Menyunting Teks Berita Televisi
A. Menyunting Teks Berita Televisi Sebagai Tugas Editor
Menyunting diartikan sebagai kegiatan memperbaiki tulisan yang sudah jadi agar kesalahan dan kekeliruan dalam penulisan dapat berkurang atau tidak ada sama sekali. Salah satu tujuan utama melakukan kegiatan ini agar memperoleh kualitas tulisan yang baik.
Suhandang (2016:64) menjelaskan bahwa kegiatan menyunting dilaku-kan oleh seorang editor atau lazim disebut redaktur. Mereka bekerja di dalam suatu tim yang disebut redaksi, dan dipanggil editor karena tugasnya yang selalu mengedit (menyunting dan merevisi) naskah berita ataupun artikel yang datang dari para reporter, koresponden, para penulis, dan para petugas Public Relations dalam bentuk press release.
Penyempurnaan semua naskah berita merupakan tanggung jawab para editor. Namun, editor juga harus memperhatikan karya para reporter dalam menulis teks berita. Artinya, jika harus terdapat hal-hal yang harus dibuang, maka editor harus bisa mempertimbangkan pembuangan bagian berita tanpa mengubah inti berita atau peristiwa yang dikabarkan.
Secara teknis tugas editor terbagi menjadi dua, yaitu “membaca dan memperbaiki” serta “menyusun kembali” naskah berita yang diterimanya. Karena itu, sebelum ada mesin offset, pekerjaan menyunting dilakukan oleh dua orang yaitu copy reader dan rewriter. Copy reader bertugas membaca dan memperbaiki naskah berita yang diterimanya. Hal-hal yang diperbaiki meliputi ejaan, tata bahasa, penggunaan istilah, dan konteks wacananya. Sedangkan, tugas rewriter adalah menyusun kembali (me-ngetik) berita agar naskahnya dapat dilanjutkan oleh para setter (penyusun huruf dipercetakan).
B. Ejaan Teks Berita Televisi
Sebagai seorang penyunting atau editor teks berita, sudah selayaknya memahami ejaan dalam memproduksi teks berita. Ejaan yang dipergunakan dalam menulis teks berita televisi adalah ejaan bahasa Indonesia (EBI).
Tim visi Yustisia (2016:13–72) menjelaskan bahwa aturan penulisan ejaan dalam EBI adalah sebagai berikut.
I. Pemakaian Huruf
1) Penggunaan huruf kapital
Huruf kapital lazim dipergunakan pada semua huruf di dalam teks berita televisi. Namun, untuk pengetahuanmu, berikut ini aturan penulisan huruf kapital yang umum dipergunakan dalam menulis.
a) Huruf pertama pada sebuah kalimat, misal: Hujan mengguyur Palembang.
b) Huruf pertama unsur nama orang, termasuk julukan, misal: Haji Abu Bakar nampak gelisah.
c) Huruf pertama pada awal kalimat setelah petikan langsung, misal: Pak Amri berkata, “Saya bekerja sejak kelas 5 SD”.
d) Huruf pertama atau ungkapan yang berhubungan dengan nama Tuhan, nama kitab suci, nama agama, termasuk kata gantinya, misal: Pendeta tersebut membawa Al Kitab.
e) Huruf pertama unsur nama gelar kehormatan, keturunan, keagamaan atau akademik yang diikuti nama orang, termasuk gelar akademik yang mengikuti nama orang, misal: Wakil Presiden Yusuf Kalla; Namun jika tidak diikuti nama diri, nama jabatan, nama orang, nama instansi atau nama tempat, maka huruf kapital itu tidak dipakai, misal: terlihat wakil presiden memasuki gedung pertemuan.
f) Huruf pertama suku bangsa, nama bangsa, dan nama bahasa, misal: bangsa Indonesia, suku Batak, bahasa Inggris.
g) Huruf pertama nama geografi atau tempat, misal: Lomba perahu bidar dilangsungkan di atas Sungai Musi.
h) Huruf pertama nama tahun, nama bulan, nama hari, nama hari raya, dan nama peristiwa bersejarah, misal: Hari Ulang Tahun Republik Indonesia diperingati setiap tanggal 17 Agustus.
i) Huruf pertama unsur nama negara, nama lembaga, pemerintahan dan nama dokumen resmi, kecuali kata seperti dan, atau, kepada, misal: Majelis Permusyawaratan Rakyat.
j) Huruf pertama setiap unsur bentuk ulang sempurna yang terdapat pada nama lembaga pemerintah, dan dokumen resmi, misal: Undang-Undang Dasar 1945.
k) Huruf pertama di dalam nama buku, majalah, surat kabar, dan ju-dul karangan; kecuali kata di, ke, dari, yang, untuk yang tidak terletak pada posisi awal, misal: bukunya berjudul Membongkar Gurita Cikeas.
l) Huruf pertama unsur singkatan nama gelar, pangkat, dan sapaan, misal: Dr. (Doktor), Prof.
m) Huruf pertama kata perkerabatan seperti bapak, ibu, kakak, saudara, dan adik yang dipakai sebagai kata ganti, kata sapaan atau kata sebutan (pengacuan), misal: “Silakan duduk, Kak!” kata Adi. Namun, apabila kata perkerabatan dipakai sebagai istilah perkerabatan, maka huruf kapital tidak digunakan, misal: kita harus menghormati bapak dan ibu kita.
n) Huruf pertama kata ganti “Anda” atau “Pemirsa”, misal: Pemirsa, harga BBM akan dinaikan.
2) Penggunaan huruf miring
a) Judul buku, nama majalah dan nama surat kabar yang dikutip dalam tulisan, (bisa juga nama program acara televisi), misal: BERITA MALAM//
b) Menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata, kata, atau kelompok kata dalam kalimat, misal: POLISI BELUM MENGETAHUI IDENTITAS PENCULIK//
c) Kata atau ungkapan dalam bahasa daerah atau asing, misal: NYAMUK AEDES AGYPTI CUKUP MEMBAHAYAKAN//
3) Penggunaan huruf tebal
a) Menegaskan bagian tulisan yang sudah ditulis miring, misal: KENAIKAN HARGA SEMBAKO PADA BULAN RAMADHAN INI// (Huruf “dh” tidak terdapat dalam Ejaan Bahasa Indonesia).
b) Menegaskan bagian-bagian karangan, seperti judul buku, bab, atau subbab. Dalam teks berita televisi huruf tebal dapat digunakan pada judul.
II. Penulisan Kata
1) Penulisan kata dasar ditulis dalam satu kesatuan, misal: HUJAN DERAS DI KOTA PALEMBANG//
2) Penulisan kata berimbuhan.
a) Kata berimbuhan baik berupa awalan, akhiran, sisipan atau awalan
dan akhiran harus ditulis serangkai dengan kata dasar, misal: bermain,
telunjuk, makanan, pertanggungjawaban;
b) Bentuk terikat ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, misal: narapidana, pascasarjana, prasejarah.
3) Penulisan bentuk ulang ditulis dengan menggunakan tanda hubung (-) di antara unsur-unsurnya, misal: anak-anak, bapak-bapak.
4) Penulisan gabungan kata atau yang lazim disebut kata majemuk.
a) Gabungan kata termasuk istilah khusus ditulis terpisah, misalnya: duta
besar, kambing hitam;
b) Gabungan kata yang dapat menimbulkan salah pengertian ditulis
dengan membubuhkan tanda hubung (-) di antara unsur-unsurnya,
misalnya: anak-istri pejabat, buku-sejarah baru.
c) Gabungan kata tetap ditulis terpisah meskipun terdapat awalan atau
akhiran, misalnya: bertepuk tangan, garis bawahi;
d) Gabungan kata yang mendapat awalan dan akhiran ditulis serangkai,
misalnya: dilipatgandakan, menyebarluaskan;
e) Gabungan kata yang sudah padu ditulis serangkai, misalnya:
barangkali, beasiswa, belasungkawa.
5) Penulisan pemenggalan kata.
a) Pemenggalan kata dilakukan apabila terdapat huruf vokal yang
berurutan, misalnya: ma-af, bu-ah, ni-at;
b) Huruf diftong ai, au, ei, dan oi tidak dipenggal, misalnya: pan-tai, au-
la, sur-vei, am-boi;
c) Jika ditengah kata dasar terdapat huruf konsonan yang diapit oleh hu-
ruf vokal, maka pemenggalan dilakukan sebelum huruf konsonan itu,
misalnya: ba-pak, la-wan, de-ngan;
d) Jika di tengah kata dasar terdapat huruf konsonan yang berurutan,
maka pemenggalan dilakukan di tengah kedua huruf konsonan itu,
misalnya: Ap-ril, man-di, som-bong;
e) Jika di tengah kata dasar terdapat tiga huruf konsonan atau lebih,
pemenggalan dilakukan di antara huruf konsonan pertama dan kedua,
misalnya: ul-tra, in-fra, ben-trok.
6) Penulisan kata depan (preposisi), seperti kata dari, di, ke kepada, pada, oleh, dengan, dan atas. Semua kata depan ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya, misal: dari pasar, di Jakarta, ke Palembang, pada hari ini, oleh adik, atas kemauannya, kepada saya dan lain-lain.
7) Penulisan kata berpartikel.
a) Partikel kah, tah, dan lah diitulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya, misal: siapakah, apatah, pergilah.
b) Partikel pun yang bermakna ‘juga’ ditulis terpisah dari kata yang diikutinya, misal: SIAPA PUN HARUS BAYAR PAJAK//
c) Partikel per yang berarti ‘mulai’, ‘setiap’, dan ‘demi’ ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya, misal: KENAIKAN HARGA LANGGANAN PER 1 APRIL 2017//
8) Penulisan Singkatan dan Akronim
a) Singkatan nama orang, nama gelar, sapaan, jabatan atau pangkat diikuti dengan tanda titik (.), misal: B.J. Habibie, Muh. Yamin, Bpk.
b) Singkatan nama lembaga pemerintah, organisasi, serta nama dokumen resmi yang terdiri dari huruf awal kata ditulis dengan huruf kapital dan tidak diikuti dengan tanda titik (.), misal: DPR, SMA, KTP; Sedangkan singkatan umum yang terdiri dari tiga huruf atau lebih diikuti dengan satu tanda titik (.), misal: dll., dsb., hlm.
c) Singkatan lambang kimia, ukuran, takaran, timbangan, dan nama mata uang tidak diikuti dengan tanda titik (.), misal: cu, cm, Rp.
d) Akronim yang berupa nama diri yang berupa gabungan huruf awal dari deret kata ditulis seluruhnya dengan huruf kapital, misal: ABRI SIM, ASI.
e) Akronim yang berupa nama diri yang berupa gabungan suku kata atau gabungan huruf dan suku kata dari deret kata ditulis dengan huruf awal huruf kapital, misal: PEMILU BERLANGSUNG TERTIB//
9) Penulisan angka
a) Lambang bilangan yang dinyatakan dengan satu atau dua kata ditulis dengan huruf, misal: IA SUDAH DUA KALI TIDAK NAIK KELAS; Kecuali bila beberapa lambang bilangan digunakan secara berurutan dalam satu kalimat, misal: MATEMATIKA 5 BUKU, FISIKA 7 BUKU//
b) Lambang bilangan di awal kalimat harus ditulis dengan lambang huruf, misal: LIMA BELAS SISWA MENGIKUTI PELATIHAN MENJAHIT; Huruf yang lebih dari dua kata diusahakan tidak ditulis di awal kalimat, misal: PESERTA YANG LULUS SELEKSI SEBANYAK 765 ORANG.
c) Angka yang menunjukan bilangan utuh yang besar dapat dieja sebagian supaya lebih mudah dibaca, misal: DANA TALANGAN BANK CENTURY MENCAPAI 6,7 TRILIUN.
d) Angka Arab digunakan untuk menyatakan ukuran panjang, berat, luas, dan isi, misal: 5 cm, 6 liter; satuan waktu, misal: 2 jam 30 menit; nilai uang, misal: Rp 5.000,00; kuantitas atau jumlah, misal: 15%, 25 orang; Melambangkan nomor rumah, jalan, apartemen, kamar pada alamat, misal: Hotel Matahari, kamar 17; Nomor karangan dan ayat kitab suci, misal: halaman 100, Surat Yasin:9.
e) Angka Romawi hanya digunakan untuk menyatakan nomor atau bilangan yang tidak banyak, seperti pada buku atau nomor jalan, misal: buku Linguistik Umum, Bab VII; Jalan Bungaran V. Selain itu, angka Romawi dapat menyatakan bilangan bertingkat (ordinal) atau juga bilangan biasa (kardinal), misal: Hamengkubuono X; Juara III.
f) Penulisan angka yang mendapat akhiran –an ditulis dengan bentuk, misalnya: lima lembar 1.000-an, tahun 1950-an.
g) Bilangan yang digunakan sebagai unsur nama geografis ditulis dengan huruf, misalnya: Kelapadua, Rajaampat.
10) Penulisan kata ganti ku-, kau- ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, misalnya: RUMAH ITU TELAH KUJUAL; Penulisan kata ganti -ku, -mu, dan –nya, ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya, misalnya: RUMAHNYA TERBAKAR KEMARIN SORE//
11) Penulisan kata sandang si dan sang ditulis terpisah dengan kata yang mengikutinya, misalnya: SANG KORUPTOR NOMOR SATU DI INDONESIA//
III. Penulisan Tanda Baca
1) Penggunaan tanda baca titik (.), namun dalam teks berita radio dan televisi menggunakan tanda garis miring dua (//). Tanda Baca ini dipergunakan pada:
a) akhir kalimat yang berbentuk pernyataan/ bukan pertanyaan atau seruan, misal: SEKOLAH NUSANTARA MENGUNJUNGI MUSEUM BALA PUTRA DEWA//
b) pemisah angka jam, menit, dan detik yang menunjukan waktu, misal: pukul 3.15.20 (pukul 3 lewat 15 menit 20 detik).
c) akhir data nama, tahun, judul buku, dan penerbit dalam penulisan daftar pustaka.
d) pemisah bilangan ribuan atau kelipatannya, misal: korban mengalami kerugian hingga Rp4.800,000,00; Namun, jika bilangan ribuan tidak menunjukan jumlah, maka tanda titik tidak ditulis, misal: IA LAHIR TAHUN 1965 DI PLAJU//
e) Tanda titik tidak digunakan pada akhir judul berita, judul karangan, judul tabel, dan sebagainya, misal: TABRAKAN DI JALAN MAYOR RUSLAN
f) Tanda titik tidak digunakan di belakang (1) alamat pengirim dan tanggal surat; dan (2) nama dan alamat penerima surat, misal:
- Jalan Merbabu Putih 8
Palembang
- 21 Februari 2017
- Yth Sdr. Joan Septian
Jalan Pahlawan Antasari 156
Inderalaya
2) Penggunaan tanda koma (,); dalam teks berita radio dan televisi
menggunakan tanda garis miring satu (/). Tanda baca ini digunakan:
a) Di antara unsur-unsur dalam suatu pe-rincian atau pembilangan, misal: YANG HADIR DALAM ACARA TERSEBUT KETUA YAYASAN/ KEPALA SEKOLAH/ DAN GURU; NILAI YANG SERING MUNCUL 80/ 85/ DAN 90//
b) Untuk memisahkan bagian kalimat setara yang satu dari bagian kalimat setara lainnya yang didahului oleh konjungsi tetapi dan melainkan, misal: AB INGIN HADIR DALAM SIDANG TERSEBUT/ TETAPI TIDAK DIUNDANG; YANG HADIR BUKAN HANYA PENGURUS OSIS/ MELAINKAN PERWAKILAN TIAP KELAS//
c) Untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat, bila anak kalimat itu mendahului induk kalimat, misal: KARENA HUJAN/ UPACARA DITIADAKAN.
d) Di belakang kata atau ungkapan penghu-bung antarkalimat yang terdapat pada awal kalimat sepertii jadi, oleh karena itu, akan tetapi, maka, dan sebagainya, misal: JADI/ PENDIDIKAN DIPERLUKAN UNTUK MASYARAKAT//
e) Di belakang kata seruan seperti oh, nah, aduh, ya, alangkah, dan kasihan di dalam sebuah kalimat, misal: WAH/ ANGKA BUKAN MAIN BESARNYA//
f) Untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain dalam kalimat, misal: ANDI BERKATA, “SAYA SANGAT BANGGA.”; “SAYA SANGAT BANGGA,” KATA ANDI//
g) Di antara nama orang dan gelar akademik yang mengikutinya untuk membedakannya dari singkatan nama diri, nama keluarga atau marga, misal: Dr. Ahmad Nasution, S.H.
h) Pada muka angka persepuluh atau di antara rupiah dan sen yang dinyatakan dengan angka, misal: 12,5 cm; Rp 125,50.
i) Untuk mengapit keterangan tambahan (aposisi) yang sifatnya tidak membatasi, misal: RIDWAN Z/ KETUA LEMBAGA DI SEKOLAH INI TURUT HADIR DALAM ACARA SYUKURAN.
j) Untuk menghindari salah baca dan salah paham di belakang keterangan yang terdapat pada awal kalimat, misal: ATAS BANTUAN KETUA RT/ ANAK ITU DAPAT SEKOLAH LAGI//
3) Penggunaan tanda hubung (-)
a) Tanda hubung digunakan untuk menyambung unsur-unsur kata ulang, misal: ibu-ibu, main-mainan, berulang-ulang, kemerah-merahan.
b) Tanda hubung digunakan untuk menyambung suku-suku kata yang terpisah oleh penggantian baris, misal: KEBAKARAN HUTAN TERJADI SEMALAM//
c) Tanda hubung digunakan untuk memperjelas hubungan bagian-bagian kata atau ungkapan, misal: ber-evolusi, dua-puluh-ribuan.
d) Tanda hubung digunakan untuk merangkaikan imbuhan dengan kata yang dimulai dengan huruf kapital atau serapan asing, misal: se-Indonesia, di-PHK, di-upgrade, juara ke-2.
4) Penggunaan tanda pisah (–)
a) Tanda pisah digunakan untuk membatasi penyisipan kata atau unsur kalimat yang memberi penjelasan di luar bangun kalimat, misal: KEMERDEKAAN BAGSA ITU – SAYA YAKIN AKAN TERCAPAI DIPERJUANGKAN OLEH BANGSA ITU SENDIRI.
b) Tanda pisah digunakan di antara dua bilangan, tanggal atau nama kota dengan arti ‘sampai dengan’ atau ‘sampai ke’, misal: periode 2016 – 2017, Jakarta – Palembang.
5) Penggunaan tanda tanya (?)
a) Tanda tanya digunakan pada akhir kalimat tanya, misal: KAPAN TERJADI PERISTIWA ITU?
b) Tanda tanya yang ditulis di dalam tanda kurung (?) digunakan untuk menyatakan sesuatu yang masih disangsikan kebenaran-nya, misal: DIA DILAHIRKAN PADA TAHUN 1990(?).
6) Penggunaan tanda seru (!) pada kalimat perintah, seruan atau larangan,
misal: AMBIL BUKU ITU! AYO KITA BELAJAR! JANGAN BERDIRI DI SANA!
C. Masalah Bahasa dalam Jurnalistik Televisi
Chaer (2010:123) menjelaskan bahwa pada prinsipnya, bahasa jurnalistik itu memiliki hemat kata dalam artian bahwa bahasa jurnalistik meng-gunakan kata sesedikit mungkin tanpa mengorbankan makna. Selain itu, bahasa jurnalistik harus tepat makna dalam artian konsep yang akan disampaikan bisa diterima sesuai dengan yang dimaksud. Bahasa jurnalistik juga harus menarik, maksudnya kata yang disajikan dapat menggugah orang untuk ingin membaca atau menyaksikannya.
Chaer (2010:123—132) menjelaskan bahwa dalam bahasa jurnalistik terdapat masalah penggunaan bahasa. Adapun masalah bahasa tersebut adalah sebagai berikut.
1) Kata penat adalah kata-kata yang berkaitan dengan istilah yang sering digunakan, sehingga orang bosan membacanya. Kata penat ini lazim juga disebut dengan kata-kata klise atau stereo type. Rosihan Anwar dalam bukunya berjudul Ihwal Jurnalistik (1974) memuat sejumlah kata yang tergolong ke dalam kata penat yang meliputi: dalam rangka, sementara itu, dalam pada itu, perlu diketahui, dapat ditambahkan, selanjutnya, kemudian daripada itu, dan lain-lain.
2) Kerancuan (kontaminasi) adalah pencampuran dua ungkapan (kontruksi bahasa) yang terjadi atau dilakukan tanpa disadari, tetapi akibatnya bentuk ungkapan itu menjadi kacau, misal: untuk sementara waktu seharusnya untuk sementara; Sementara orang seharusnya sejumlah orang; selain daripada itu seharusnya selain itu; dan lain sebagainya seharusnya dan lain-lain atau dan sebagainya; berhubungan karena seharusnya berhubung dengan atau karena; demi untuk seharusnya demi atau untuk; agar supaya seharusnya agar atau supaya, dan lain-lain.
3) Hemat kata melalui ejaan, misal: hadlir seharusnya hadir, bathin seharusnya batin, mitsal seharusnya misal, syah seharusnya sah, syukur seharusnya sukur, dan lain-lain.
D. Pedoman Menyunting Bahasa Teks Berita Televisi
Pada pembelajaran kesatu, kalian telah mempelajari karakteristik teks berita televisi. Karakteristik tersebut harus diketahui oleh seorang pe-nyunting teks berita. Untuk itu, penyunting juga harus memiliki pedoman dalam melakukan penyuntingan bahasa berita televisi.
Suwardi Idris (1978) memberikan pedoman kepada penulis dan penyunting bahasa dalam teks berita televisi sebagai berikut.
1) Suntinglah bahasa berita televisi menjadi bahasa yang sederhana.
2) Kalimat-kalimat panjang segera disunting menjadi kalimat-kalimat pen-dek.
3) Hindarilah kalimat inversi atau kalimat yang terbalik!
4) Mengusahakan agar subjek dan predikat berdekatan letaknya.
5) Nilai-nilai dalam mata uang asing, takaran, dan timbangan seperti dolar, pund, yen, galon, dan sebagainya, hendaknya diberi padanan dengan yang berlaku di Indonesia.
6) Memberi penjelasan secukupnya tentang benda-benda atau kata-kata asing yang terpaksa digunakan dalam siaran berita televisi.
7) Kalimat panjang yang mungkin dapat disajikan dalam media cetak sebaiknya dibagi-bagi menjadi beberapa kalimat yang pendek, dan kalau perlu susunannya diubah, sehingga subjek dan predikat jelas posisinya.
Menyunting diartikan sebagai kegiatan memperbaiki tulisan yang sudah jadi agar kesalahan dan kekeliruan dalam penulisan dapat berkurang atau tidak ada sama sekali. Salah satu tujuan utama melakukan kegiatan ini agar memperoleh kualitas tulisan yang baik.
Suhandang (2016:64) menjelaskan bahwa kegiatan menyunting dilaku-kan oleh seorang editor atau lazim disebut redaktur. Mereka bekerja di dalam suatu tim yang disebut redaksi, dan dipanggil editor karena tugasnya yang selalu mengedit (menyunting dan merevisi) naskah berita ataupun artikel yang datang dari para reporter, koresponden, para penulis, dan para petugas Public Relations dalam bentuk press release.
Penyempurnaan semua naskah berita merupakan tanggung jawab para editor. Namun, editor juga harus memperhatikan karya para reporter dalam menulis teks berita. Artinya, jika harus terdapat hal-hal yang harus dibuang, maka editor harus bisa mempertimbangkan pembuangan bagian berita tanpa mengubah inti berita atau peristiwa yang dikabarkan.
Secara teknis tugas editor terbagi menjadi dua, yaitu “membaca dan memperbaiki” serta “menyusun kembali” naskah berita yang diterimanya. Karena itu, sebelum ada mesin offset, pekerjaan menyunting dilakukan oleh dua orang yaitu copy reader dan rewriter. Copy reader bertugas membaca dan memperbaiki naskah berita yang diterimanya. Hal-hal yang diperbaiki meliputi ejaan, tata bahasa, penggunaan istilah, dan konteks wacananya. Sedangkan, tugas rewriter adalah menyusun kembali (me-ngetik) berita agar naskahnya dapat dilanjutkan oleh para setter (penyusun huruf dipercetakan).
B. Ejaan Teks Berita Televisi
Sebagai seorang penyunting atau editor teks berita, sudah selayaknya memahami ejaan dalam memproduksi teks berita. Ejaan yang dipergunakan dalam menulis teks berita televisi adalah ejaan bahasa Indonesia (EBI).
Tim visi Yustisia (2016:13–72) menjelaskan bahwa aturan penulisan ejaan dalam EBI adalah sebagai berikut.
I. Pemakaian Huruf
1) Penggunaan huruf kapital
Huruf kapital lazim dipergunakan pada semua huruf di dalam teks berita televisi. Namun, untuk pengetahuanmu, berikut ini aturan penulisan huruf kapital yang umum dipergunakan dalam menulis.
a) Huruf pertama pada sebuah kalimat, misal: Hujan mengguyur Palembang.
b) Huruf pertama unsur nama orang, termasuk julukan, misal: Haji Abu Bakar nampak gelisah.
c) Huruf pertama pada awal kalimat setelah petikan langsung, misal: Pak Amri berkata, “Saya bekerja sejak kelas 5 SD”.
d) Huruf pertama atau ungkapan yang berhubungan dengan nama Tuhan, nama kitab suci, nama agama, termasuk kata gantinya, misal: Pendeta tersebut membawa Al Kitab.
e) Huruf pertama unsur nama gelar kehormatan, keturunan, keagamaan atau akademik yang diikuti nama orang, termasuk gelar akademik yang mengikuti nama orang, misal: Wakil Presiden Yusuf Kalla; Namun jika tidak diikuti nama diri, nama jabatan, nama orang, nama instansi atau nama tempat, maka huruf kapital itu tidak dipakai, misal: terlihat wakil presiden memasuki gedung pertemuan.
f) Huruf pertama suku bangsa, nama bangsa, dan nama bahasa, misal: bangsa Indonesia, suku Batak, bahasa Inggris.
g) Huruf pertama nama geografi atau tempat, misal: Lomba perahu bidar dilangsungkan di atas Sungai Musi.
h) Huruf pertama nama tahun, nama bulan, nama hari, nama hari raya, dan nama peristiwa bersejarah, misal: Hari Ulang Tahun Republik Indonesia diperingati setiap tanggal 17 Agustus.
i) Huruf pertama unsur nama negara, nama lembaga, pemerintahan dan nama dokumen resmi, kecuali kata seperti dan, atau, kepada, misal: Majelis Permusyawaratan Rakyat.
j) Huruf pertama setiap unsur bentuk ulang sempurna yang terdapat pada nama lembaga pemerintah, dan dokumen resmi, misal: Undang-Undang Dasar 1945.
k) Huruf pertama di dalam nama buku, majalah, surat kabar, dan ju-dul karangan; kecuali kata di, ke, dari, yang, untuk yang tidak terletak pada posisi awal, misal: bukunya berjudul Membongkar Gurita Cikeas.
l) Huruf pertama unsur singkatan nama gelar, pangkat, dan sapaan, misal: Dr. (Doktor), Prof.
m) Huruf pertama kata perkerabatan seperti bapak, ibu, kakak, saudara, dan adik yang dipakai sebagai kata ganti, kata sapaan atau kata sebutan (pengacuan), misal: “Silakan duduk, Kak!” kata Adi. Namun, apabila kata perkerabatan dipakai sebagai istilah perkerabatan, maka huruf kapital tidak digunakan, misal: kita harus menghormati bapak dan ibu kita.
n) Huruf pertama kata ganti “Anda” atau “Pemirsa”, misal: Pemirsa, harga BBM akan dinaikan.
2) Penggunaan huruf miring
a) Judul buku, nama majalah dan nama surat kabar yang dikutip dalam tulisan, (bisa juga nama program acara televisi), misal: BERITA MALAM//
b) Menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata, kata, atau kelompok kata dalam kalimat, misal: POLISI BELUM MENGETAHUI IDENTITAS PENCULIK//
c) Kata atau ungkapan dalam bahasa daerah atau asing, misal: NYAMUK AEDES AGYPTI CUKUP MEMBAHAYAKAN//
3) Penggunaan huruf tebal
a) Menegaskan bagian tulisan yang sudah ditulis miring, misal: KENAIKAN HARGA SEMBAKO PADA BULAN RAMADHAN INI// (Huruf “dh” tidak terdapat dalam Ejaan Bahasa Indonesia).
b) Menegaskan bagian-bagian karangan, seperti judul buku, bab, atau subbab. Dalam teks berita televisi huruf tebal dapat digunakan pada judul.
II. Penulisan Kata
1) Penulisan kata dasar ditulis dalam satu kesatuan, misal: HUJAN DERAS DI KOTA PALEMBANG//
2) Penulisan kata berimbuhan.
a) Kata berimbuhan baik berupa awalan, akhiran, sisipan atau awalan
dan akhiran harus ditulis serangkai dengan kata dasar, misal: bermain,
telunjuk, makanan, pertanggungjawaban;
b) Bentuk terikat ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, misal: narapidana, pascasarjana, prasejarah.
3) Penulisan bentuk ulang ditulis dengan menggunakan tanda hubung (-) di antara unsur-unsurnya, misal: anak-anak, bapak-bapak.
4) Penulisan gabungan kata atau yang lazim disebut kata majemuk.
a) Gabungan kata termasuk istilah khusus ditulis terpisah, misalnya: duta
besar, kambing hitam;
b) Gabungan kata yang dapat menimbulkan salah pengertian ditulis
dengan membubuhkan tanda hubung (-) di antara unsur-unsurnya,
misalnya: anak-istri pejabat, buku-sejarah baru.
c) Gabungan kata tetap ditulis terpisah meskipun terdapat awalan atau
akhiran, misalnya: bertepuk tangan, garis bawahi;
d) Gabungan kata yang mendapat awalan dan akhiran ditulis serangkai,
misalnya: dilipatgandakan, menyebarluaskan;
e) Gabungan kata yang sudah padu ditulis serangkai, misalnya:
barangkali, beasiswa, belasungkawa.
5) Penulisan pemenggalan kata.
a) Pemenggalan kata dilakukan apabila terdapat huruf vokal yang
berurutan, misalnya: ma-af, bu-ah, ni-at;
b) Huruf diftong ai, au, ei, dan oi tidak dipenggal, misalnya: pan-tai, au-
la, sur-vei, am-boi;
c) Jika ditengah kata dasar terdapat huruf konsonan yang diapit oleh hu-
ruf vokal, maka pemenggalan dilakukan sebelum huruf konsonan itu,
misalnya: ba-pak, la-wan, de-ngan;
d) Jika di tengah kata dasar terdapat huruf konsonan yang berurutan,
maka pemenggalan dilakukan di tengah kedua huruf konsonan itu,
misalnya: Ap-ril, man-di, som-bong;
e) Jika di tengah kata dasar terdapat tiga huruf konsonan atau lebih,
pemenggalan dilakukan di antara huruf konsonan pertama dan kedua,
misalnya: ul-tra, in-fra, ben-trok.
6) Penulisan kata depan (preposisi), seperti kata dari, di, ke kepada, pada, oleh, dengan, dan atas. Semua kata depan ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya, misal: dari pasar, di Jakarta, ke Palembang, pada hari ini, oleh adik, atas kemauannya, kepada saya dan lain-lain.
7) Penulisan kata berpartikel.
a) Partikel kah, tah, dan lah diitulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya, misal: siapakah, apatah, pergilah.
b) Partikel pun yang bermakna ‘juga’ ditulis terpisah dari kata yang diikutinya, misal: SIAPA PUN HARUS BAYAR PAJAK//
c) Partikel per yang berarti ‘mulai’, ‘setiap’, dan ‘demi’ ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya, misal: KENAIKAN HARGA LANGGANAN PER 1 APRIL 2017//
8) Penulisan Singkatan dan Akronim
a) Singkatan nama orang, nama gelar, sapaan, jabatan atau pangkat diikuti dengan tanda titik (.), misal: B.J. Habibie, Muh. Yamin, Bpk.
b) Singkatan nama lembaga pemerintah, organisasi, serta nama dokumen resmi yang terdiri dari huruf awal kata ditulis dengan huruf kapital dan tidak diikuti dengan tanda titik (.), misal: DPR, SMA, KTP; Sedangkan singkatan umum yang terdiri dari tiga huruf atau lebih diikuti dengan satu tanda titik (.), misal: dll., dsb., hlm.
c) Singkatan lambang kimia, ukuran, takaran, timbangan, dan nama mata uang tidak diikuti dengan tanda titik (.), misal: cu, cm, Rp.
d) Akronim yang berupa nama diri yang berupa gabungan huruf awal dari deret kata ditulis seluruhnya dengan huruf kapital, misal: ABRI SIM, ASI.
e) Akronim yang berupa nama diri yang berupa gabungan suku kata atau gabungan huruf dan suku kata dari deret kata ditulis dengan huruf awal huruf kapital, misal: PEMILU BERLANGSUNG TERTIB//
9) Penulisan angka
a) Lambang bilangan yang dinyatakan dengan satu atau dua kata ditulis dengan huruf, misal: IA SUDAH DUA KALI TIDAK NAIK KELAS; Kecuali bila beberapa lambang bilangan digunakan secara berurutan dalam satu kalimat, misal: MATEMATIKA 5 BUKU, FISIKA 7 BUKU//
b) Lambang bilangan di awal kalimat harus ditulis dengan lambang huruf, misal: LIMA BELAS SISWA MENGIKUTI PELATIHAN MENJAHIT; Huruf yang lebih dari dua kata diusahakan tidak ditulis di awal kalimat, misal: PESERTA YANG LULUS SELEKSI SEBANYAK 765 ORANG.
c) Angka yang menunjukan bilangan utuh yang besar dapat dieja sebagian supaya lebih mudah dibaca, misal: DANA TALANGAN BANK CENTURY MENCAPAI 6,7 TRILIUN.
d) Angka Arab digunakan untuk menyatakan ukuran panjang, berat, luas, dan isi, misal: 5 cm, 6 liter; satuan waktu, misal: 2 jam 30 menit; nilai uang, misal: Rp 5.000,00; kuantitas atau jumlah, misal: 15%, 25 orang; Melambangkan nomor rumah, jalan, apartemen, kamar pada alamat, misal: Hotel Matahari, kamar 17; Nomor karangan dan ayat kitab suci, misal: halaman 100, Surat Yasin:9.
e) Angka Romawi hanya digunakan untuk menyatakan nomor atau bilangan yang tidak banyak, seperti pada buku atau nomor jalan, misal: buku Linguistik Umum, Bab VII; Jalan Bungaran V. Selain itu, angka Romawi dapat menyatakan bilangan bertingkat (ordinal) atau juga bilangan biasa (kardinal), misal: Hamengkubuono X; Juara III.
f) Penulisan angka yang mendapat akhiran –an ditulis dengan bentuk, misalnya: lima lembar 1.000-an, tahun 1950-an.
g) Bilangan yang digunakan sebagai unsur nama geografis ditulis dengan huruf, misalnya: Kelapadua, Rajaampat.
10) Penulisan kata ganti ku-, kau- ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, misalnya: RUMAH ITU TELAH KUJUAL; Penulisan kata ganti -ku, -mu, dan –nya, ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya, misalnya: RUMAHNYA TERBAKAR KEMARIN SORE//
11) Penulisan kata sandang si dan sang ditulis terpisah dengan kata yang mengikutinya, misalnya: SANG KORUPTOR NOMOR SATU DI INDONESIA//
III. Penulisan Tanda Baca
1) Penggunaan tanda baca titik (.), namun dalam teks berita radio dan televisi menggunakan tanda garis miring dua (//). Tanda Baca ini dipergunakan pada:
a) akhir kalimat yang berbentuk pernyataan/ bukan pertanyaan atau seruan, misal: SEKOLAH NUSANTARA MENGUNJUNGI MUSEUM BALA PUTRA DEWA//
b) pemisah angka jam, menit, dan detik yang menunjukan waktu, misal: pukul 3.15.20 (pukul 3 lewat 15 menit 20 detik).
c) akhir data nama, tahun, judul buku, dan penerbit dalam penulisan daftar pustaka.
d) pemisah bilangan ribuan atau kelipatannya, misal: korban mengalami kerugian hingga Rp4.800,000,00; Namun, jika bilangan ribuan tidak menunjukan jumlah, maka tanda titik tidak ditulis, misal: IA LAHIR TAHUN 1965 DI PLAJU//
e) Tanda titik tidak digunakan pada akhir judul berita, judul karangan, judul tabel, dan sebagainya, misal: TABRAKAN DI JALAN MAYOR RUSLAN
f) Tanda titik tidak digunakan di belakang (1) alamat pengirim dan tanggal surat; dan (2) nama dan alamat penerima surat, misal:
- Jalan Merbabu Putih 8
Palembang
- 21 Februari 2017
- Yth Sdr. Joan Septian
Jalan Pahlawan Antasari 156
Inderalaya
2) Penggunaan tanda koma (,); dalam teks berita radio dan televisi
menggunakan tanda garis miring satu (/). Tanda baca ini digunakan:
a) Di antara unsur-unsur dalam suatu pe-rincian atau pembilangan, misal: YANG HADIR DALAM ACARA TERSEBUT KETUA YAYASAN/ KEPALA SEKOLAH/ DAN GURU; NILAI YANG SERING MUNCUL 80/ 85/ DAN 90//
b) Untuk memisahkan bagian kalimat setara yang satu dari bagian kalimat setara lainnya yang didahului oleh konjungsi tetapi dan melainkan, misal: AB INGIN HADIR DALAM SIDANG TERSEBUT/ TETAPI TIDAK DIUNDANG; YANG HADIR BUKAN HANYA PENGURUS OSIS/ MELAINKAN PERWAKILAN TIAP KELAS//
c) Untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat, bila anak kalimat itu mendahului induk kalimat, misal: KARENA HUJAN/ UPACARA DITIADAKAN.
d) Di belakang kata atau ungkapan penghu-bung antarkalimat yang terdapat pada awal kalimat sepertii jadi, oleh karena itu, akan tetapi, maka, dan sebagainya, misal: JADI/ PENDIDIKAN DIPERLUKAN UNTUK MASYARAKAT//
e) Di belakang kata seruan seperti oh, nah, aduh, ya, alangkah, dan kasihan di dalam sebuah kalimat, misal: WAH/ ANGKA BUKAN MAIN BESARNYA//
f) Untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain dalam kalimat, misal: ANDI BERKATA, “SAYA SANGAT BANGGA.”; “SAYA SANGAT BANGGA,” KATA ANDI//
g) Di antara nama orang dan gelar akademik yang mengikutinya untuk membedakannya dari singkatan nama diri, nama keluarga atau marga, misal: Dr. Ahmad Nasution, S.H.
h) Pada muka angka persepuluh atau di antara rupiah dan sen yang dinyatakan dengan angka, misal: 12,5 cm; Rp 125,50.
i) Untuk mengapit keterangan tambahan (aposisi) yang sifatnya tidak membatasi, misal: RIDWAN Z/ KETUA LEMBAGA DI SEKOLAH INI TURUT HADIR DALAM ACARA SYUKURAN.
j) Untuk menghindari salah baca dan salah paham di belakang keterangan yang terdapat pada awal kalimat, misal: ATAS BANTUAN KETUA RT/ ANAK ITU DAPAT SEKOLAH LAGI//
3) Penggunaan tanda hubung (-)
a) Tanda hubung digunakan untuk menyambung unsur-unsur kata ulang, misal: ibu-ibu, main-mainan, berulang-ulang, kemerah-merahan.
b) Tanda hubung digunakan untuk menyambung suku-suku kata yang terpisah oleh penggantian baris, misal: KEBAKARAN HUTAN TERJADI SEMALAM//
c) Tanda hubung digunakan untuk memperjelas hubungan bagian-bagian kata atau ungkapan, misal: ber-evolusi, dua-puluh-ribuan.
d) Tanda hubung digunakan untuk merangkaikan imbuhan dengan kata yang dimulai dengan huruf kapital atau serapan asing, misal: se-Indonesia, di-PHK, di-upgrade, juara ke-2.
4) Penggunaan tanda pisah (–)
a) Tanda pisah digunakan untuk membatasi penyisipan kata atau unsur kalimat yang memberi penjelasan di luar bangun kalimat, misal: KEMERDEKAAN BAGSA ITU – SAYA YAKIN AKAN TERCAPAI DIPERJUANGKAN OLEH BANGSA ITU SENDIRI.
b) Tanda pisah digunakan di antara dua bilangan, tanggal atau nama kota dengan arti ‘sampai dengan’ atau ‘sampai ke’, misal: periode 2016 – 2017, Jakarta – Palembang.
5) Penggunaan tanda tanya (?)
a) Tanda tanya digunakan pada akhir kalimat tanya, misal: KAPAN TERJADI PERISTIWA ITU?
b) Tanda tanya yang ditulis di dalam tanda kurung (?) digunakan untuk menyatakan sesuatu yang masih disangsikan kebenaran-nya, misal: DIA DILAHIRKAN PADA TAHUN 1990(?).
6) Penggunaan tanda seru (!) pada kalimat perintah, seruan atau larangan,
misal: AMBIL BUKU ITU! AYO KITA BELAJAR! JANGAN BERDIRI DI SANA!
C. Masalah Bahasa dalam Jurnalistik Televisi
Chaer (2010:123) menjelaskan bahwa pada prinsipnya, bahasa jurnalistik itu memiliki hemat kata dalam artian bahwa bahasa jurnalistik meng-gunakan kata sesedikit mungkin tanpa mengorbankan makna. Selain itu, bahasa jurnalistik harus tepat makna dalam artian konsep yang akan disampaikan bisa diterima sesuai dengan yang dimaksud. Bahasa jurnalistik juga harus menarik, maksudnya kata yang disajikan dapat menggugah orang untuk ingin membaca atau menyaksikannya.
Chaer (2010:123—132) menjelaskan bahwa dalam bahasa jurnalistik terdapat masalah penggunaan bahasa. Adapun masalah bahasa tersebut adalah sebagai berikut.
1) Kata penat adalah kata-kata yang berkaitan dengan istilah yang sering digunakan, sehingga orang bosan membacanya. Kata penat ini lazim juga disebut dengan kata-kata klise atau stereo type. Rosihan Anwar dalam bukunya berjudul Ihwal Jurnalistik (1974) memuat sejumlah kata yang tergolong ke dalam kata penat yang meliputi: dalam rangka, sementara itu, dalam pada itu, perlu diketahui, dapat ditambahkan, selanjutnya, kemudian daripada itu, dan lain-lain.
2) Kerancuan (kontaminasi) adalah pencampuran dua ungkapan (kontruksi bahasa) yang terjadi atau dilakukan tanpa disadari, tetapi akibatnya bentuk ungkapan itu menjadi kacau, misal: untuk sementara waktu seharusnya untuk sementara; Sementara orang seharusnya sejumlah orang; selain daripada itu seharusnya selain itu; dan lain sebagainya seharusnya dan lain-lain atau dan sebagainya; berhubungan karena seharusnya berhubung dengan atau karena; demi untuk seharusnya demi atau untuk; agar supaya seharusnya agar atau supaya, dan lain-lain.
3) Hemat kata melalui ejaan, misal: hadlir seharusnya hadir, bathin seharusnya batin, mitsal seharusnya misal, syah seharusnya sah, syukur seharusnya sukur, dan lain-lain.
D. Pedoman Menyunting Bahasa Teks Berita Televisi
Pada pembelajaran kesatu, kalian telah mempelajari karakteristik teks berita televisi. Karakteristik tersebut harus diketahui oleh seorang pe-nyunting teks berita. Untuk itu, penyunting juga harus memiliki pedoman dalam melakukan penyuntingan bahasa berita televisi.
Suwardi Idris (1978) memberikan pedoman kepada penulis dan penyunting bahasa dalam teks berita televisi sebagai berikut.
1) Suntinglah bahasa berita televisi menjadi bahasa yang sederhana.
2) Kalimat-kalimat panjang segera disunting menjadi kalimat-kalimat pen-dek.
3) Hindarilah kalimat inversi atau kalimat yang terbalik!
4) Mengusahakan agar subjek dan predikat berdekatan letaknya.
5) Nilai-nilai dalam mata uang asing, takaran, dan timbangan seperti dolar, pund, yen, galon, dan sebagainya, hendaknya diberi padanan dengan yang berlaku di Indonesia.
6) Memberi penjelasan secukupnya tentang benda-benda atau kata-kata asing yang terpaksa digunakan dalam siaran berita televisi.
7) Kalimat panjang yang mungkin dapat disajikan dalam media cetak sebaiknya dibagi-bagi menjadi beberapa kalimat yang pendek, dan kalau perlu susunannya diubah, sehingga subjek dan predikat jelas posisinya.
Komentar
Posting Komentar