul dimulut diamnya itu sebagai ganti lapar dahaga setelah ia arungi perjalanan di alam yang begitu beda. Lalu sejenak, kaki itu menuntun pada sebuah pintu yang tak terpandang. Ia sentuh pintu itu dan dengan tenaga yang tinggal sedikit ia dorong dan membuka pintu itu. Lantas setelah pintu terbuka terikatlah tali kakinya dan tertarik ke atas dengan untaian kaki di atas dan kepala di bawah. Setelahnya lampu ruangan itu kembali menyala.
“Akhirnya tertangkap juga kau pengintai.”, ucap salah seorang pria yang berkumis tebal dengan mempergunakan baju berwarna merah.
“Oh, muka jelek seperti orang gila ini yang selama ini kita cari.”, sahut pria yang berjenggot lebat itu seraya meluncurkan pukulan ke muka Malin Kundang yang sepertinya tak bereaksi.
“Berhenti… Jangan lakukan itu teman, jangan pakai kekerasan. Lihatlah ia, tubuhnya kurus kering, dan matanya pun mengantup. Sepertinya ia dalam keadaan tak sadarkan diri di atas sana. Jadi untuk apa kau lelahi tenagamu itu untuk lukai pengintai yang sepertinya lemah itu. Sudahlah tak usah kau barakan emosimu itu. Biarkan saja ia kita jadikan budak dipelayaran ini. Kita bawa ia berlayar ke Palembang, dan nanti kita serahkan ia di pesisir sungai Musi dengan majikan kita. Biarlah majikan kita yang akan mengurus binatang jalang ini.”, Demikianlah ucapan pria berkumis tebal menasehati temannya si jenggot tebal itu.
Keesokan harinya, Kota itu kembali tenang. Matahari terbit dengan sinarnya yang menerik. Pasar kembali menemukan penjual dan pembeli dengan transaksinya yang semakin riuh, Aktivitas kota itu pun kembali ramai. Kapal pesiar pun sudah mulai hilir mudik melakukan pelayaran. Di ruang itu Malin kundang masih dalam keadaan diam terikat di atas ruang yang berukuran 3 x 5 m itu. Perjalanan menuju kota Ampera segera dimulai. Dan inilah awal cerita bangkitnya malin kundang berlangsung di Kota Palembang.
Kapal pesiar itu menepi di pinggiran sungai Musi, seperti biasa menghadanglah beberapa orang yang berjejer dipinggiran itu. Ampera semakin elok terlihat. Dan terlihatlah Benteng Kuto Besak menyambut Malin Kundang di kota ini.
“Lepaskan saya !”, kata Malin kundang.
Mereka tertawa terbahak-bahak menertawakan Malin Kundang yang telah dianggap sebagai pengintai. Terseretlah tubuh itu beberapa meter jauhnya meninggalkan satu per satu jarak antara musi dengan jarak tujuan selanjutnya. Terlihatlah di depan mata itu, sebuah rumah panggung besar dengan ukiran kayu jati dan bercatkan keemasan. Menapaklah kaki Malin Kundang pada perundakan satu per satu anak tangga itu. Serentak, bersapalah wajah itu dengan wajah seorang lelaki tua dengan baju putih dan menjajarkan jejariannya pada butiran kalung tasbih.
“Assalamualaikum kiai,” salam ke dua pesiar itu kepada lelaki tua itu,
“Waalaikumsalam, oh Husin dan Husni,” jawab lelaki itu sembari menatapi lelaki asing yang dibawa kedua anak buahnya itu dengan keadaan terikat.
“Siapakah lelaki yang kau gulungkan beberapa temali ditangannya itu.?”, tanya lelaki itu.
Husin menjawab, “Ialah si pengintai yang telah meresahkan pelayaran kami kiai.”
“Bohong.”, bela Malin Kundang.
“Diam kau atau ingin pisau di perut kami menyayat lidah hinamu itu.”, gertak Husin.
“Sudah, siapa pun ia biarlah aku yang akan berucap dengan empat mata, dan InsyaAllah Tuhan akan diantara kami.”, lerai lelaki tua itu.
“Tapi kiai”
“InsyaAllah tidak ada apa-apa denganku. Allah bersama hambanya yang taat. Pergilah ke istri kalian yang telah menunggu kalian dengan doanya setiap malam dalam peraduannya bersama Allah”, tekas lelaki tua itu.
Serentak Husin dan Husni pun meninggalkan rumah itu dan memasrahkan Malin kundang kepada lelaki yang mereka yakini mempunyai kebijakan yang tinggi.
“Kau pasti menjerit kesakitan selama temali ini mengikat tanganmu, dan seharusnya temali ini memang bukan untukmu.”, sapa lelaki tua itu pada Malin Kundang seraya melepaskan penjara tangannya itu.
“Terima kasih, pak. Anda sangat baik.”, ucap Malin. Lelaki tua itu hanya tersenyum saja menjawab perkataan Malin kepadanya.
“Kau pasti lapar, antara Padang dan Palembang tiadalah dekat. Allah telah titipkan kau kepadaku meski hanya beberapa menit.”
“Beberapa menit ?”, Tanya Malin penasaran.
“Sudahlah kau ikut saya ke belakang.”;
“Tapi, pak.”
“Tidak baik menolak rezeki, berusahalah membuka hatimu untuk percaya kepadaku. Ku ketahui bahwa dari dalam hatimu jauh kau belum percaya padaku. Aku kawanmu bukan lawan. Kau cucu Adam dan aku pun juga. Marilah izinkan saya untuk berbuat amal kepadamu anak muda. “ Ucap lelaki tua itu pada Malin Kundang.
Kata-kata itu seperti mutiara dihati Malin Kundang, ia teringat dengan masa lalunya yang pernah menghina ibunya dengan kesombongan yang ia miliki karena buta akan harta. Namun, lelaki tua ini seakan menyindir kesombongannya di masa lalu dengan sikapnya yang baik itu. Sesaat, masuklah ia pada ruang yang teramat bersih dan rapi. Ditengah ruangan nampak meja berbentuk persegi panjang dengan taplak kain putih polos yang dirampel, di beberapa sudut ruangan tertempel kaligrafi indah, dan disamping jendela bertirai hijau lumut itu terpasang tulisan Allah dan Muhammad. Di sudut paling kiri, rumah itu terhias dengan lemari bercatkan kuning emas nan nampaklah beberapa kain merah berajutkan beberapa corak kuning dari benang emas.
“Ya itu adalah songket, aku sering melihat songket Palembang sewaktu di Padang. Namun songket itu sedikitnya lebih bagus di banding songket yang kulihat di sana. Mungkin itu adalah songket asli yang dijahit dengan bahan alam yang sebenarnya.”, Lirihnya dalam hati.
“Tinggalkan pandanganmu ke songket itu anak muda, lantas lekaslah kau duduk di kursi ini, Allah telah menitipkan rizki ini untukmu. Syukuri dan santaplah hidangan ini.”, sapa lelaki tua itu membuyarkan lamunnya.
Malin segera duduk di sebuah kursi yang telah disiapkan. Matanya kaget melihat hidangan yang melimpah ruas di atas meja penjamuan itu.
“Ini apa pak?”, tanyanya penasaran.
“Oh.. yang putih panjang ini adalah pempek lenjer, jika kau ingin memakannya celupkan saja pempek itu pada air coklat kehitaman ini. Di ujung sana, kau bisa mencium bau durian. Itu yang dinamakan tempoyak. Namun ku sarankan, jangan langsung makan itu. Perutmu masih kosong maka lekaslah makan nasi terlebih dahulu dan ambilah pindang-pindang ikan itu untuk menemani nasimu.”, ucapnya ramah.
Lantas makanlah Malin Kundang dengan masakan yang telah disuguhkan oleh lelaki tua itu. Malin mulai berani berbincang dengan orang tua tersebut, mulailah ia bercerita tentang bagaimana ia ditangkap anak buah lelaki itu hingga kehidupan kota Padang pada tempo dulu. Mereka mulai akrab dan sesaat Malin pun berkata,
“Oh ya, saya belum memperkenalkan nama saya, pak. Nama saya ……”
“Malin Kundang.”, ucap lelaki itu.
Malin nampak kebingungan, bagaimana bisa seseorang yang tua seperti lelaki itu bisa mengetahui namanya. Padahal hari itu adalah hari pertama bertemunya dirinya pada lelaki itu. Malin nampak pucat, raut wajahnya yang mulai segar kembali mempasi setelah mendengar ucapan itu.
“Darimana bapak tahu nama saya?”
Bapak itu tiadalah menjawab, ia hanya tersenyum sekilas lalu mengambil sepotong pempek dan dicelupkannya ke dalam air cuka itu.
“Lekas kau habiskan makanan ini.”
“Bagaimana saya bisa tenang makan, pak. Sedangkan di otak saya penuh dengan tanda tanya besar mengenai bapak. Siapa bapak? Darimana bapak tahu akan namaku?”.
“Lekas makan makanan itu!”, jawab lelaki itu.
Emosi Malin memuncak, ia merasa telah dipermainkan oleh lelaki tua itu. Ditariknya taplak meja itu dan niscaya makanan-makanan itu tumpah ruah di lantai yang terdiri atas karpet merah tebal. Segeralah Malin mencekam kerah baju lelaki itu dan lantas membuka mata garangnya selebar mungkin. Wajah sawo matengnya merona menjadi merah padam.
“Saya meyakini suratan takdir. Jikalau kematian harus menjemputku melalui tanganmu itu. Maka, aku siap. Dan Maha Melihatlah Allah dengan apa yang telah diperbuat umat-Nya. Dan akankah kau mau menjalani siksaan itu untuk ke dua kalinya wahai pemuda Padang ?”
Pertanyaan itu meredakan kemarahan Malin Kundang. Dilepaskanlah cengkaman itu, maka lemaslah otot-otot tegang Malin. Lantas ia terduduk lunglai dengan kepala menunduk. Ia teringat masa lalunya,
“Kau hanya wanita pengemis yang sudah tua. Tidaklah mungkin aku terlahir dari rahim wanita seperti kau. Lekas pergi !!!”
Kalimat itu seakan kembali berputar diniangan memori otak Malin, Sepintas ia kembali teringat pada fase dimana ia berubah menuju batu, dan ia teringat ketika itu ia harus terpanggang matahari yang teramat teriknya. Merasai kencingan langit. Tertempel dedebuan, serangga yang menggerayang tubuh kerasnya dan hentakan air pantai yang menerjang tubuhnya ketika ia pasang.
“Arrrrrrrrrrrrrrrrrrrrgggggghhhhhhh…… Aku tak mau menistai diriku lagi.”, teriakan itu menggelegar diruangan yang kini berhamburan dengan makanan di semua sudut lantai itu. Air matanya kembali mengucur secara deras.
“Lekas bangun anakku. Tak baik kau terus begini. Kau dan aku masihlah baru, biarlah detak almanak itu yang akan menguak siapakah aku dan kau.”, lelaki itu membelai lembut rambut ikal itu. Dan dipeluklah tubuh Malin Kundang seraya memberikan sentuhan selimut untuk melindungi tubuhnya yang baru lahir kembali itu. “ “Sekarang tenangkan dirimu. Berbaringlah di atas ranjang itu. Ranjang itu telah merindui kau. Ia telah menunggu kau berbaring diatasnya. Lekas temui ranjang itu. Tidurlah anakku, tidurlah kau di sana.”
Malin mengikuti nasihat lelaki tua itu, ia merasa yakin bahwa lelaki itu adalah malaikat baik yang diutus Tuhan untuk membenahi dirinya. Ia benamkan harinya diperaduan tidur. Ia nampak lelap bahkan mungkin itulah tidur keduanya setelah sekian lama ia membatu di pesisir pantai kota Padang. Dalam lelap tidurnya, sukma Malin berjalan dikegelapan alam. Ia terus berjalan dengan berhati-hati dan bertemulah ia pada sebuah lilin yang menyala. Lalu, menghentaklah kaki seribu Malin mengejar lilin yang hanya satu itu. Hingga dekatlah ia pada lilin tersebut. Lantas diambilah lilin itu.
“Jangan kau pegang aku, wahai pemuda durhaka. Kau hanyalah sosok yang hina. Kau tak pantas mendapati terangnya tubuhku ini. Aku akan segera memadamkan diriku. Kau hina, aku tak mau menerangi jalanmu.” Sekilas lilin itu pun padam.
Berjalanlah kembali Malin diruang yang hampa tanpa sudut terang apa pun. Tampak kejauhan terciumlah bunga wangi yang menusuk hidung Malin. Ia fungsikan hidungnya untuk mencari sumber wangi itu, selangkah demi selangkah bau itu semakin mendekat dengannya. Lantas tersentuhlah tangan itu akan suatu benda yang berbau wangi itu.
“Lepassssssssss, jangan kau pegang tubuh wangiku ini. Tanganmu itu akan meredupkan wangiku. Singkirkan jauh-jauh tangan itu. Aku tak mau kau sentuh.” Segeralah menghilanglah bau itu dan tak tercium lagi harum itu.
Malin terus melangkah dikegelapan. Tak tentu arah dimana kakinya kan membawa. Ia hanya meyakini apa yang ia langkahkan. Ia merasa sendiri, harta, pengawal, istri cantiknya di maa lalu tiadalah berbekas pada ruang itu. Langkah kaki itu menemukannya pada sebuah pintu, dan ia rengkuh daun pintu itu. Dan ia buka secara perlahan pintu tersebut. Keajaiban pun terbuka. Titik terang menyilaui pandangan. Nampak sebuah nisan tertanam di bawah sebuah pohon besar. Fikirnya penuh Tanya. Siapakah gerangan yang memunyai nisan itu ? dengan langkah ragu-ragu menapaklah injakakn kaki Malin mendekati nisan tersebut, Ia dekati nisan berlumut itu Ia sentuh dan ia rasai kasarnya dinding itu.
“Kau telah kembali anakku. Berilah perubahan untuk tebus dosamu dimasa itu.”
Suara itu mengagetkan lamunan Malin. Ia nampak kenal suara itu, dan bahkan sangat kenal. Ya itu suara ibu.
“Ibu, kaulah itu ?”, tanyanya penasaran dengan penuh harapan.
Suara itu tak lagi terdengar, pertanyaan Malin pun tak lagi terjawab. Ia bangkit dan memanggil-manggil ibunya.
“Ibu… ibu…”
Sejenak ada suara lain yang hadir didekatnya.
“Bangun anakku.. bangun.. kau bermimpi.” Lantas terbangunlah Malin dari tidur pulasnya. “Aku bermimpi, pak.”
“Ya, kau bermimpi.”
“Apakah maksud dari mimpiku itu ?”, Tanya Malin.
“Itu amanat.”
“Amanat?”
“Ya amanat, anakku!, kau harus bangun dari mimpi itu, tinggalkan selimut usang masa lalumu. Dan pandanglah hidup barumu. Itulah yang mungkin bisa kau lakukan tuk tebus salahmu pada masa lampau. Tuhan telah pertemukan kau padaku, sesungguhnya aku telah mengetahui akan masa ini. Masa inilah yang kutunggu selama hidupku. Sebenarnya, aku adalah salah seorang penyisip dikapalmu pada masa lampau. Aku ingin mencuri sebagian harta bendamu di dalam kapal tersebut. Ketika kapal itu berlabuh dan menyandar dipesisir pantai Kota Padang. Aku pun turut menyelinap keluar. Ku sadari saat itu aku sebagai seorang penyusut, maka tak elak aku keluar dengan hati-hati. Ketika aku berjalan disekitaran kapal itu, aku menyaksikan peristiwa di saat kau mengusir ibumu. Aku pun juga melihat saat petir itu menyambar tubuhmu hingga kau berubah menjadi batu. Saat itulah, tubuhku bergetar. Ketakutan akan karma melanda otak fikirku saat itu. Aku lihat begitu pedih siksa Allah kepada hambanya yang nista. Aku pun berlari kencang setelah prahara itu usai. Namun yang ku sesalkan, aku tak meletakkan harta yang kucuri dari kapalmu itu. Ku tinggalkan jejakku dari Kota Padang ke Kota Palembang dan di sinilah aku hidup, dan dengan hartamulah aku dapat membangun kehidupan seperti ini. Namun, kekayaan tidak membuatku tenang. Sekali lagi aku menakuti karma. Untuk itu, hamper setiap malam ku berdoa kepada Allah agar kiranya aku dapat mengembalikan seluruh harta benda ini pada sipmunyanya. Dan aku pun berdoa agar kiranya kau terbebas dari kutukan yang luar biasa itu. Bertahun-tahun lamanya ku tunggui kau dating di sini, ku doakan kau hingga kujalani rutinitas puasa Senin Kamis setiap Minggu. Dan Allah Maha mendengar. Hari ini, Ia pertemukan aku kepadamu. Dan inilah saatnya ku kembalikan harta yang bukan hakku. Pergunakan harta ini nak dengan sebaik-baiknya. Lakukanlah dakwah dari harta ini. Bangunlah Mushola, tegakkan Sholat, perbanyaklah beribadah, Niscahya Allah akan ampuni dosamu itu. Massaku telah usai. Aku selalu berdoa kepada Allah untuk matikan aku setelah harta ini kembali kepada pemiliknya. Dan sebagai permohonan maafku, perkenankan aku memelukmu sebagai saudaraku, satu cucu Adam dan Hawa.”
Sejenak berpeluklah kedua cucu Adam itu, sambil menangis dan menyesali kesalahan dimasa lampau. Menderulah hujan dibalik jendela itu, petir menyambar dengan kerasnya, peraduan semakin sepi tatkala malaikat pencabut nyawa itu tiba di hantar oleh catatan Allah SWT., Tak ayal tubuh tua itu lemah dan roboh dipelukan Malin Kundang. Izroil telah menjemputnya. Ia rasai kepergian yang begitu ikhlas ditunggunya. Lelaki tua itu mati di hari yang ditunggu. Disaat semua doanya telah terkabulkan. Naudzubillah, Kuasa Allah sangatlah besar. Dipeluklah erat tubuh tua itu, sembari bercucurlah air mata yang mngiringi sahabat terbaiknya pada hari itu. Lelaki tua itu pergi seketika dengan menyerahkan hak yang pernah ia rampas. Dan Malin pun kembali hidup dengan penebusan dosanya pada saat-saat lampau.
( Bangkitnya Malin Kundang)
Dan kisah itu tak jua berakhir hingga ke batu, Tuhan mempunyai sknario lain di balik itu. Di atas kelam langit, menyambarlah petir yang menggelegar melalui tujuh arah yang berbeda. Mendesirlah ombak dan seraya mengguncang isi laut, ikan-ikan kecil terpental keluar dan tak ada satu pun yang mampu mempertahankan dalam perut laut tersebut. Niscaya langit seakan memancarkan bias mati dan kemudian hidup. Dan mulailah ia menangis dengan derunya membahasahi Padang yang semakin sepi dibunuh oleh larutnya malam saat itu. Dipelosok sana, nampak tumbanglah pohon kelapa besar yang telah kalah oleh kuatnya setelah beradu dengan angin yang riuh dan menambah suasana mati pada saat itu.
Tersibaklah batu Malin Kundang yang terus terbungkuk ditepian pesisir pantai itu. Menghunuslah ia sebagai petanda telah matilah cerita kedurhakaan pada saat itu. Dan sekali lagi Tuhan punya sknario lain, Sekilas berbiaslah batu itu dengan warna api yang membara. Tiupan angin dan hujan yang begitu lebat tak padamkan bias api itu. Seraya tertulis kisah yang baru. Terdengarlah tangisan pedih dari batu yang menyerupai orang tersebut. Sepertinya Munkar dan Nakir sedang berbicara keras pada nadi yang telah mengeras itu. Lantas sekejap jua petir kembali menggelegar dan berkumpul diatas kepala batu itu. Dan petir itu tiadalah menyambar si hitam itu, namun hanya memantul dan mengiringi sesuatu yang akan kembali bangkit. Ya.. akan ada kebangkitan di ujung waktu , dan sekali lagi salah bila itu adalah akhir dari segalanya. Dan Tuhan tak mengakhiri cerita hanya dengan sebuah batu, dan sekali lagi ini adalah sknario Tuhan yang baru.
Pesisir pantai kembali diam seketika, dan angin pun beranjak sirna. Perlahan Pecahlah batu itu dan mulailah tubuh itu kembali mengulit, kepala itu kembali mengikal dan nadi itu kembali berdetak. Nan malam, Padang kembali melahirkan ulang sesosok manusia yang telah terbunuh pada masa lampau oleh kesombongan yang dipujanya. Tubuh itu nampak berbeda, meski kembali ia bergerak namun sekali lagi Malin bangkit dengan pembaharuan fisik yang lain. Badan itu kurus, warna sawo kemerah-merahan melekat pada warna kulit itu, mata yang tampak lebar dan melotot. Bulu lebat yang berkumpul pada dada yang tak terikat oleh sehelai kain apapun. Ia bangkit dengan telanjang dan tertatih dengan begitu letihnya bak musafir yang sangat lelah setelah menempuh suatu perjalanan panjang. Ia berjalan dengan tanpa satu bahasa pun yang terucap. Hinggaplah ia mendekati pada sebuah kapal yang menetap dipinggir pantai. Satu per satu langkah kecil itu mulai memasuki kapal yang tak bergerak, lalu ia kembali berjalan menapaki ruang-ruang gelap pada kapal yang sedikitnya berbau amis. Ia terus melangkah, diteguknya liur yang mengumpul dimulut diamnya itu sebagai ganti lapar dahaga setelah ia arungi perjalanan di alam yang begitu beda. Lalu sejenak, kaki itu menuntun pada sebuah pintu yang tak terpandang. Ia sentuh pintu itu dan dengan tenaga yang tinggal sedikit ia dorong dan membuka pintu itu. Lantas setelah pintu terbuka terikatlah tali kakinya dan tertarik ke atas dengan untaian kaki di atas dan kepala di bawah. Setelahnya lampu ruangan itu kembali menyala.
“Akhirnya tertangkap juga kau pengintai.”, ucap salah seorang pria yang berkumis tebal dengan mempergunakan baju berwarna merah.
“Oh, muka jelek seperti orang gila ini yang selama ini kita cari.”, sahut pria yang berjenggot lebat itu seraya meluncurkan pukulan ke muka Malin Kundang yang sepertinya tak bereaksi.
“Berhenti… Jangan lakukan itu teman, jangan pakai kekerasan. Lihatlah ia, tubuhnya kurus kering, dan matanya pun mengantup. Sepertinya ia dalam keadaan tak sadarkan diri di atas sana. Jadi untuk apa kau lelahi tenagamu itu untuk lukai pengintai yang sepertinya lemah itu. Sudahlah tak usah kau barakan emosimu itu. Biarkan saja ia kita jadikan budak dipelayaran ini. Kita bawa ia berlayar ke Palembang, dan nanti kita serahkan ia di pesisir sungai Musi dengan majikan kita. Biarlah majikan kita yang akan mengurus binatang jalang ini.”, Demikianlah ucapan pria berkumis tebal menasehati temannya si jenggot tebal itu.
Keesokan harinya, Kota itu kembali tenang. Matahari terbit dengan sinarnya yang menerik. Pasar kembali menemukan penjual dan pembeli dengan transaksinya yang semakin riuh, Aktivitas kota itu pun kembali ramai. Kapal pesiar pun sudah mulai hilir mudik melakukan pelayaran. Di ruang itu Malin kundang masih dalam keadaan diam terikat di atas ruang yang berukuran 3 x 5 m itu. Perjalanan menuju kota Ampera segera dimulai. Dan inilah awal cerita bangkitnya malin kundang berlangsung di Kota Palembang.
Kapal pesiar itu menepi di pinggiran sungai Musi, seperti biasa menghadanglah beberapa orang yang berjejer dipinggiran itu. Ampera semakin elok terlihat. Dan terlihatlah Benteng Kuto Besak menyambut Malin Kundang di kota ini.
“Lepaskan saya !”, kata Malin kundang.
Mereka tertawa terbahak-bahak menertawakan Malin Kundang yang telah dianggap sebagai pengintai. Terseretlah tubuh itu beberapa meter jauhnya meninggalkan satu per satu jarak antara musi dengan jarak tujuan selanjutnya. Terlihatlah di depan mata itu, sebuah rumah panggung besar dengan ukiran kayu jati dan bercatkan keemasan. Menapaklah kaki Malin Kundang pada perundakan satu per satu anak tangga itu. Serentak, bersapalah wajah itu dengan wajah seorang lelaki tua dengan baju putih dan menjajarkan jejariannya pada butiran kalung tasbih.
“Assalamualaikum kiai,” salam ke dua pesiar itu kepada lelaki tua itu,
“Waalaikumsalam, oh Husin dan Husni,” jawab lelaki itu sembari menatapi lelaki asing yang dibawa kedua anak buahnya itu dengan keadaan terikat.
“Siapakah lelaki yang kau gulungkan beberapa temali ditangannya itu.?”, tanya lelaki itu.
Husin menjawab, “Ialah si pengintai yang telah meresahkan pelayaran kami kiai.”
“Bohong.”, bela Malin Kundang.
“Diam kau atau ingin pisau di perut kami menyayat lidah hinamu itu.”, gertak Husin.
“Sudah, siapa pun ia biarlah aku yang akan berucap dengan empat mata, dan InsyaAllah Tuhan akan diantara kami.”, lerai lelaki tua itu.
“Tapi kiai”
“InsyaAllah tidak ada apa-apa denganku. Allah bersama hambanya yang taat. Pergilah ke istri kalian yang telah menunggu kalian dengan doanya setiap malam dalam peraduannya bersama Allah”, tekas lelaki tua itu.
Serentak Husin dan Husni pun meninggalkan rumah itu dan memasrahkan Malin kundang kepada lelaki yang mereka yakini mempunyai kebijakan yang tinggi.
“Kau pasti menjerit kesakitan selama temali ini mengikat tanganmu, dan seharusnya temali ini memang bukan untukmu.”, sapa lelaki tua itu pada Malin Kundang seraya melepaskan penjara tangannya itu.
“Terima kasih, pak. Anda sangat baik.”, ucap Malin. Lelaki tua itu hanya tersenyum saja menjawab perkataan Malin kepadanya.
“Kau pasti lapar, antara Padang dan Palembang tiadalah dekat. Allah telah titipkan kau kepadaku meski hanya beberapa menit.”
“Beberapa menit ?”, Tanya Malin penasaran.
“Sudahlah kau ikut saya ke belakang.”;
“Tapi, pak.”
“Tidak baik menolak rezeki, berusahalah membuka hatimu untuk percaya kepadaku. Ku ketahui bahwa dari dalam hatimu jauh kau belum percaya padaku. Aku kawanmu bukan lawan. Kau cucu Adam dan aku pun juga. Marilah izinkan saya untuk berbuat amal kepadamu anak muda. “ Ucap lelaki tua itu pada Malin Kundang.
Kata-kata itu seperti mutiara dihati Malin Kundang, ia teringat dengan masa lalunya yang pernah menghina ibunya dengan kesombongan yang ia miliki karena buta akan harta. Namun, lelaki tua ini seakan menyindir kesombongannya di masa lalu dengan sikapnya yang baik itu. Sesaat, masuklah ia pada ruang yang teramat bersih dan rapi. Ditengah ruangan nampak meja berbentuk persegi panjang dengan taplak kain putih polos yang dirampel, di beberapa sudut ruangan tertempel kaligrafi indah, dan disamping jendela bertirai hijau lumut itu terpasang tulisan Allah dan Muhammad. Di sudut paling kiri, rumah itu terhias dengan lemari bercatkan kuning emas nan nampaklah beberapa kain merah berajutkan beberapa corak kuning dari benang emas.
“Ya itu adalah songket, aku sering melihat songket Palembang sewaktu di Padang. Namun songket itu sedikitnya lebih bagus di banding songket yang kulihat di sana. Mungkin itu adalah songket asli yang dijahit dengan bahan alam yang sebenarnya.”, Lirihnya dalam hati.
“Tinggalkan pandanganmu ke songket itu anak muda, lantas lekaslah kau duduk di kursi ini, Allah telah menitipkan rizki ini untukmu. Syukuri dan santaplah hidangan ini.”, sapa lelaki tua itu membuyarkan lamunnya.
Malin segera duduk di sebuah kursi yang telah disiapkan. Matanya kaget melihat hidangan yang melimpah ruas di atas meja penjamuan itu.
“Ini apa pak?”, tanyanya penasaran.
“Oh.. yang putih panjang ini adalah pempek lenjer, jika kau ingin memakannya celupkan saja pempek itu pada air coklat kehitaman ini. Di ujung sana, kau bisa mencium bau durian. Itu yang dinamakan tempoyak. Namun ku sarankan, jangan langsung makan itu. Perutmu masih kosong maka lekaslah makan nasi terlebih dahulu dan ambilah pindang-pindang ikan itu untuk menemani nasimu.”, ucapnya ramah.
Lantas makanlah Malin Kundang dengan masakan yang telah disuguhkan oleh lelaki tua itu. Malin mulai berani berbincang dengan orang tua tersebut, mulailah ia bercerita tentang bagaimana ia ditangkap anak buah lelaki itu hingga kehidupan kota Padang pada tempo dulu. Mereka mulai akrab dan sesaat Malin pun berkata,
“Oh ya, saya belum memperkenalkan nama saya, pak. Nama saya ……”
“Malin Kundang.”, ucap lelaki itu.
Malin nampak kebingungan, bagaimana bisa seseorang yang tua seperti lelaki itu bisa mengetahui namanya. Padahal hari itu adalah hari pertama bertemunya dirinya pada lelaki itu. Malin nampak pucat, raut wajahnya yang mulai segar kembali mempasi setelah mendengar ucapan itu.
“Darimana bapak tahu nama saya?”
Bapak itu tiadalah menjawab, ia hanya tersenyum sekilas lalu mengambil sepotong pempek dan dicelupkannya ke dalam air cuka itu.
“Lekas kau habiskan makanan ini.”
“Bagaimana saya bisa tenang makan, pak. Sedangkan di otak saya penuh dengan tanda tanya besar mengenai bapak. Siapa bapak? Darimana bapak tahu akan namaku?”.
“Lekas makan makanan itu!”, jawab lelaki itu.
Emosi Malin memuncak, ia merasa telah dipermainkan oleh lelaki tua itu. Ditariknya taplak meja itu dan niscaya makanan-makanan itu tumpah ruah di lantai yang terdiri atas karpet merah tebal. Segeralah Malin mencekam kerah baju lelaki itu dan lantas membuka mata garangnya selebar mungkin. Wajah sawo matengnya merona menjadi merah padam.
“Saya meyakini suratan takdir. Jikalau kematian harus menjemputku melalui tanganmu itu. Maka, aku siap. Dan Maha Melihatlah Allah dengan apa yang telah diperbuat umat-Nya. Dan akankah kau mau menjalani siksaan itu untuk ke dua kalinya wahai pemuda Padang ?”
Pertanyaan itu meredakan kemarahan Malin Kundang. Dilepaskanlah cengkaman itu, maka lemaslah otot-otot tegang Malin. Lantas ia terduduk lunglai dengan kepala menunduk. Ia teringat masa lalunya,
“Kau hanya wanita pengemis yang sudah tua. Tidaklah mungkin aku terlahir dari rahim wanita seperti kau. Lekas pergi !!!”
Kalimat itu seakan kembali berputar diniangan memori otak Malin, Sepintas ia kembali teringat pada fase dimana ia berubah menuju batu, dan ia teringat ketika itu ia harus terpanggang matahari yang teramat teriknya. Merasai kencingan langit. Tertempel dedebuan, serangga yang menggerayang tubuh kerasnya dan hentakan air pantai yang menerjang tubuhnya ketika ia pasang.
“Arrrrrrrrrrrrrrrrrrrrgggggghhhhhhh…… Aku tak mau menistai diriku lagi.”, teriakan itu menggelegar diruangan yang kini berhamburan dengan makanan di semua sudut lantai itu. Air matanya kembali mengucur secara deras.
“Lekas bangun anakku. Tak baik kau terus begini. Kau dan aku masihlah baru, biarlah detak almanak itu yang akan menguak siapakah aku dan kau.”, lelaki itu membelai lembut rambut ikal itu. Dan dipeluklah tubuh Malin Kundang seraya memberikan sentuhan selimut untuk melindungi tubuhnya yang baru lahir kembali itu. “ “Sekarang tenangkan dirimu. Berbaringlah di atas ranjang itu. Ranjang itu telah merindui kau. Ia telah menunggu kau berbaring diatasnya. Lekas temui ranjang itu. Tidurlah anakku, tidurlah kau di sana.”
Malin mengikuti nasihat lelaki tua itu, ia merasa yakin bahwa lelaki itu adalah malaikat baik yang diutus Tuhan untuk membenahi dirinya. Ia benamkan harinya diperaduan tidur. Ia nampak lelap bahkan mungkin itulah tidur keduanya setelah sekian lama ia membatu di pesisir pantai kota Padang. Dalam lelap tidurnya, sukma Malin berjalan dikegelapan alam. Ia terus berjalan dengan berhati-hati dan bertemulah ia pada sebuah lilin yang menyala. Lalu, menghentaklah kaki seribu Malin mengejar lilin yang hanya satu itu. Hingga dekatlah ia pada lilin tersebut. Lantas diambilah lilin itu.
“Jangan kau pegang aku, wahai pemuda durhaka. Kau hanyalah sosok yang hina. Kau tak pantas mendapati terangnya tubuhku ini. Aku akan segera memadamkan diriku. Kau hina, aku tak mau menerangi jalanmu.” Sekilas lilin itu pun padam.
Berjalanlah kembali Malin diruang yang hampa tanpa sudut terang apa pun. Tampak kejauhan terciumlah bunga wangi yang menusuk hidung Malin. Ia fungsikan hidungnya untuk mencari sumber wangi itu, selangkah demi selangkah bau itu semakin mendekat dengannya. Lantas tersentuhlah tangan itu akan suatu benda yang berbau wangi itu.
“Lepassssssssss, jangan kau pegang tubuh wangiku ini. Tanganmu itu akan meredupkan wangiku. Singkirkan jauh-jauh tangan itu. Aku tak mau kau sentuh.” Segeralah menghilanglah bau itu dan tak tercium lagi harum itu.
Malin terus melangkah dikegelapan. Tak tentu arah dimana kakinya kan membawa. Ia hanya meyakini apa yang ia langkahkan. Ia merasa sendiri, harta, pengawal, istri cantiknya di maa lalu tiadalah berbekas pada ruang itu. Langkah kaki itu menemukannya pada sebuah pintu, dan ia rengkuh daun pintu itu. Dan ia buka secara perlahan pintu tersebut. Keajaiban pun terbuka. Titik terang menyilaui pandangan. Nampak sebuah nisan tertanam di bawah sebuah pohon besar. Fikirnya penuh Tanya. Siapakah gerangan yang memunyai nisan itu ? dengan langkah ragu-ragu menapaklah injakakn kaki Malin mendekati nisan tersebut, Ia dekati nisan berlumut itu Ia sentuh dan ia rasai kasarnya dinding itu.
“Kau telah kembali anakku. Berilah perubahan untuk tebus dosamu dimasa itu.”
Suara itu mengagetkan lamunan Malin. Ia nampak kenal suara itu, dan bahkan sangat kenal. Ya itu suara ibu.
“Ibu, kaulah itu ?”, tanyanya penasaran dengan penuh harapan.
Suara itu tak lagi terdengar, pertanyaan Malin pun tak lagi terjawab. Ia bangkit dan memanggil-manggil ibunya.
“Ibu… ibu…”
Sejenak ada suara lain yang hadir didekatnya.
“Bangun anakku.. bangun.. kau bermimpi.” Lantas terbangunlah Malin dari tidur pulasnya. “Aku bermimpi, pak.”
“Ya, kau bermimpi.”
“Apakah maksud dari mimpiku itu ?”, Tanya Malin.
“Itu amanat.”
“Amanat?”
“Ya amanat, anakku!, kau harus bangun dari mimpi itu, tinggalkan selimut usang masa lalumu. Dan pandanglah hidup barumu. Itulah yang mungkin bisa kau lakukan tuk tebus salahmu pada masa lampau. Tuhan telah pertemukan kau padaku, sesungguhnya aku telah mengetahui akan masa ini. Masa inilah yang kutunggu selama hidupku. Sebenarnya, aku adalah salah seorang penyisip dikapalmu pada masa lampau. Aku ingin mencuri sebagian harta bendamu di dalam kapal tersebut. Ketika kapal itu berlabuh dan menyandar dipesisir pantai Kota Padang. Aku pun turut menyelinap keluar. Ku sadari saat itu aku sebagai seorang penyusut, maka tak elak aku keluar dengan hati-hati. Ketika aku berjalan disekitaran kapal itu, aku menyaksikan peristiwa di saat kau mengusir ibumu. Aku pun juga melihat saat petir itu menyambar tubuhmu hingga kau berubah menjadi batu. Saat itulah, tubuhku bergetar. Ketakutan akan karma melanda otak fikirku saat itu. Aku lihat begitu pedih siksa Allah kepada hambanya yang nista. Aku pun berlari kencang setelah prahara itu usai. Namun yang ku sesalkan, aku tak meletakkan harta yang kucuri dari kapalmu itu. Ku tinggalkan jejakku dari Kota Padang ke Kota Palembang dan di sinilah aku hidup, dan dengan hartamulah aku dapat membangun kehidupan seperti ini. Namun, kekayaan tidak membuatku tenang. Sekali lagi aku menakuti karma. Untuk itu, hamper setiap malam ku berdoa kepada Allah agar kiranya aku dapat mengembalikan seluruh harta benda ini pada sipmunyanya. Dan aku pun berdoa agar kiranya kau terbebas dari kutukan yang luar biasa itu. Bertahun-tahun lamanya ku tunggui kau dating di sini, ku doakan kau hingga kujalani rutinitas puasa Senin Kamis setiap Minggu. Dan Allah Maha mendengar. Hari ini, Ia pertemukan aku kepadamu. Dan inilah saatnya ku kembalikan harta yang bukan hakku. Pergunakan harta ini nak dengan sebaik-baiknya. Lakukanlah dakwah dari harta ini. Bangunlah Mushola, tegakkan Sholat, perbanyaklah beribadah, Niscahya Allah akan ampuni dosamu itu. Massaku telah usai. Aku selalu berdoa kepada Allah untuk matikan aku setelah harta ini kembali kepada pemiliknya. Dan sebagai permohonan maafku, perkenankan aku memelukmu sebagai saudaraku, satu cucu Adam dan Hawa.”
Sejenak berpeluklah kedua cucu Adam itu, sambil menangis dan menyesali kesalahan dimasa lampau. Menderulah hujan dibalik jendela itu, petir menyambar dengan kerasnya, peraduan semakin sepi tatkala malaikat pencabut nyawa itu tiba di hantar oleh catatan Allah SWT., Tak ayal tubuh tua itu lemah dan roboh dipelukan Malin Kundang. Izroil telah menjemputnya. Ia rasai kepergian yang begitu ikhlas ditunggunya. Lelaki tua itu mati di hari yang ditunggu. Disaat semua doanya telah terkabulkan. Naudzubillah, Kuasa Allah sangatlah besar. Dipeluklah erat tubuh tua itu, sembari bercucurlah air mata yang mngiringi sahabat terbaiknya pada hari itu. Lelaki tua itu pergi seketika dengan menyerahkan hak yang pernah ia rampas. Dan Malin pun kembali hidup dengan penebusan dosanya pada saat-saat lampau.
Komentar
Posting Komentar