Cerpen Adikku dan Guruku Oleh: Alvian Kurniawan, S.Pd.

Adikku dan Guruku

Matahari menyinar dengan begitu menerik. Butir-butir keringat seolah tak kuasa tertahan oleh tebalnya kulitku ini. Aku segera bergegas mengendarai motorku dengan kecepatan tinggi. Ingin rasanya aku segera sampai ke rumah dan segera ku rebahkan badanku ini di ranjang tidurku yang selalu tak pernah terlihat rapi. Di sepanjang jalan, aku merasa kesal kepada guru-guru di sekolahku hari ini. Aku berfikir, kalau guru-guru di sekolahku adalah sekelompok makhluk yang bisa marah-marah saja termasuk rajin sekali kalau memberiku hukuman.
Bayangkan saja! gara-gara aku cuma terlambat sepuluh menit, aku harus diberdirikan Pak Alvian di depan kelas. Tidak tanggung-tanggung pula. Aku harus berdiri selama dua jam pelajaran. Ugh, pokoknya guru yang satu ini paling menyebalkan buatku. Tidak hanya itu, sewaktu istirahat, aku ketahuan ngerokok di belakang sekolah. Ya, terpaksa aku harus diseret guru piketku ke kantor. Aku lupa, kalau hari ini yang piket adalah Miss Dwi guru bahasa Inggrisku sekaligus wali kelasku. Kalau aku ingat Miss Dwi yang piket hari ini, mending aku ngak ngerokok di belakang sekolah, karena aku tahu kalau beliau piket pasti jeli sekali menggrebek sindikat siswa-siswa bermasalah yang sedang beraksi saat itu. Terpaksa deh aku harus berbaris di depan kantor sembari mendengar ceramah singkat dari Bapak Ferdian Nugraha selaku wakil kepala sekolah bagian kesiswaan di SMK Bina Sriwijaya Indonesia ini.
Aku berfikir, mengapa mereka sampai begitu ketatnya memberikan peraturan dan larangan buatku? Lagi pula aku beli rokok kan bukan dari uang mereka, melainkan uang jajan pemberian orang tuaku sendiri. Aku terus terniang dengan rokokku yang disita pihak sekolah. Padahal rokok tersebut masih ada sekitar sebelas batang lagi.
Tak lama kemudian, aku pun sampai di rumah. Baru saja mau menyetandarkan motor. Tiba-tiba adik ku yang bernama Neni berlari keluar dengan membawa pisau. Dia keluar dengan senangnya sambil mengayunkan pisau itu berulang kali. Yah, namanya juga anak usia 1,5 tahun. Mana mungkin ia dapat berfikir kalau pisau itu akan membahayakannya.
Melihat Neni yang berlari kecil di depan rumah sambil menuju ke jalan besar. Aku segera berlari mengejarnya.
“Aduh Neni, kamu nakal sekali!” gertakku kepada Neni sembari membopongnya kembali ke rumah. Aku mulai mengambil paksa pisau yang ada di tangan Neni. Tentunya, mengambil barang demikian dari tangan anak usia 1,5 tahun tidaklah susah bagiku. Neni pun menangis dengan kencang,
“Kakak jahat! Kakak jahat! Kakak tidak sayang Neni! Kakak ambil mainan Neni!” teriak adikku sembari mencakar-cakar wajahku.
“Neni, ini pisau dek. Barang ini berbahaya! Nanti tangan Neni terluka kalau bermain dengan barang ini!” teriakku meyakinkan Neni yang masih berusaha keras memintaku untuk mengembalikan pisau itu ke dia.
“Tidak! Kakak jahat, Neni mau main dengan mainan itu. Itu mainan Neni!” kali ini Neni menangis dengan menjadi-jadi. Tangannya berusaha mengambil pisau tersebut dari tanganku. Berulang kali pula Neni memukul mukaku dengan tangan kecilnya. Sepertinya, ia mulai merasa kesal kepadaku, karena aku tidak mau mengembalikan benda yang dianggapnya mainan. Hentakan tangan kecil Neni tidak serta merta mengenai pipiku saja. Kali ini pukulan kecilnya mengenai mata kananku. Serentak aku pun dibuat marah kala itu.
“Neni, kamu ini nakal sekali ya!” Aku membentak Neni dengan begitu kerasnya sembari memukul pantat adik kecilku itu. Merasa sakit dengan pukulan itu, Neni pun berhenti memukuli wajahku dan ia menangis semakin menjadi sembari menempelkan wajahnya kebagian pundak kananku. Sejenak pundak kananku terasa basah kala itu oleh air mata Neni. Aku mulai merasa bersalah kepada adik kecilku itu. Ku dekap ia dengan penuh kasih sayang.
“Ssst.. Neni sayang! Jangan nangis lagi ya dek. Nanti Kakak beliin Neni boneka barbie. Tapi Neni jangan nangis lagi ya?” ucapku meyakinkan adikku agar ia tidak menangis lagi. Aku kembali mendekap adikku itu semakin erat. Aku melakukan ini karena aku sayang kepada adikku. Aku mengambil pisau dari tangan adikku, lalu memukul pantat adikku itu karena aku tidak mau adikku mengalami suatu petaka.
Sejenak pikiranku mulai tertuju dengan guru-guruku di sekolah. Aku mulai berfikir bahwa apa yang dilakukan guru-guruku di sekolah kepadaku sama halnya dengan apa yang ku lakukan untuk adikku, Neni. Aku mulai melihat Neni sebagai sudut pandang diriku. Rasanya Tuhan begitu adil menegurku sebagai umpan balik rasa kesalku kepada guruku hari ini.
“Tuhan, terima kasih Kau telah menegurku hari ini. Aku tahu, Engkau sedang memperlihatkan suatu maksud dari kesalah pahamanku terhadap guru-guruku. Aku berjanji bahwa aku tidak akan mengulangi kesalahanku hari ini. Aku tidak akan datang terlambat lagi dan aku tidak akan merokok di belakang sekolah lagi.”

Oleh: Alvian Kurniawan, S.Pd.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Ulasan Artikel Jurnal Penelitian

Contoh Proposal Pengajuan Kegiatan Ekstrakurikuler

Contoh Proposal Kegiatan Bulan Bahasa di Sekolah