Cerpen "Akhir Derita Ibuku" Oleh Alvian Kurniawan
Akhir Derita Ibuku
Pagi hari, seperti biasanya dipelosok ataupun dikota, atau dimanapun itu. Sangat padat sekali hiruk pikuk aktivitas umat Tuhan diBumi ini berhilir mudik layaknya menulis peradapan yang kembali terulang, habis dan terulang lagi. Tak layaknya sebuah sinetron ataupun cerita bersambung, hidup seperti ini sama sekali tak dapat diterka mata. Entah sampai kapan ia harus datang, bergulir dan kemudian terhenti sebagai ending layaknya sebuah cerita. Jakartaku kian bergulir dengan sapa mentari yang meniupkan beberapa embun putihnya didedaunan-dedaunan kecil yang menyibak indah mata yang memandang. Kokokan ayampun seakan turut meramaikan suasana. Gerak-gerik bocah-bocah sampai kakek nenek udzur berjejak langkah mengusung sebuah hari yang baru dengan semangat dan harapan bahagia mengisi otak langkah mereka. Dan ku yakini hari itu telah memberi peluang doa-doa baru dalam Cerita ini.
Alarm jamku berbunyi “ triiiiiing…. Triiiiing…”, Serentak aku terbangun dari belaian mimpi indah, atau memang terkadang belaian malas disuasana sedingin ini. Tapi, apalah daya, aku adalah orang yang diatur waktu. Mengingat situasi juga mengatur. Aku seakan tak lain halnya dengan sicengeng yang harus selalu diteriakan diam oleh jam-jam. Lekas-lekas aku harus secepat mungkin mengusir rasa ngantuk dan malasku saat itu ku beranjak dari ranjang tidurku yang berwarna merah biru.
“ Hari ini ulangan semester terakhir, oh Tuhan semoga saja esok aku telah libur jadi tak perlu selalu diomelin alarm jam bakkerku sepagi ini.” Ocehku sambil melangkahkan kaki menuju kamar mandi.
Seperti biasa sebelum aku berjalan menuju kamar mandi. Seperti Telah menjadi santapan pagi, aku ingin sekali melihat ibu. Sedang apakah ia? Kira-kira suasana hatinya bagaimana? Ataukah senyumnya murah untuk kudapatkan atau malah sebaliknya?
“halah apa coba, mending aku goda aja dia. Ibu paling geli kalau sudah aku goda.” Ucapku lirih dalam hati mengusung niat usilku untuk mengambil hati seorang ibuku.
“Selamat pagi bundaku, Wah pasti bunda lagi seneng deh karena pagi-pagi bisa ngelihat cowok ganteng seperti aku dihadapanmu !”, goda kecilku.
“Pagi dari Hongkong, jam 09.10 gini dikatakan pagi dari mana?” Sela Ibu yang balik menggodaku,
“Yah Bunda, jutek banget sama anaknya yang cakep banget.. nget.. nget seperti aku ini. Seharusnya bunda tuh seneng karena sepagi ini ada seorang artis yang mau menyapamu secara gratisan. Coba bayangkan diluar sana banyak banget yang harus antre panjang meminta tanda tanganku dan foto-fotoku”. Ucapku sambil bercanda.
Senyum itu akhirnya merekah dipertengahan dapur. Entah apakah senyum itu tanda ia geli atau jangan-jangan senyum itu hanya ditujukan agar aku berhenti untuk menggodanya.
“ahh, masabodoh yang penting aku sudah lihat ia tersenyum itu adalah kado termanisku setiap pagi!” Lantas aku bergegas menuju kamar mandi..
“Bundaaaa, anak kesayanganmu ini mandi dulu yah! Awas ngintip, ku sumpahin jadi orang kaya kalau ngintip !” teriak ku menghabisi bercandaku dipagi itu.
Ketika semua telah siap, aku beranjak pergi ke kampus.kucium tangannya dan tiba saatnya ku melangkahkan kaki pertama keluar dari pintu berwarna hijau dirumahku.
“Bissmilahirahmannirrahim”
Dengan senyum yang tak ku tinggalkan ku mencoba menyusul jarak-jarak yang ada didepan mataku. Wah jalan-jalan itu seakan telah menjadi temanku setiapa pergi / pulang dari aktivitasku.
Namaku Awan, dulu orangtuaku memberikan doa kepadaku agar kelak suatu saat aku menjadi orang yang sukses dan dermawan melalui namaku ini. Aku sibungsu dari dua bersaudara. Aku mempunyai seorang kakak perempuan yang kini telah bekerja diluar daerah tepatnya di Bogor. Di Jakarta seperti ini, status ekonomi kami bisa dikatakan pas-pasan. Ayah hanya pegawai sipil kecil yang punya penghasilan yang pas-pasan atau bahkan dibawah dari rata-rata pengeluaran perbulan. Pada dasarnya ia sesosok yang penyayang tapi juga sering sebagai sosok yang garang dan menyebalkan. Ibuku hanya seorang Homemakker. Terkadang untuk belanja keseharian ibu selalu nge-bon dengan warung didepan rumah. Tapi meskipun begitu, aku tetap salut dengan kedua orang tuaku yang tetap mati-matian memperjuangkan pendidikan anaknya sampai bangku kuliah. Karena Mengingat tak semua orang berkesempatan untuk mendapatkan apa yang ku dapatkan sekarang.Terkadang untuk membantu penghasilan keluarga, aku harus sering berpanas-panasan menjadi seorang marketing tanpa suatu kendaraan di sebuah perusahaan kecil dikota Sebesar Jakarta ini. Tapi meski dari itu, aku termasuk orang yang berpenampilan sedikit glamour.Bahkan mungkin orang-orang yang mengenalku sepintas mengira bahwa aku terlahir dari keluarga berada. Sifat yang sebenarnya susah sekali aku lepas adalah sifat manja dan selalu ingin bisa dipandang wah oleh orang lain.Ditambah dari type mukakupun sangat diragukan kalau aku sebenarnya dari keluarga yang pas-pasan.
Terkadang aku juga merasa cukup tersiksa dengan sikap dan hidupku yang pada dasarnya itu bukan hak hidupku.Tapi apa boleh buat, aku susah sekali melepas dua sifat itu dariku.Asal aku juga tak harus terlewat sombong.buktinya aku tetap bergaul dengan semua kalangan.Dari yang atas, menengah sampai yang bawah.Dalam pergaulan aku termasuk orang yang ramai. Banyak teman-teman yang menjulukiku si cerewet. But never mind, I like it.
Pukul 11.57, tunjuk jarum jam tanganku yang berwarna perak mengkilat.Aku ingat itu adalah kado special dari ayah pada saat aku diterima kerja disalah satu tempat kerja lamaku dulu. Jika dapat bercerita suatu kebanggaan, jam itulah yang sangat aku banggakan karena jam itu lumayan mahal harganya dan bisa jadi lebih mahal dari dua buah handphone yang aku punya sekarang.Dulu ayah membelinya dari teman kerjanya yang kebetulan dibeli dengan setengah harga dari harga toko.Tenggorokkanku terasa kering sekali saat itu, bagaimana tidak aku harus melakukan perjalanan setelah turun dari angkot kota ke rumahku. Jarak antara terminal dengan rumahku sekitar 1.500 meter dan saat itu matahari seakan selisih beberapa jengkal tangan dari kepalaku. Benar-benar tenggorokan ini tak dibagi adil dengan secercah kesegaran. Mengingat itu, aku masih bersyukur karena aku bukanlah tokoh Fahri pada novel “Ayat-Ayat Cinta” yang pada saat itu harus melakukan perjalanan panjang seharian di Negeri Mesir yang ditafsir mempunyai curah panas sekitar 41o Celcius.
Sesampainya dirumah, aku langsung merebahkan badanku diatas kasur dan disamping itu ku hidupkan kipas angin berwarna putih, merah jambu dengan kecepatan yang tinggi.Tiba-tiba aku tertidur dalam kelelahan itu.
Sebangunnya aku dari tidur indahku. Aku segera melucuti bajuku karena sepulang dari tempat kuliah aku belum sempat mengganti baju kemeja kotak-kotakku berwarna hitam, abu-abu itu.Sejenak aku pergi kekamar sebelah, dimana itu adalah kamar kakak perempuanku selama masih tinggal dirumah ini. Kulihat Ibu sedang menyandarkan kepalanya di dinding ia nampak sangat murung sekali. Terlintas dimatanya yang redup binar air mata merona tertahan didua matanya itu.Aku terjebak dalam haru, aku yakin begitu dalam penderitaan yang sedang ia rasakan saat itu. Kepala yang disenderkan ke dinding seolah ia mengajak berbagi dengan dinding tentang beban yang ia alami. Bajunya sangat lusuh dan aku sedikit agak tersindir dengan kenyataan penampilanku yang jauh agak glamour darinya. Ku tak berani mengajaknya bercanda seperti pagi tadi. Karena aku tahu itu takkan menuangkan hasil. 19Tahun aku berada dengannya tentunya aku tahu
Persis apa yang bisa ku perbuat atau tidak pada saat-saat tertentu untuk ibuku.Ku coba beranikan diri untuk mendekat, kusandarkan kepalaku didadanya dan seakan-akan aku mencari bahasa didalam hati yang dekat dengan dadanya itu.
“Oh Tuhan aku sangat tidak tega melihat wanita terindah ini menangis” Jeritku menangis sejadi-jadinya dihati.
Aku tahu apa yang sedang ditangisi seorang bidadari itu, pasti tak lain halnya dengan urusan utang piutang. Sudah beberapa bulan terakhir ayah tidak menerima gaji sepeserpun. Hutang itu bertumpuk sejak usaha ayah bangkrut dan diwaktu yang sama usaha ayah yang lain juga ditipu oleh seseorang yang tentunya dapat ditafsir belasan juta.dan saat itu keluarga kami dituntut ganti rugi jika tidak maka ayah akan dipenjarakan. Hal itu juga bertepatan sekali dengan jadwal praktek-prakter akhir kakak perempuanku dan aku yang juga saat itu harus menghadapi Ujian Akhir Nasional dan akan melanjutkan keperguruan tinggi sesudahnya. Tentunya hal ini sangat memberatkan kondisi perekonomian keluargaku padahal dulu modal usaha itu ayah dapat dari hutang Bank. Kami semakin terdesak, ingin kami menangis sejadi-jadinya tapi apa daya. Literan air mata tangisan itu takkan mungkin dapat membayar jutaan hutang dan kerugian usaha keluarga kami. Sudah berapa kali aku dan ibu izin agar dapat kerja dan mencari uang tambahan. Apalah daya sebuah keluarga yang diberatkan oleh seklumit masalah ekonomi yang sangat besar dan penghasilan hanya diandalkan dari seorang ayah yang punya gaji pas-pasan dari pekerjaannya sebagai seorang pegawai sipil, sedang aku hanyalah pegawai yang tidak mempunyai penghasilan yang tetap. Itupun jika dapat client loyalty yang kuterimapun tak seberapa. Hanya mungkin dapat aku habiskan untuk berapa kali isi pulsa, ongkos angkot, makan dan merawat penampilan diri.Itupun jika memang ada simpanan lebih, jika seandainya tidak ada aku lebih sedikit bijak untuk dapat mengalokasikan dana itu dengan keperluan-keperluan yang mendesak suatu saat.Tapi keinginan aku dan ibuku selalu diacuhkan ayah. Ia cukup terlalu gengsi apabila keluarganya harus bersusauh payah mengaet penghasilan diluar, dan bisa jadi apa kata saudara-saudara ayah yang selalu mengoreksi kehidupan kakak beradiknya. Alangkah malu jika ia di kecam dengan sebutan suami dan ayah yang tak bertanggung jawab dengan istri dan anak-anaknya.Mengingat semua saudara-saudara kandung ayah telah menjadi orang-orang yang sukses. Mungkin alas an itu bisa aku terima dari otak jernihku, tapi terkadang aku merasa sebagai pengecut yang hanya bisa memegan kendati kuda yang diharapkan dapat berlari cepat namun belum tentu ia selamanya dapat berlari kencang. Sedang hari inipun kuda putihku seakan telah pincang dan jalan tertatih karena sandungan kerikil yang mungkin tak kuasa lagi untuk dapat ditahan. Namun aku yakin Tuhan selaul melukiskan takdir seseorang diujung usaha ciptaannya itu. Disamping itu terkadang kakak perempuankupun turut menyumbang penghasilannya untuk membantu kehidupan kami disini meski tidak sepenuhnya.
Hari berganti hari, Hidup seakan penuh perputaran. Tak lelah ia menuntut naskah yang selalu beralur beda dan berubah bahkan mungkin bergilir dengan runtun yan bersiklus. Terkadang sering sulit untuk menghafal skrip naskah itu dan bertubi sering sekali terjadi salah interpretasi dan paradigma. Tapi apakah aku sebagai lakon disini, atau mungkin sebaliknya. atau jangan-jangan aku hanya figuran kehidupan di dalam kisah ini.
Jika sajak-sajak ini mampu menjelma menjadi dewa,
Tak payah akan ku kutip ribuan juta rupiah dan,
Kan kubeli senyum keluarga,
Tanpa ku jamah keringat lesuh dari mereka,
Tapi sayang sajak tetaplah sajak,
Ia bukan dewa untuk saat ini dan,
Bisa jadi ia tak selamanya jadi dewa bagiku,
Tapi goresan ini mewakili sajak itu,
Adakah kalanya ia jadi dapat menjemput perubahan.
(oleh Vyan Aziz, di Palembang, 26 Februari 2009; 10:03)
Disuatu hari tak ku temukan binar lesuh ibuku dihari ini, senyumnya merekah seakan ribuan malaikat meniupkan kabar indah ditelinganya. Ku biarkan senyum itu kan tetap terpasang dibibirnya.
“He..he.. Ibuku sayang, tumben senyumnya nempel? Kena lotre ye? Atau jangan-jangan semalaem dapat rayuan maut dari ayah? Suit.. suit.. ternyata kisah Romeo dan Juliet kembali diputar di Negeriku Indonesia! Ha.. ha.. ha..” ketawaku meledek,
“Uh.. dasar otak ngeres, dasar stress!” balas ibu dengan menyubit kecil perutku.
“aduh sakit ! “ jeritku samibil tertawa mengoda,
“makanya jangan usil jadi anak, ibu tersenyum karena ada kabar dari mbakmu kalau mba’ Ratna tetangga ibu waktu di Semarang ternyata ia tinggal di Tanah Abang. Ibu memang dengar katanya dia sudah jadi orang sukses di Jakarta. Ibu berniat suatu saat ibu akan main ketempatnya!”
Mendengar Cerita dari ibu, seakan telingaku berubah panas. Muka kucelku yang ku pakai untuk mengoda ibu tiba-tiba kurasakan memerah. Dalam benakku berkata. Ibu memang boleh senang mendengar kabar itu, tapi apakah orang kaya itu masih ingat dengan orang pas-pasan seperti kami. Sedah banyak fakta, Justru tak sedikit orang kaya baru yang sukses merantaupun dengan orang tuanya saja lupa. Apalagi ia hanya sekedar tetangga yang tak ada hubungan darah sama sekali. Aku takut Ibu akan mengalami sebuah kekecewaan. Tapi perubahan sikapku tak membuat perubahan keceriaan ibuku menghilang saat itu.Aku juga tak tega harus menghilangkan senyum yang bisa jadi tak selamamya melekat dibeberapa saat kemudian.
“Ya Tuhan, Semoga kekhawatiran ini tak terjadi.” Doaku.
Tak selang beberapa lama aku melihat ibu sangat sibuk mengobrak-abrik lemari.Tak tahu apa yang sedang dicarinya tapi yang jelas ia sangat sukar sekali diganggu. Niat usilku kembali menjulang. Ku beranikan untuk menggodanya,
“Cari harta karun ya buk? Ya ibuk ketinggalan Zaman, sepertinya ibu harus sering nonton film kartoon sama baca dongeng deh. Harta karun itu adanya di dalam tanah bukan dilemari. Coba ibu bertapa saja siapa tahu dapat wangsit dari mbah marijan ! ha.. ha.. ha.. ”. ledekku kecil,
“Dasar sembrono, Ibu Cuma mau merapikan lemari mbak kamu saja. Sudah lama nga diurus !” jawabnya singkat seraya mengambil tas rangsel berwarna hitam kelam yang sudah tua sekali. Sungguh tak ada kecurigaanku tentang hal itu.
Hari-hari liburku membuat aku lebih tahu seberapa tercengkamnya ibuku disetiap harinya. Terkadang aku sering mengintipnya dari jendela rumah disaat ibu menuju warung untuk hutang belanja. Dari langkahnya ia sangat nampak tertatih dan ragu antara ketakutan dan tanggung jawabnya dalam keluarganya. Kaki gemuknya perlahan melangkah kecil dengan langkah yang terbata, sesekali dilihatnya warung sedang sepi pembeli ia baru berani mendekat. Aku memang tak mendengar apa yang ditransaksikan mereka berdua. Tapi yang ku tangkap tak ada raut yang bersahabat dari bik Rani sang pemilik warung. Disisi lain ku tak bisa menyalahkan bik Rani, Orang mana sih yang mau rugi usahanya? Apalagi ada sebuah keluarga yang setiap hari hanya berhutang dan sudah berapa bulan tak ada cicilan yang ia terima dari lkeluarga tersebut, tapi disisi lain sungguh amat kasihan ibuku. Ia harus menjalani hari-hari yang terpaksa karena tuntutan ekonomi dan tanggung jawab. Belum lagi terkadang ayah akan marah apabila ibu kepergok ditaggih hutang atau kedatangan tamu yang mencurigakan. Aku coba selalu mengevaluasi sistem kepemimpinan didalam keluargaku. Siapa yang sebenarnya salah. Apakah Ayah yang patut disalahkan? Sedangkan ia adalah korban yang juga tak mengharapkan kepincangan ekonomi ini.dan ia juga masih bekerja untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga meskipun hasil yang didapat tak dapat mencukupi biaya kesehariannya. Ataukah ibuku yang patut disalahkan? Yang memang selalu berhutang ke beberapa orang secara sembunyi-sembunyi padahal ia tidak tahu dari mana ia akan mendapatkan uang untuk membayar hutang-hutangnya itu.dan tentunya akan membuat kisruh keluarga jikalau ayah sampai tahu hutangnya itu. Tapi disisi lain ibu melakukan itu demi keluarganya.Darimana ia mendapatkan uang untuk belanja sedang ayah jarang sekali punya uang untuk belanja sehari-hari.Atau mungkin ini salah kakak perempuanku? Yang dulu ia menghabiskan modal beberapa juta saat pertama kali ia harus meninggalkan rumah kami dan bekerja di Bogor. Apalagi gajinya menurutku cukuplah karena setahuku gajinya sekitar Rp.1.050.000; tentunya apabila dalam 1hari dia bisa hemat anggap saja keperluannya Rp.20.000/hari dengan kata lain hanya Rp.600.000 dalam satu bulan menurutku sudah cukup untuk kehidupannya, dan sisanya bisa dipergunakan untuk membantu kehidupan orangtuanya dan adiknya di Jakarta. Tapi, siapasih orang yang mau bekerja berat apalagi dilapangan berhari-hari sedangkan hasil yang diperolehnya hanya mencapai sector cukup karena harus dibagi untuk keluarganya.Pengkoreaksianku tak membuahkan hasil, dimanakah kalkulator yang akurat yang bisa aku temui di kehidupanku? Ataukah bisa jadi malah akulah objek yang bisa dikatakan paling merugikan didalam keluargaku sendiri. Tapi, toh aku ngerawat penampilanku juga dari hasil keringatku tanpa harus meminta orang tuaku. Itukan royaltiku sebagai seorang marketing dan sudah selayaknya dan hak aku dong aku mau pergunakan untuk apa saja uang-uang hasil dari keringatku ini sendiri.
Dalam petang bersajak bintang,
Taki ada jarak yang kukisahkan lewat jejak yang kusulam,
Kegelisahan yang tak bertepis,
Melirik sandarku dibadan dinding yang ku harap dapat topang aku dari perapian mimpi,
Tuhan…
Ternistaku oleh noda indra yang tak ku fungsikan pada titik,
Tak tersapakan apada lirik pembenaran dalam jiwa yang salah,
Tak terterang jiwa dalam alunan kegelapan dunia,
Tuhan…
Tak lekang olehku hujaman nista yang tertaut dunia..
Sakit/ tersakitkah aku?(Vyan Aziz)
(Palembang,25 februari 2009; 19:25 dengan judul sajak kedua)
Dimalam hari, pertengkaran itu terjadi. Kembali lagi masalah Hutang
piutang sebagai objeknya. Makian ayah seakan menyambar petir didekat telingakku, begitu menggelegar. Aku bagai makhluk yang tak berdaya yang hanya bersembunyi dari ketakutan itu didalam kamar yang berukuran 3 x 3. Meski saat itu aku tak didekat ibu. Tapi aku yakin ibu sedang menangis saat itu.Mungkin benar kata beberapa falsafah yang mengatakan disaat dunia telah buta, uang bisa menjadi dewa. Dan tanpa uang derita itu bakal berkepanjangan membelenggu. Sejenak khayalku berpetualangan di Istana-istana Pejabat. Mereka yang hidupnya jauh lebih bergelimangan harta justru mereka masih juga berlaku tidak jujur hanya demi uang. Lalu terbesitlah Tanya dalam bathinku.
“Lalu siapakah, apakah, berapakah, kapankah, dimanakah, bagaimanakah, mengapakah, yang manakah hakekat uang itu sendiri ?. Mengapa uang timbul sebagai semua subjek dalam hidup? Bathinku bergejolak dan menangis sejadi-jadinya. Berulang kali aku ingin mengakhiri hidupku, tapi aku adalah manusia beragama. Aku paham hakekat perbuatan aku itu.Lalu akan jadi apakah aku di Hari kelak nanti? Atau mungkinkah akan ku tinggalkan runahku ini? Haruskah aku akan meninggalkan penyesalan untuk keluargaku dengan kepergianku yang mungkin bisa jadi itu bukan sebagai seutas perbaikan dalam masalah ini? Lulu akan pergi dimakah aku? Bagaimana aku bisa hidup? Kapan aku akan kembali? Apa yang akan aku lakukan untuk menyambung hidupku? Ohh Tuhan, aku tidak bisa bergerak lagi !!!”
Dipertengahan malam kulihat ayah yang malam itu sangat kubenci karena amarahnya tadi telah tertidur lelap. Dan sesaat aku mencoba mencari ibu yang sudah kupastikan tak mungkin ia bisa tidur dimalam ini.karena aku tahu betul siapa dia.Disudut kursi sofa berwarna merah tua setua umurnya yang telah mengisi ruang itu selama hampir 7Tahun. Sesosok ibu yang kucari kutemukan tergeletak diatas sofa itu tanpa bantal dan selimut menunjang tidur.Ku dekati ia, karena ku tahu pasti ia belum tidur.
“Ibu.. ibu..!” panggilku lirih,
Kuberharap kedatanganku ini bisa memberi kekuatan baginya untuk melewati hiruk pikuk masalah ini.Tak ada jawaban dari mulutnya kecuali desahan tangisnya yang menurutku sudah cukup menjawab panggilanku itu.Perlahan ku peluk ia, dank u dekatkan kepalaku didadanya. Perlahan ia mengelus rambutku tanda sayang. Malam itu malam yang sangat memilukan
Aku terbangun diwaktu kokokan ayam belum berkokok. Kulihat Ibu masih didekatku tidurnya seakan nyenyak, tapi yang kurasakan sedikit berbeda. Oh, ternyata ibu telah mengambilakan selimut dan menyelimutkannya ke aku. Aku tersenyum kecil. Ku lepas selimut itu dan kugantikan agar menghangatkan tubuhnya.berulang kali ku ciumi pipinya, dan ku basuh pipinya yang belum terlalu kering dengan tanganku. Aku lega melihatnya bisa tertidur lelap dengan kata lain ia bisa melupakan kejadian itu sesaat.
Kembali lagi aku terbangun dari peraduan mimpiku. Pukul 09.24 tunjuk jam putih karet ditangan kiriku.
“Ya Ampun, aku lupa lepas jam ini semalam !” celotehku kaget,
Kucoba untuk melupakan kesalahan kecil itu sesaat. Ku kembali tercengang ketika kulihat selimut yang semalam ku selimutkan ke ibuku kembali lagi terselimutkan ke badanku. Kembali aku niat usilku,
“Selamat Pagi Bundaku sayang, anakmu yang cakep ini sudah bangun” teriakku kencang. Kuberanikan teriak seperti itu karena aku yakin ayah sudah berangkat kerja di jam segitu.
Tak ada jawaban dari teriakanku itu, aku berusahan bangun dari kemalasanku. Dan dengan jalan yang tergopoh aku mencari ibuku.
“Aneh tak ada tanda-tanda apapun disana?” tanyaku dalam hati,
Aku terbangun dalam ketakutan dan kecemasan. Kucari disemua bilik rumah tapi hasilnya NIHIL, tak jua aku bertanya dengan tetangga sekitar ada yang melihat ibuku. Dan hatiku ingin menagis sekencang-kencangnya ketika seorang saksi melihat ibuku sekitar jam 07.15 tak lama dari selang ayah kerja kelihatan pergi terburu-buru dengan membawa tas rangsel.Kaki ini seakan tak kuasa lagi untuk berdiri, beban yang aku topang sungguh teramat berat, untung aku seorang laki-laki. Jika aku seorang wanita bisa aku pastikan aku akan pingsan.
Kuambil seribu langkahku dan takkan kusia-siakan waktu. Kukejar langkah ibuku dengan segala kemungkinan, meski sangat tipis sekali harapanku untuk menemukannya karena selang antara kepergiannya cukup tertaut lama denganku.Mungkin ia telah jauh pergi, aku hanya bisa berhipotesis dimana saja ibu akan pergi.. Kudatangi beberapa tempat yang kuduga disanalah ibu akan pergi. Tapi kerja dan membuahkan hasil, tak ku temukan kabar sedikitpun dalam kepergiannya. Namun sebaliknya justru pertanyaan sinis membabi buta di layangkan oleh tante, om yang notabennya adalah saudara kandng ayah itu sendiri. Mereka cenderung tidak memberikan solusi melainkan secercah pertanyaan introgasi dan tak jarang mereka menyalahkan kejadian kondisi itu. Ingin darahku naik kitam mendengar tanggapan respon yang mereka derakan kepadaku. Layaknya hari itu aku adalah seorang diri yang hanya hidup seorang diri tanpa keluarga, tanpa teman dan tanpa kerabat yang dapat menghiburku dalam tetautan kesedihan ini. Ditengah keputus asaanku aku teringat bahwa aku tak seorang diri. Aku masih mempunyai seorang ayah yang mungkin masih bias dihandalkan untuk dapat berbagi dalam masalah ini. Karena akupun tahu semarah apapun ayah terhadap ibu semalam adakalanya ia akan cepat reda dengan amarahnya itu sendiri. Dengan tanpa bermodal uang sepeserpun Kuberanikan untuk datang ketempat kerja ayah. Pe3rjalanan begitu panjang ku tempuh. Panas terik yang memuncak seakan sekali-kali membuatku jengkep pada hidup. Hampir satu jam aku berjalan dan akhirnya sampailah kerja kerasku itu ke tempat kantor dimana ayah bekerja. Ku beranikan diri melapor ke pos Satpam dan aku dihantarnya menuju ruang kerja ayah. Sesampainya diruangan itu, disitulah ayah sedikitnya sangat terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba. Tak dapat ku tebak apa saja yang berada dibenaknya saat itu melihat anaknya yang baru pertama kalinya menemui dirinya dikantor seorang diri dan dengan penampilan yang sangat kusut.Mungkin jika aku mempunyai Sebuah Museum Record tersendiri, aku akan memasukan penampilanku itu dalam museum Record itu karena menurutku baru kali inilah aku berpenampilan amburadul selama aku berpergian dimanapun itu.
“Ayaaaaaaaaaahhhhhhhhh, ib.. ib.. ibbbb.. ibbbuuu yah!”
“Ibumu kenapa?”
“Ibu pergi dari rumah yah?”
Serentak semua orang ditempat itu hening sejenak. Kulihat ayah memalingkan pandangannya keteman satu local dengannya.Mereka saling menatap.
“Sudah kamu izin saja dan czri istrimu sebelum ia jauh pergi !” Kata seorang bapak yang ku ketahui bernama bapak Sartono dari Papan namanya dibaju beliau.
“Sudah pakai saja motorku!” teriak bapak yang ada diujung sana dan tak ku ketahui siapa namanya. Karena sukar sekali membaca nama dipapan
Nama bajunya karena jarak kami sangat jauh.
“Ya sudah terimaksih bapak !” teriak ayahku sembari mengambil kunci motor bapak tadi.
Tak sempat berpamit kami langsung bergegas lari ketempat parkir, aku hanya berjalan cepat karena aku merasa tak ada kekuatan lagi untuk lari. Dulu kami memang punya motor, setelah usaha ayah gagal itu ia harus terpaksa menjual motor itu dengan harga sangat murah. Jadi ayah hanya berjalan kaki setiap kali ia pergi ketempat kerja.
Tibalah kami ditempat parkir, disanalah ada sebuah motor tua yang dituju ayahku. Dan aku yakin itulah motor teman ayah tadi. Bergegaslah kami mengendarai motor itu. Dengan kelajuan yang kencang ia melaju, aku yakin didalam benak ayah segudang rasa kecewa, khawatir, takut, amarah dan lain sebagainya bercampur aduk dibenakknya. Nampak dipunggungnya keringat yang mengucur deras. Entah apakah Keringat itu keluar karena kecapekan ataukah karena kekhawatiran.
“Ahh.. aku tak peduli bukan pertanyaan itu yang seharusnya aku besitkan , tapi justru pertanyaan dimana ibu sekarang berada?”
Berulang kali kami mencari ditempat-tempat yang kami curigai. Dirumah saudara ayah, dirumah rekan ibu, di pasar, dijalan-jalan tapi seakan pencarian itu tak membuahkan hasil.Panas terik yang menyibak diatas kepala tak kami rasakan, karena sesosok wanita yang kami cari itulah yang lebih penting dibanndingkan mengurusi sengatan matahari.
2jm lebih kami telah mengitari Jakarta yang besar ini, diselip dan menyelip berbagai macam kendaraan pun telah kami lakukan. Tapi ternyata sekali lagi bagai memasukan botol didalam jarum.Alhasil kami putuskan untuk segera pergi ke kantor Polisi terdekat, Ternyata apa yang kami harapkan tidak sesuai dengan apa yang kami terima. Polisi tidak bisa melakukan pencarian sebelum Ibu hilang selama 1x 24 jam. Badan ini seakan lemas, ku lihat ayah berulang kali menyebut nama Allah. Keringat dan rasa ketakutan yang terpancar dari raut wajahnya merubah kebencianku dengannya semalam.Meski terkadang aku harus menuduhnya sebagai dalang kepergian ibu. Tapi semua itu tak adil jika aku kemukakan sekarang. Kulihat ayah sangat menyesal itu seudah cukup bagiku dan justru aku jauh merasa iba terhadapnya.
Aku terduduk lemas disandaran aspal di ujung kantor polisi, seakan tenagaku tak kuat lagi untuk melangkah. Sejenak kulihat rumput-rumput hijau dihalaman itu dan kemudian ada segerombolan semut sedang berbaris rapih. Mereka saling bahu membahu dan saling tolong menolong. Lalu aku bandingkan dengan diriku sekarang. Tak ada dayanya tanpa bantuan orang-orang lain. Paman bibi semua ada tapi mengapa semua itu seakan tak berarti. Padahal kita sesame manusia, sedang semut sekecil dan sehina apa yang dihinakan manusiapun malah mampu hidup berdamping-dampingan.disitulah aku menemukan sebuah kekuasaan Tuhan bahwa Ia telah menciptakan semua makhluknya dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Dalam perenungan itu, aku teringat dengan seorang nama “Mba’ Ratna” ya aku yakin pasti ibu pergi kesana !, aku utarakan analisis itu ke ayah. Dan ayah bertanya bagaimana kita bisa mencari alamatnya. Benar juga aku kemarin tidak sempat melihat alamat dari mba’ Ratna itu sendiri. Tapi yang ku ketahui ia berada di tanah abang.
“ahaa,, yah waktu itu aku tahu kalau ibu tahu alamat mba Ratna dari teman mba’ gimana kalau kita telp mba’ saja tapi masalahnya hp aku dirumah.”
“ya sudah, kita pulang kerumah dulu, sembari istirahat sebentar apalagi kamu belum makan kan nak?” ajak ayah
Akhirnya kita berdua pulang kerumah. Sesampainya dirumah banyak tetangga yang menanyakan hasil pencarian kami. Tapi kami tak bisa berkata apa-apa kecuali gelengan kepala. Setidaknya, perhatian mereka telah mengisi kembali energi kita yang hilang.Tidak menunggu panjang lebar, aku langsung menelpon mba’ yang ada di Bogor. Tak ada jawaban,
“Pasti mbamu lagi sibuk kerja nak!” kata ayah.
Benar juga tak sebegininya mba kalau ditelpon tidak diangkat kecuali jika ada hal-hal yang penting.Akhirnya kami tunggu beberapa menit kemudian. 45 menit kemudian tampak handphoneku berbunyi ternyata mba aku yang nelpon.lantas tak mengulur waktu panjang lebar kuceritakan semua yang terjadi dan untung ia dengan cepat memberikan alamat rumah mba Ratna.
Bergegaslah kami ke tanah abang, disanalah kami menemukan sebuah rumah besar yang berpagar tinggi. Ketika kami mengetok, keluarlah seorang wanita tua yang menghampiri kami.ternyata dia seorang pembantu disitu, kami utarakan maksud dan tujuan kami disini.lantas kami dipersilahkan masuk kedalam. Ternyata masih saja ada orang baik di Kota Metropolitan seperti ini.
Tak lama berselang, keluarlah seorang waniita yang kami kira itu mba Ratna’.Tapi ternyata dia adalah adik menantu dari mba Ratna,
“Tadi, memang ada seorang ibu-ibu yang mengaku tetangga mba saya sewaktu di Semarang. Tetapi, memang mba saya sudah pindah jadi mungkin dia mencarinya dirumah itu!” jawabnya
Tak lama berselang ia mencatatkan sebuah alamat dan berpamitanlah kami sama wanita yang mempergunakan jilbab biru itu. Bergegaslah kami ke alamat yang dimaksud. Sesampainya ditempat tujuan kami disambut dengan kekosongan. Sepertinya pemilik rumah itu sedang tidak ada dirumah, ku beranikan bertanya dengan tetangga sekitar dan memang ternyata mereka melihat seorang ibu dan Mba Ratna sipemilik rumah itu keluar dengan mobil.
Kami kehilangan jejak. Tak ada petunjuk lain selain menunggu ditempat itu, 3Jam kemudian terlihatlah Mobil Kijang Inova berwarna putih menuju diarea kompleks itu, dan tak ayal keluarlah dua orang sepertinya pasangan suami istri. Seng istri mempergunakan baju hijau blouse, dan sang suami berdasi rapid an berjas. Kami hampiri mereka, dan terbelangaklah mereka melihat kedatangan kami.
Setelah kami bersalam-salaman jelaslah ia berkata “maaf mas, kami tidak bisa mencegah mba’ Sumi pergi ke Batam, ia tadi telah menceritakan semuanya mas dan ia mau meminjam uang untuk transport ke Batam ia akan mencari pekerjaan disana mas. Dan barusan kami telah menghantarnya diterminal. Danb sekarang ia telah berangkat!”
Tak kuasa air mata ini berlinang, berulang kali ku sebut nama ibu sebagai pengiring doa kepergiannya. Ku tak bisa bayangkan apa yang akan terjadi dengan ibu disana. Aku tak mungkin lepas darinya, aku tak mungkin kehilangan selamat pagiku untuknya dan lain sebagainya.Sedihuku tak bertepi. Ku coba memulai mengingatkan diriku dengan sejak puisiku yang pernah ku buat beberapa saat yang lalu sebagai hadiah kepada teman-temanku yang mungkin sedang berduka cita dalam hidupnya,
Wahai Jiwa yang teduh matanya,
Tlah lama ku tak memandangmu,
Salam hangatku menyulam dibilik rinduku,
Nan ku gores satu sapa yang tertepis pada pesanku,
Ku harap kau akan tersenyum saat mata yang teduh itumenyibak seikat kata yang mungkin hanya seharga air comberan ini,
Wahai jiwa yang teduh matanya..
Cobalahkau bangkit !
Jika saat ini kau dirundung nestafa,
Karena hari tak selamanya muram, karena hari tlah menjanjikan makna,
Maka,
Sekali lagi tersenyumlah demi hari ini, esok, dan seterusnya.
(Vyan Aziz. Palembang,19 Februari 2009; 18:18 dengan judul sajak pertama)
Kepamitan kamipun dihalangi mba Ratna dan suaminya. Karena hari telah larut malam sehingga kami tidak diperkenankan pulang terlebih dahulu. Terpaksa kami harus menginap semalaman dirumah mba Ratna. Ternyata aku telah dan pernah salah menilai mba Ratna, dulu aku menyangka mba Ratna tak lain halnya dengan Orang-orang kaya yang sombong. Tapi, ternyata kenyataan itu terjawab salah. Justru sebaliknya ia adalah wanita yang sangat baik hati dan budinya.
Dipertengahan malam didalam mimpiku. Aku bermimpi melihat ibu tersenyum disebuah kebun bunga yang ku pastikan adalah kebun bunga mawar dan melati. Ia melambaikan tangan dan hanya tersenyum manis tanpa satu kata pun yang terucap. Saat aku ingin merengkuh tangannya. Tiba-tiba ia menghilang, aku menangis sejadi-jadinya tapi ia tetap tak kembali. Aku terbangun den disaat terbangun ku telah melihat ayah menagis diruang tengah yang megah itu. Nampak ditangan suami mba’ Ratna Handphone berwarna merah masih terpegang ditangannya.Beribu Tanya terjadi dibenakku, apa yang telah terjadi?
Mba’ Ratna menghampiriku dan mengtarakan, Mobil yang ditumpangi ibuku sewaktu melintas di Bandar Lampung dengan kecepatan yang lumayan kencang harus tertabrak mobil yang melintas dengan seorang sopir yang mengantuk, tak ayal insiden itu bermula dan tak ada satupun korban yang se;lamat dari insiden itu.termasuk ibumu nak !!!
Mendengar berita itu mata ini tak lagi melihat terang, kaki tak kuasa tertopang beban, seribu sisa tawa dan canda lenyap begitu saja dan semua seakan sirna dengan kabar yang sama sekali tak kukehendaki.
Setelah sekitar 33jam prose situ diurusi mba Ratna dan Suaminya di Lampung, tibalah jasad ibu sampai ke Jakarta. Suasana haru tak kuasa tertulis dilembaran dairy kehidupanku di hari itu. Mba’ aku tampak berulang kali pinsan saat mendapati jasad ibuku dikeluarkan dari peti. Wajah ayah yang biasanya garang hari itu menjadi raut wajah yang merona penuh getar-getir penyesalan yang teramat dalam. Tetangga, saudara ayah, kerabat ibu,dan orang-orang banyak menyaksikan situasi cerita saat itu. Dan mungkin jika ada film yang paling memilikan mungkin film kehidupanku akan menduduki jawara teratas.
Ingatku :
“Uh.. dasar otak ngeres, dasar stress!”
“Dasar sembrono, Ibu Cuma mau merapikan lemari mbak kamu saja. Sudah lama nga diurus !”
“Ibu.. ibu..!” panggilku lirih,
Kuberharap kedatanganku ini bisa memberi kekuatan baginya untuk melewati hiruk pikuk masalah ini.Tak ada jawaban dari mulutnya kecuali desahan tangisnya yang menurutku sudah cukup menjawab panggilanku itu.Perlahan ku peluk ia, dank u dekatkan kepalaku didadanya. Perlahan ia mengelus rambutku tanda sayang. Malam itu malam yang sangat memilukan
Seorang Polisi laki-laki berwajah sedu berkulit hitam bertanya kepada bik Ena salah seorang tetanggaku, entah apa yang di interaksikan aku tidak tahu dan tidak mendengar. Yang jelas polisi itu membawa sebuah amplop kecil dan tak lama dari itu bik Ena menunjuk jarinya ke aku dan tiba-tiba polisi itu menghampiriku dan ia menyampaikan sebuah surat yang ternyata ditulis langsung oleh ibuku. Isinya sebagai berikut ;
Tertuju untuk anakku,
Nak, Jauh sebelum ibu melangkahkan kaki ibu telah merasakan sesuatu yang besar luar biasa akan terjadi pada ibu, Apa yang akan terjadi tiadalah ibu mengerti. Isyarat untuk pergi bukanlah lantaran kejadian malam itu, tapi jauh Tuhan tlah mengingatkan ibu agar lebih menguatkanmu,
Nak, Ibu yakin, suatu saat kau baca surat ini. Kita sudah tak mungkin saling menyapa, dan mungkin juga ibu takkan lagi mendengar selamt pagimu yang berulang menyapu kegundahan ibu. Jika memang ibu harus pergi, Maafkan ibu nak. Karma hanya sampai 19 tahun ibu berada disampingmu.
Kegelisahan ibu terjulang berhari-hari. Didalam bus ini ibu sengaja menulis surat ini sayangku. Kau kekasih ibu, kau buah cinta ibu dengan imam ibu didunia. Kau anugrah yang indah yang tak terjamak oleh siapapun. Kini kau telah dewasa, kau bukan anak-anak kecil ibuk dulu yang harus ibuk ninabobokansetiap malam, yang harus ibu dongengkan setiap engkau sakit, tapi kini tugasmu semakin berat nak. Ibu menitipkan kewajiban untukmu. Layaknya seorang guru menitipkan PR kepada anak muridnya. Jangan lupa Shalat, karena ibu akan selalu berada disampingmu dan akan juga mengaminkan setiap doamu, belajarlah yang rajin karena ibu yakin kamu bisa sukses dan tidak akan mengalami kegagalan hidup ekonomi seperti orangtuamu ini nak, jaga mbakmu kasihanilah sayangilah karena ia layaknya sepertimu sebagai seorang piatu didunia ini. Jika engkau menyayangi dan menjaganya berarti engkau juga menyayangi dan menjaga ibu. Karena ada darah ibu yang mengalir didiri kalian berdua. Muliakan ayahmu karena bagaimanapun ia tetaplah imam dalam keluarga kita.
Hapuslah air matamu nak, Ibu akan selalu menjjagamu
*** Tanda garis itu mungkin adalah tanda saat kecelakaan itu terjadi, Ibu meninggal dengan sebuah amanat yang tertuju untukku. Selamat jalan ibuku. Innalilahi Wa ina Illahi rodJiun…………………….
Oleh : Vyan Aziz
Di : Palembang
Tanggal: 26 Februari 2009
Pukul : 14 : 54
Semoga barokah !!!
Pagi hari, seperti biasanya dipelosok ataupun dikota, atau dimanapun itu. Sangat padat sekali hiruk pikuk aktivitas umat Tuhan diBumi ini berhilir mudik layaknya menulis peradapan yang kembali terulang, habis dan terulang lagi. Tak layaknya sebuah sinetron ataupun cerita bersambung, hidup seperti ini sama sekali tak dapat diterka mata. Entah sampai kapan ia harus datang, bergulir dan kemudian terhenti sebagai ending layaknya sebuah cerita. Jakartaku kian bergulir dengan sapa mentari yang meniupkan beberapa embun putihnya didedaunan-dedaunan kecil yang menyibak indah mata yang memandang. Kokokan ayampun seakan turut meramaikan suasana. Gerak-gerik bocah-bocah sampai kakek nenek udzur berjejak langkah mengusung sebuah hari yang baru dengan semangat dan harapan bahagia mengisi otak langkah mereka. Dan ku yakini hari itu telah memberi peluang doa-doa baru dalam Cerita ini.
Alarm jamku berbunyi “ triiiiiing…. Triiiiing…”, Serentak aku terbangun dari belaian mimpi indah, atau memang terkadang belaian malas disuasana sedingin ini. Tapi, apalah daya, aku adalah orang yang diatur waktu. Mengingat situasi juga mengatur. Aku seakan tak lain halnya dengan sicengeng yang harus selalu diteriakan diam oleh jam-jam. Lekas-lekas aku harus secepat mungkin mengusir rasa ngantuk dan malasku saat itu ku beranjak dari ranjang tidurku yang berwarna merah biru.
“ Hari ini ulangan semester terakhir, oh Tuhan semoga saja esok aku telah libur jadi tak perlu selalu diomelin alarm jam bakkerku sepagi ini.” Ocehku sambil melangkahkan kaki menuju kamar mandi.
Seperti biasa sebelum aku berjalan menuju kamar mandi. Seperti Telah menjadi santapan pagi, aku ingin sekali melihat ibu. Sedang apakah ia? Kira-kira suasana hatinya bagaimana? Ataukah senyumnya murah untuk kudapatkan atau malah sebaliknya?
“halah apa coba, mending aku goda aja dia. Ibu paling geli kalau sudah aku goda.” Ucapku lirih dalam hati mengusung niat usilku untuk mengambil hati seorang ibuku.
“Selamat pagi bundaku, Wah pasti bunda lagi seneng deh karena pagi-pagi bisa ngelihat cowok ganteng seperti aku dihadapanmu !”, goda kecilku.
“Pagi dari Hongkong, jam 09.10 gini dikatakan pagi dari mana?” Sela Ibu yang balik menggodaku,
“Yah Bunda, jutek banget sama anaknya yang cakep banget.. nget.. nget seperti aku ini. Seharusnya bunda tuh seneng karena sepagi ini ada seorang artis yang mau menyapamu secara gratisan. Coba bayangkan diluar sana banyak banget yang harus antre panjang meminta tanda tanganku dan foto-fotoku”. Ucapku sambil bercanda.
Senyum itu akhirnya merekah dipertengahan dapur. Entah apakah senyum itu tanda ia geli atau jangan-jangan senyum itu hanya ditujukan agar aku berhenti untuk menggodanya.
“ahh, masabodoh yang penting aku sudah lihat ia tersenyum itu adalah kado termanisku setiap pagi!” Lantas aku bergegas menuju kamar mandi..
“Bundaaaa, anak kesayanganmu ini mandi dulu yah! Awas ngintip, ku sumpahin jadi orang kaya kalau ngintip !” teriak ku menghabisi bercandaku dipagi itu.
Ketika semua telah siap, aku beranjak pergi ke kampus.kucium tangannya dan tiba saatnya ku melangkahkan kaki pertama keluar dari pintu berwarna hijau dirumahku.
“Bissmilahirahmannirrahim”
Dengan senyum yang tak ku tinggalkan ku mencoba menyusul jarak-jarak yang ada didepan mataku. Wah jalan-jalan itu seakan telah menjadi temanku setiapa pergi / pulang dari aktivitasku.
Namaku Awan, dulu orangtuaku memberikan doa kepadaku agar kelak suatu saat aku menjadi orang yang sukses dan dermawan melalui namaku ini. Aku sibungsu dari dua bersaudara. Aku mempunyai seorang kakak perempuan yang kini telah bekerja diluar daerah tepatnya di Bogor. Di Jakarta seperti ini, status ekonomi kami bisa dikatakan pas-pasan. Ayah hanya pegawai sipil kecil yang punya penghasilan yang pas-pasan atau bahkan dibawah dari rata-rata pengeluaran perbulan. Pada dasarnya ia sesosok yang penyayang tapi juga sering sebagai sosok yang garang dan menyebalkan. Ibuku hanya seorang Homemakker. Terkadang untuk belanja keseharian ibu selalu nge-bon dengan warung didepan rumah. Tapi meskipun begitu, aku tetap salut dengan kedua orang tuaku yang tetap mati-matian memperjuangkan pendidikan anaknya sampai bangku kuliah. Karena Mengingat tak semua orang berkesempatan untuk mendapatkan apa yang ku dapatkan sekarang.Terkadang untuk membantu penghasilan keluarga, aku harus sering berpanas-panasan menjadi seorang marketing tanpa suatu kendaraan di sebuah perusahaan kecil dikota Sebesar Jakarta ini. Tapi meski dari itu, aku termasuk orang yang berpenampilan sedikit glamour.Bahkan mungkin orang-orang yang mengenalku sepintas mengira bahwa aku terlahir dari keluarga berada. Sifat yang sebenarnya susah sekali aku lepas adalah sifat manja dan selalu ingin bisa dipandang wah oleh orang lain.Ditambah dari type mukakupun sangat diragukan kalau aku sebenarnya dari keluarga yang pas-pasan.
Terkadang aku juga merasa cukup tersiksa dengan sikap dan hidupku yang pada dasarnya itu bukan hak hidupku.Tapi apa boleh buat, aku susah sekali melepas dua sifat itu dariku.Asal aku juga tak harus terlewat sombong.buktinya aku tetap bergaul dengan semua kalangan.Dari yang atas, menengah sampai yang bawah.Dalam pergaulan aku termasuk orang yang ramai. Banyak teman-teman yang menjulukiku si cerewet. But never mind, I like it.
Pukul 11.57, tunjuk jarum jam tanganku yang berwarna perak mengkilat.Aku ingat itu adalah kado special dari ayah pada saat aku diterima kerja disalah satu tempat kerja lamaku dulu. Jika dapat bercerita suatu kebanggaan, jam itulah yang sangat aku banggakan karena jam itu lumayan mahal harganya dan bisa jadi lebih mahal dari dua buah handphone yang aku punya sekarang.Dulu ayah membelinya dari teman kerjanya yang kebetulan dibeli dengan setengah harga dari harga toko.Tenggorokkanku terasa kering sekali saat itu, bagaimana tidak aku harus melakukan perjalanan setelah turun dari angkot kota ke rumahku. Jarak antara terminal dengan rumahku sekitar 1.500 meter dan saat itu matahari seakan selisih beberapa jengkal tangan dari kepalaku. Benar-benar tenggorokan ini tak dibagi adil dengan secercah kesegaran. Mengingat itu, aku masih bersyukur karena aku bukanlah tokoh Fahri pada novel “Ayat-Ayat Cinta” yang pada saat itu harus melakukan perjalanan panjang seharian di Negeri Mesir yang ditafsir mempunyai curah panas sekitar 41o Celcius.
Sesampainya dirumah, aku langsung merebahkan badanku diatas kasur dan disamping itu ku hidupkan kipas angin berwarna putih, merah jambu dengan kecepatan yang tinggi.Tiba-tiba aku tertidur dalam kelelahan itu.
Sebangunnya aku dari tidur indahku. Aku segera melucuti bajuku karena sepulang dari tempat kuliah aku belum sempat mengganti baju kemeja kotak-kotakku berwarna hitam, abu-abu itu.Sejenak aku pergi kekamar sebelah, dimana itu adalah kamar kakak perempuanku selama masih tinggal dirumah ini. Kulihat Ibu sedang menyandarkan kepalanya di dinding ia nampak sangat murung sekali. Terlintas dimatanya yang redup binar air mata merona tertahan didua matanya itu.Aku terjebak dalam haru, aku yakin begitu dalam penderitaan yang sedang ia rasakan saat itu. Kepala yang disenderkan ke dinding seolah ia mengajak berbagi dengan dinding tentang beban yang ia alami. Bajunya sangat lusuh dan aku sedikit agak tersindir dengan kenyataan penampilanku yang jauh agak glamour darinya. Ku tak berani mengajaknya bercanda seperti pagi tadi. Karena aku tahu itu takkan menuangkan hasil. 19Tahun aku berada dengannya tentunya aku tahu
Persis apa yang bisa ku perbuat atau tidak pada saat-saat tertentu untuk ibuku.Ku coba beranikan diri untuk mendekat, kusandarkan kepalaku didadanya dan seakan-akan aku mencari bahasa didalam hati yang dekat dengan dadanya itu.
“Oh Tuhan aku sangat tidak tega melihat wanita terindah ini menangis” Jeritku menangis sejadi-jadinya dihati.
Aku tahu apa yang sedang ditangisi seorang bidadari itu, pasti tak lain halnya dengan urusan utang piutang. Sudah beberapa bulan terakhir ayah tidak menerima gaji sepeserpun. Hutang itu bertumpuk sejak usaha ayah bangkrut dan diwaktu yang sama usaha ayah yang lain juga ditipu oleh seseorang yang tentunya dapat ditafsir belasan juta.dan saat itu keluarga kami dituntut ganti rugi jika tidak maka ayah akan dipenjarakan. Hal itu juga bertepatan sekali dengan jadwal praktek-prakter akhir kakak perempuanku dan aku yang juga saat itu harus menghadapi Ujian Akhir Nasional dan akan melanjutkan keperguruan tinggi sesudahnya. Tentunya hal ini sangat memberatkan kondisi perekonomian keluargaku padahal dulu modal usaha itu ayah dapat dari hutang Bank. Kami semakin terdesak, ingin kami menangis sejadi-jadinya tapi apa daya. Literan air mata tangisan itu takkan mungkin dapat membayar jutaan hutang dan kerugian usaha keluarga kami. Sudah berapa kali aku dan ibu izin agar dapat kerja dan mencari uang tambahan. Apalah daya sebuah keluarga yang diberatkan oleh seklumit masalah ekonomi yang sangat besar dan penghasilan hanya diandalkan dari seorang ayah yang punya gaji pas-pasan dari pekerjaannya sebagai seorang pegawai sipil, sedang aku hanyalah pegawai yang tidak mempunyai penghasilan yang tetap. Itupun jika dapat client loyalty yang kuterimapun tak seberapa. Hanya mungkin dapat aku habiskan untuk berapa kali isi pulsa, ongkos angkot, makan dan merawat penampilan diri.Itupun jika memang ada simpanan lebih, jika seandainya tidak ada aku lebih sedikit bijak untuk dapat mengalokasikan dana itu dengan keperluan-keperluan yang mendesak suatu saat.Tapi keinginan aku dan ibuku selalu diacuhkan ayah. Ia cukup terlalu gengsi apabila keluarganya harus bersusauh payah mengaet penghasilan diluar, dan bisa jadi apa kata saudara-saudara ayah yang selalu mengoreksi kehidupan kakak beradiknya. Alangkah malu jika ia di kecam dengan sebutan suami dan ayah yang tak bertanggung jawab dengan istri dan anak-anaknya.Mengingat semua saudara-saudara kandung ayah telah menjadi orang-orang yang sukses. Mungkin alas an itu bisa aku terima dari otak jernihku, tapi terkadang aku merasa sebagai pengecut yang hanya bisa memegan kendati kuda yang diharapkan dapat berlari cepat namun belum tentu ia selamanya dapat berlari kencang. Sedang hari inipun kuda putihku seakan telah pincang dan jalan tertatih karena sandungan kerikil yang mungkin tak kuasa lagi untuk dapat ditahan. Namun aku yakin Tuhan selaul melukiskan takdir seseorang diujung usaha ciptaannya itu. Disamping itu terkadang kakak perempuankupun turut menyumbang penghasilannya untuk membantu kehidupan kami disini meski tidak sepenuhnya.
Hari berganti hari, Hidup seakan penuh perputaran. Tak lelah ia menuntut naskah yang selalu beralur beda dan berubah bahkan mungkin bergilir dengan runtun yan bersiklus. Terkadang sering sulit untuk menghafal skrip naskah itu dan bertubi sering sekali terjadi salah interpretasi dan paradigma. Tapi apakah aku sebagai lakon disini, atau mungkin sebaliknya. atau jangan-jangan aku hanya figuran kehidupan di dalam kisah ini.
Jika sajak-sajak ini mampu menjelma menjadi dewa,
Tak payah akan ku kutip ribuan juta rupiah dan,
Kan kubeli senyum keluarga,
Tanpa ku jamah keringat lesuh dari mereka,
Tapi sayang sajak tetaplah sajak,
Ia bukan dewa untuk saat ini dan,
Bisa jadi ia tak selamanya jadi dewa bagiku,
Tapi goresan ini mewakili sajak itu,
Adakah kalanya ia jadi dapat menjemput perubahan.
(oleh Vyan Aziz, di Palembang, 26 Februari 2009; 10:03)
Disuatu hari tak ku temukan binar lesuh ibuku dihari ini, senyumnya merekah seakan ribuan malaikat meniupkan kabar indah ditelinganya. Ku biarkan senyum itu kan tetap terpasang dibibirnya.
“He..he.. Ibuku sayang, tumben senyumnya nempel? Kena lotre ye? Atau jangan-jangan semalaem dapat rayuan maut dari ayah? Suit.. suit.. ternyata kisah Romeo dan Juliet kembali diputar di Negeriku Indonesia! Ha.. ha.. ha..” ketawaku meledek,
“Uh.. dasar otak ngeres, dasar stress!” balas ibu dengan menyubit kecil perutku.
“aduh sakit ! “ jeritku samibil tertawa mengoda,
“makanya jangan usil jadi anak, ibu tersenyum karena ada kabar dari mbakmu kalau mba’ Ratna tetangga ibu waktu di Semarang ternyata ia tinggal di Tanah Abang. Ibu memang dengar katanya dia sudah jadi orang sukses di Jakarta. Ibu berniat suatu saat ibu akan main ketempatnya!”
Mendengar Cerita dari ibu, seakan telingaku berubah panas. Muka kucelku yang ku pakai untuk mengoda ibu tiba-tiba kurasakan memerah. Dalam benakku berkata. Ibu memang boleh senang mendengar kabar itu, tapi apakah orang kaya itu masih ingat dengan orang pas-pasan seperti kami. Sedah banyak fakta, Justru tak sedikit orang kaya baru yang sukses merantaupun dengan orang tuanya saja lupa. Apalagi ia hanya sekedar tetangga yang tak ada hubungan darah sama sekali. Aku takut Ibu akan mengalami sebuah kekecewaan. Tapi perubahan sikapku tak membuat perubahan keceriaan ibuku menghilang saat itu.Aku juga tak tega harus menghilangkan senyum yang bisa jadi tak selamamya melekat dibeberapa saat kemudian.
“Ya Tuhan, Semoga kekhawatiran ini tak terjadi.” Doaku.
Tak selang beberapa lama aku melihat ibu sangat sibuk mengobrak-abrik lemari.Tak tahu apa yang sedang dicarinya tapi yang jelas ia sangat sukar sekali diganggu. Niat usilku kembali menjulang. Ku beranikan untuk menggodanya,
“Cari harta karun ya buk? Ya ibuk ketinggalan Zaman, sepertinya ibu harus sering nonton film kartoon sama baca dongeng deh. Harta karun itu adanya di dalam tanah bukan dilemari. Coba ibu bertapa saja siapa tahu dapat wangsit dari mbah marijan ! ha.. ha.. ha.. ”. ledekku kecil,
“Dasar sembrono, Ibu Cuma mau merapikan lemari mbak kamu saja. Sudah lama nga diurus !” jawabnya singkat seraya mengambil tas rangsel berwarna hitam kelam yang sudah tua sekali. Sungguh tak ada kecurigaanku tentang hal itu.
Hari-hari liburku membuat aku lebih tahu seberapa tercengkamnya ibuku disetiap harinya. Terkadang aku sering mengintipnya dari jendela rumah disaat ibu menuju warung untuk hutang belanja. Dari langkahnya ia sangat nampak tertatih dan ragu antara ketakutan dan tanggung jawabnya dalam keluarganya. Kaki gemuknya perlahan melangkah kecil dengan langkah yang terbata, sesekali dilihatnya warung sedang sepi pembeli ia baru berani mendekat. Aku memang tak mendengar apa yang ditransaksikan mereka berdua. Tapi yang ku tangkap tak ada raut yang bersahabat dari bik Rani sang pemilik warung. Disisi lain ku tak bisa menyalahkan bik Rani, Orang mana sih yang mau rugi usahanya? Apalagi ada sebuah keluarga yang setiap hari hanya berhutang dan sudah berapa bulan tak ada cicilan yang ia terima dari lkeluarga tersebut, tapi disisi lain sungguh amat kasihan ibuku. Ia harus menjalani hari-hari yang terpaksa karena tuntutan ekonomi dan tanggung jawab. Belum lagi terkadang ayah akan marah apabila ibu kepergok ditaggih hutang atau kedatangan tamu yang mencurigakan. Aku coba selalu mengevaluasi sistem kepemimpinan didalam keluargaku. Siapa yang sebenarnya salah. Apakah Ayah yang patut disalahkan? Sedangkan ia adalah korban yang juga tak mengharapkan kepincangan ekonomi ini.dan ia juga masih bekerja untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga meskipun hasil yang didapat tak dapat mencukupi biaya kesehariannya. Ataukah ibuku yang patut disalahkan? Yang memang selalu berhutang ke beberapa orang secara sembunyi-sembunyi padahal ia tidak tahu dari mana ia akan mendapatkan uang untuk membayar hutang-hutangnya itu.dan tentunya akan membuat kisruh keluarga jikalau ayah sampai tahu hutangnya itu. Tapi disisi lain ibu melakukan itu demi keluarganya.Darimana ia mendapatkan uang untuk belanja sedang ayah jarang sekali punya uang untuk belanja sehari-hari.Atau mungkin ini salah kakak perempuanku? Yang dulu ia menghabiskan modal beberapa juta saat pertama kali ia harus meninggalkan rumah kami dan bekerja di Bogor. Apalagi gajinya menurutku cukuplah karena setahuku gajinya sekitar Rp.1.050.000; tentunya apabila dalam 1hari dia bisa hemat anggap saja keperluannya Rp.20.000/hari dengan kata lain hanya Rp.600.000 dalam satu bulan menurutku sudah cukup untuk kehidupannya, dan sisanya bisa dipergunakan untuk membantu kehidupan orangtuanya dan adiknya di Jakarta. Tapi, siapasih orang yang mau bekerja berat apalagi dilapangan berhari-hari sedangkan hasil yang diperolehnya hanya mencapai sector cukup karena harus dibagi untuk keluarganya.Pengkoreaksianku tak membuahkan hasil, dimanakah kalkulator yang akurat yang bisa aku temui di kehidupanku? Ataukah bisa jadi malah akulah objek yang bisa dikatakan paling merugikan didalam keluargaku sendiri. Tapi, toh aku ngerawat penampilanku juga dari hasil keringatku tanpa harus meminta orang tuaku. Itukan royaltiku sebagai seorang marketing dan sudah selayaknya dan hak aku dong aku mau pergunakan untuk apa saja uang-uang hasil dari keringatku ini sendiri.
Dalam petang bersajak bintang,
Taki ada jarak yang kukisahkan lewat jejak yang kusulam,
Kegelisahan yang tak bertepis,
Melirik sandarku dibadan dinding yang ku harap dapat topang aku dari perapian mimpi,
Tuhan…
Ternistaku oleh noda indra yang tak ku fungsikan pada titik,
Tak tersapakan apada lirik pembenaran dalam jiwa yang salah,
Tak terterang jiwa dalam alunan kegelapan dunia,
Tuhan…
Tak lekang olehku hujaman nista yang tertaut dunia..
Sakit/ tersakitkah aku?(Vyan Aziz)
(Palembang,25 februari 2009; 19:25 dengan judul sajak kedua)
Dimalam hari, pertengkaran itu terjadi. Kembali lagi masalah Hutang
piutang sebagai objeknya. Makian ayah seakan menyambar petir didekat telingakku, begitu menggelegar. Aku bagai makhluk yang tak berdaya yang hanya bersembunyi dari ketakutan itu didalam kamar yang berukuran 3 x 3. Meski saat itu aku tak didekat ibu. Tapi aku yakin ibu sedang menangis saat itu.Mungkin benar kata beberapa falsafah yang mengatakan disaat dunia telah buta, uang bisa menjadi dewa. Dan tanpa uang derita itu bakal berkepanjangan membelenggu. Sejenak khayalku berpetualangan di Istana-istana Pejabat. Mereka yang hidupnya jauh lebih bergelimangan harta justru mereka masih juga berlaku tidak jujur hanya demi uang. Lalu terbesitlah Tanya dalam bathinku.
“Lalu siapakah, apakah, berapakah, kapankah, dimanakah, bagaimanakah, mengapakah, yang manakah hakekat uang itu sendiri ?. Mengapa uang timbul sebagai semua subjek dalam hidup? Bathinku bergejolak dan menangis sejadi-jadinya. Berulang kali aku ingin mengakhiri hidupku, tapi aku adalah manusia beragama. Aku paham hakekat perbuatan aku itu.Lalu akan jadi apakah aku di Hari kelak nanti? Atau mungkinkah akan ku tinggalkan runahku ini? Haruskah aku akan meninggalkan penyesalan untuk keluargaku dengan kepergianku yang mungkin bisa jadi itu bukan sebagai seutas perbaikan dalam masalah ini? Lulu akan pergi dimakah aku? Bagaimana aku bisa hidup? Kapan aku akan kembali? Apa yang akan aku lakukan untuk menyambung hidupku? Ohh Tuhan, aku tidak bisa bergerak lagi !!!”
Dipertengahan malam kulihat ayah yang malam itu sangat kubenci karena amarahnya tadi telah tertidur lelap. Dan sesaat aku mencoba mencari ibu yang sudah kupastikan tak mungkin ia bisa tidur dimalam ini.karena aku tahu betul siapa dia.Disudut kursi sofa berwarna merah tua setua umurnya yang telah mengisi ruang itu selama hampir 7Tahun. Sesosok ibu yang kucari kutemukan tergeletak diatas sofa itu tanpa bantal dan selimut menunjang tidur.Ku dekati ia, karena ku tahu pasti ia belum tidur.
“Ibu.. ibu..!” panggilku lirih,
Kuberharap kedatanganku ini bisa memberi kekuatan baginya untuk melewati hiruk pikuk masalah ini.Tak ada jawaban dari mulutnya kecuali desahan tangisnya yang menurutku sudah cukup menjawab panggilanku itu.Perlahan ku peluk ia, dank u dekatkan kepalaku didadanya. Perlahan ia mengelus rambutku tanda sayang. Malam itu malam yang sangat memilukan
Aku terbangun diwaktu kokokan ayam belum berkokok. Kulihat Ibu masih didekatku tidurnya seakan nyenyak, tapi yang kurasakan sedikit berbeda. Oh, ternyata ibu telah mengambilakan selimut dan menyelimutkannya ke aku. Aku tersenyum kecil. Ku lepas selimut itu dan kugantikan agar menghangatkan tubuhnya.berulang kali ku ciumi pipinya, dan ku basuh pipinya yang belum terlalu kering dengan tanganku. Aku lega melihatnya bisa tertidur lelap dengan kata lain ia bisa melupakan kejadian itu sesaat.
Kembali lagi aku terbangun dari peraduan mimpiku. Pukul 09.24 tunjuk jam putih karet ditangan kiriku.
“Ya Ampun, aku lupa lepas jam ini semalam !” celotehku kaget,
Kucoba untuk melupakan kesalahan kecil itu sesaat. Ku kembali tercengang ketika kulihat selimut yang semalam ku selimutkan ke ibuku kembali lagi terselimutkan ke badanku. Kembali aku niat usilku,
“Selamat Pagi Bundaku sayang, anakmu yang cakep ini sudah bangun” teriakku kencang. Kuberanikan teriak seperti itu karena aku yakin ayah sudah berangkat kerja di jam segitu.
Tak ada jawaban dari teriakanku itu, aku berusahan bangun dari kemalasanku. Dan dengan jalan yang tergopoh aku mencari ibuku.
“Aneh tak ada tanda-tanda apapun disana?” tanyaku dalam hati,
Aku terbangun dalam ketakutan dan kecemasan. Kucari disemua bilik rumah tapi hasilnya NIHIL, tak jua aku bertanya dengan tetangga sekitar ada yang melihat ibuku. Dan hatiku ingin menagis sekencang-kencangnya ketika seorang saksi melihat ibuku sekitar jam 07.15 tak lama dari selang ayah kerja kelihatan pergi terburu-buru dengan membawa tas rangsel.Kaki ini seakan tak kuasa lagi untuk berdiri, beban yang aku topang sungguh teramat berat, untung aku seorang laki-laki. Jika aku seorang wanita bisa aku pastikan aku akan pingsan.
Kuambil seribu langkahku dan takkan kusia-siakan waktu. Kukejar langkah ibuku dengan segala kemungkinan, meski sangat tipis sekali harapanku untuk menemukannya karena selang antara kepergiannya cukup tertaut lama denganku.Mungkin ia telah jauh pergi, aku hanya bisa berhipotesis dimana saja ibu akan pergi.. Kudatangi beberapa tempat yang kuduga disanalah ibu akan pergi. Tapi kerja dan membuahkan hasil, tak ku temukan kabar sedikitpun dalam kepergiannya. Namun sebaliknya justru pertanyaan sinis membabi buta di layangkan oleh tante, om yang notabennya adalah saudara kandng ayah itu sendiri. Mereka cenderung tidak memberikan solusi melainkan secercah pertanyaan introgasi dan tak jarang mereka menyalahkan kejadian kondisi itu. Ingin darahku naik kitam mendengar tanggapan respon yang mereka derakan kepadaku. Layaknya hari itu aku adalah seorang diri yang hanya hidup seorang diri tanpa keluarga, tanpa teman dan tanpa kerabat yang dapat menghiburku dalam tetautan kesedihan ini. Ditengah keputus asaanku aku teringat bahwa aku tak seorang diri. Aku masih mempunyai seorang ayah yang mungkin masih bias dihandalkan untuk dapat berbagi dalam masalah ini. Karena akupun tahu semarah apapun ayah terhadap ibu semalam adakalanya ia akan cepat reda dengan amarahnya itu sendiri. Dengan tanpa bermodal uang sepeserpun Kuberanikan untuk datang ketempat kerja ayah. Pe3rjalanan begitu panjang ku tempuh. Panas terik yang memuncak seakan sekali-kali membuatku jengkep pada hidup. Hampir satu jam aku berjalan dan akhirnya sampailah kerja kerasku itu ke tempat kantor dimana ayah bekerja. Ku beranikan diri melapor ke pos Satpam dan aku dihantarnya menuju ruang kerja ayah. Sesampainya diruangan itu, disitulah ayah sedikitnya sangat terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba. Tak dapat ku tebak apa saja yang berada dibenaknya saat itu melihat anaknya yang baru pertama kalinya menemui dirinya dikantor seorang diri dan dengan penampilan yang sangat kusut.Mungkin jika aku mempunyai Sebuah Museum Record tersendiri, aku akan memasukan penampilanku itu dalam museum Record itu karena menurutku baru kali inilah aku berpenampilan amburadul selama aku berpergian dimanapun itu.
“Ayaaaaaaaaaahhhhhhhhh, ib.. ib.. ibbbb.. ibbbuuu yah!”
“Ibumu kenapa?”
“Ibu pergi dari rumah yah?”
Serentak semua orang ditempat itu hening sejenak. Kulihat ayah memalingkan pandangannya keteman satu local dengannya.Mereka saling menatap.
“Sudah kamu izin saja dan czri istrimu sebelum ia jauh pergi !” Kata seorang bapak yang ku ketahui bernama bapak Sartono dari Papan namanya dibaju beliau.
“Sudah pakai saja motorku!” teriak bapak yang ada diujung sana dan tak ku ketahui siapa namanya. Karena sukar sekali membaca nama dipapan
Nama bajunya karena jarak kami sangat jauh.
“Ya sudah terimaksih bapak !” teriak ayahku sembari mengambil kunci motor bapak tadi.
Tak sempat berpamit kami langsung bergegas lari ketempat parkir, aku hanya berjalan cepat karena aku merasa tak ada kekuatan lagi untuk lari. Dulu kami memang punya motor, setelah usaha ayah gagal itu ia harus terpaksa menjual motor itu dengan harga sangat murah. Jadi ayah hanya berjalan kaki setiap kali ia pergi ketempat kerja.
Tibalah kami ditempat parkir, disanalah ada sebuah motor tua yang dituju ayahku. Dan aku yakin itulah motor teman ayah tadi. Bergegaslah kami mengendarai motor itu. Dengan kelajuan yang kencang ia melaju, aku yakin didalam benak ayah segudang rasa kecewa, khawatir, takut, amarah dan lain sebagainya bercampur aduk dibenakknya. Nampak dipunggungnya keringat yang mengucur deras. Entah apakah Keringat itu keluar karena kecapekan ataukah karena kekhawatiran.
“Ahh.. aku tak peduli bukan pertanyaan itu yang seharusnya aku besitkan , tapi justru pertanyaan dimana ibu sekarang berada?”
Berulang kali kami mencari ditempat-tempat yang kami curigai. Dirumah saudara ayah, dirumah rekan ibu, di pasar, dijalan-jalan tapi seakan pencarian itu tak membuahkan hasil.Panas terik yang menyibak diatas kepala tak kami rasakan, karena sesosok wanita yang kami cari itulah yang lebih penting dibanndingkan mengurusi sengatan matahari.
2jm lebih kami telah mengitari Jakarta yang besar ini, diselip dan menyelip berbagai macam kendaraan pun telah kami lakukan. Tapi ternyata sekali lagi bagai memasukan botol didalam jarum.Alhasil kami putuskan untuk segera pergi ke kantor Polisi terdekat, Ternyata apa yang kami harapkan tidak sesuai dengan apa yang kami terima. Polisi tidak bisa melakukan pencarian sebelum Ibu hilang selama 1x 24 jam. Badan ini seakan lemas, ku lihat ayah berulang kali menyebut nama Allah. Keringat dan rasa ketakutan yang terpancar dari raut wajahnya merubah kebencianku dengannya semalam.Meski terkadang aku harus menuduhnya sebagai dalang kepergian ibu. Tapi semua itu tak adil jika aku kemukakan sekarang. Kulihat ayah sangat menyesal itu seudah cukup bagiku dan justru aku jauh merasa iba terhadapnya.
Aku terduduk lemas disandaran aspal di ujung kantor polisi, seakan tenagaku tak kuat lagi untuk melangkah. Sejenak kulihat rumput-rumput hijau dihalaman itu dan kemudian ada segerombolan semut sedang berbaris rapih. Mereka saling bahu membahu dan saling tolong menolong. Lalu aku bandingkan dengan diriku sekarang. Tak ada dayanya tanpa bantuan orang-orang lain. Paman bibi semua ada tapi mengapa semua itu seakan tak berarti. Padahal kita sesame manusia, sedang semut sekecil dan sehina apa yang dihinakan manusiapun malah mampu hidup berdamping-dampingan.disitulah aku menemukan sebuah kekuasaan Tuhan bahwa Ia telah menciptakan semua makhluknya dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Dalam perenungan itu, aku teringat dengan seorang nama “Mba’ Ratna” ya aku yakin pasti ibu pergi kesana !, aku utarakan analisis itu ke ayah. Dan ayah bertanya bagaimana kita bisa mencari alamatnya. Benar juga aku kemarin tidak sempat melihat alamat dari mba’ Ratna itu sendiri. Tapi yang ku ketahui ia berada di tanah abang.
“ahaa,, yah waktu itu aku tahu kalau ibu tahu alamat mba Ratna dari teman mba’ gimana kalau kita telp mba’ saja tapi masalahnya hp aku dirumah.”
“ya sudah, kita pulang kerumah dulu, sembari istirahat sebentar apalagi kamu belum makan kan nak?” ajak ayah
Akhirnya kita berdua pulang kerumah. Sesampainya dirumah banyak tetangga yang menanyakan hasil pencarian kami. Tapi kami tak bisa berkata apa-apa kecuali gelengan kepala. Setidaknya, perhatian mereka telah mengisi kembali energi kita yang hilang.Tidak menunggu panjang lebar, aku langsung menelpon mba’ yang ada di Bogor. Tak ada jawaban,
“Pasti mbamu lagi sibuk kerja nak!” kata ayah.
Benar juga tak sebegininya mba kalau ditelpon tidak diangkat kecuali jika ada hal-hal yang penting.Akhirnya kami tunggu beberapa menit kemudian. 45 menit kemudian tampak handphoneku berbunyi ternyata mba aku yang nelpon.lantas tak mengulur waktu panjang lebar kuceritakan semua yang terjadi dan untung ia dengan cepat memberikan alamat rumah mba Ratna.
Bergegaslah kami ke tanah abang, disanalah kami menemukan sebuah rumah besar yang berpagar tinggi. Ketika kami mengetok, keluarlah seorang wanita tua yang menghampiri kami.ternyata dia seorang pembantu disitu, kami utarakan maksud dan tujuan kami disini.lantas kami dipersilahkan masuk kedalam. Ternyata masih saja ada orang baik di Kota Metropolitan seperti ini.
Tak lama berselang, keluarlah seorang waniita yang kami kira itu mba Ratna’.Tapi ternyata dia adalah adik menantu dari mba Ratna,
“Tadi, memang ada seorang ibu-ibu yang mengaku tetangga mba saya sewaktu di Semarang. Tetapi, memang mba saya sudah pindah jadi mungkin dia mencarinya dirumah itu!” jawabnya
Tak lama berselang ia mencatatkan sebuah alamat dan berpamitanlah kami sama wanita yang mempergunakan jilbab biru itu. Bergegaslah kami ke alamat yang dimaksud. Sesampainya ditempat tujuan kami disambut dengan kekosongan. Sepertinya pemilik rumah itu sedang tidak ada dirumah, ku beranikan bertanya dengan tetangga sekitar dan memang ternyata mereka melihat seorang ibu dan Mba Ratna sipemilik rumah itu keluar dengan mobil.
Kami kehilangan jejak. Tak ada petunjuk lain selain menunggu ditempat itu, 3Jam kemudian terlihatlah Mobil Kijang Inova berwarna putih menuju diarea kompleks itu, dan tak ayal keluarlah dua orang sepertinya pasangan suami istri. Seng istri mempergunakan baju hijau blouse, dan sang suami berdasi rapid an berjas. Kami hampiri mereka, dan terbelangaklah mereka melihat kedatangan kami.
Setelah kami bersalam-salaman jelaslah ia berkata “maaf mas, kami tidak bisa mencegah mba’ Sumi pergi ke Batam, ia tadi telah menceritakan semuanya mas dan ia mau meminjam uang untuk transport ke Batam ia akan mencari pekerjaan disana mas. Dan barusan kami telah menghantarnya diterminal. Danb sekarang ia telah berangkat!”
Tak kuasa air mata ini berlinang, berulang kali ku sebut nama ibu sebagai pengiring doa kepergiannya. Ku tak bisa bayangkan apa yang akan terjadi dengan ibu disana. Aku tak mungkin lepas darinya, aku tak mungkin kehilangan selamat pagiku untuknya dan lain sebagainya.Sedihuku tak bertepi. Ku coba memulai mengingatkan diriku dengan sejak puisiku yang pernah ku buat beberapa saat yang lalu sebagai hadiah kepada teman-temanku yang mungkin sedang berduka cita dalam hidupnya,
Wahai Jiwa yang teduh matanya,
Tlah lama ku tak memandangmu,
Salam hangatku menyulam dibilik rinduku,
Nan ku gores satu sapa yang tertepis pada pesanku,
Ku harap kau akan tersenyum saat mata yang teduh itumenyibak seikat kata yang mungkin hanya seharga air comberan ini,
Wahai jiwa yang teduh matanya..
Cobalahkau bangkit !
Jika saat ini kau dirundung nestafa,
Karena hari tak selamanya muram, karena hari tlah menjanjikan makna,
Maka,
Sekali lagi tersenyumlah demi hari ini, esok, dan seterusnya.
(Vyan Aziz. Palembang,19 Februari 2009; 18:18 dengan judul sajak pertama)
Kepamitan kamipun dihalangi mba Ratna dan suaminya. Karena hari telah larut malam sehingga kami tidak diperkenankan pulang terlebih dahulu. Terpaksa kami harus menginap semalaman dirumah mba Ratna. Ternyata aku telah dan pernah salah menilai mba Ratna, dulu aku menyangka mba Ratna tak lain halnya dengan Orang-orang kaya yang sombong. Tapi, ternyata kenyataan itu terjawab salah. Justru sebaliknya ia adalah wanita yang sangat baik hati dan budinya.
Dipertengahan malam didalam mimpiku. Aku bermimpi melihat ibu tersenyum disebuah kebun bunga yang ku pastikan adalah kebun bunga mawar dan melati. Ia melambaikan tangan dan hanya tersenyum manis tanpa satu kata pun yang terucap. Saat aku ingin merengkuh tangannya. Tiba-tiba ia menghilang, aku menangis sejadi-jadinya tapi ia tetap tak kembali. Aku terbangun den disaat terbangun ku telah melihat ayah menagis diruang tengah yang megah itu. Nampak ditangan suami mba’ Ratna Handphone berwarna merah masih terpegang ditangannya.Beribu Tanya terjadi dibenakku, apa yang telah terjadi?
Mba’ Ratna menghampiriku dan mengtarakan, Mobil yang ditumpangi ibuku sewaktu melintas di Bandar Lampung dengan kecepatan yang lumayan kencang harus tertabrak mobil yang melintas dengan seorang sopir yang mengantuk, tak ayal insiden itu bermula dan tak ada satupun korban yang se;lamat dari insiden itu.termasuk ibumu nak !!!
Mendengar berita itu mata ini tak lagi melihat terang, kaki tak kuasa tertopang beban, seribu sisa tawa dan canda lenyap begitu saja dan semua seakan sirna dengan kabar yang sama sekali tak kukehendaki.
Setelah sekitar 33jam prose situ diurusi mba Ratna dan Suaminya di Lampung, tibalah jasad ibu sampai ke Jakarta. Suasana haru tak kuasa tertulis dilembaran dairy kehidupanku di hari itu. Mba’ aku tampak berulang kali pinsan saat mendapati jasad ibuku dikeluarkan dari peti. Wajah ayah yang biasanya garang hari itu menjadi raut wajah yang merona penuh getar-getir penyesalan yang teramat dalam. Tetangga, saudara ayah, kerabat ibu,dan orang-orang banyak menyaksikan situasi cerita saat itu. Dan mungkin jika ada film yang paling memilikan mungkin film kehidupanku akan menduduki jawara teratas.
Ingatku :
“Uh.. dasar otak ngeres, dasar stress!”
“Dasar sembrono, Ibu Cuma mau merapikan lemari mbak kamu saja. Sudah lama nga diurus !”
“Ibu.. ibu..!” panggilku lirih,
Kuberharap kedatanganku ini bisa memberi kekuatan baginya untuk melewati hiruk pikuk masalah ini.Tak ada jawaban dari mulutnya kecuali desahan tangisnya yang menurutku sudah cukup menjawab panggilanku itu.Perlahan ku peluk ia, dank u dekatkan kepalaku didadanya. Perlahan ia mengelus rambutku tanda sayang. Malam itu malam yang sangat memilukan
Seorang Polisi laki-laki berwajah sedu berkulit hitam bertanya kepada bik Ena salah seorang tetanggaku, entah apa yang di interaksikan aku tidak tahu dan tidak mendengar. Yang jelas polisi itu membawa sebuah amplop kecil dan tak lama dari itu bik Ena menunjuk jarinya ke aku dan tiba-tiba polisi itu menghampiriku dan ia menyampaikan sebuah surat yang ternyata ditulis langsung oleh ibuku. Isinya sebagai berikut ;
Tertuju untuk anakku,
Nak, Jauh sebelum ibu melangkahkan kaki ibu telah merasakan sesuatu yang besar luar biasa akan terjadi pada ibu, Apa yang akan terjadi tiadalah ibu mengerti. Isyarat untuk pergi bukanlah lantaran kejadian malam itu, tapi jauh Tuhan tlah mengingatkan ibu agar lebih menguatkanmu,
Nak, Ibu yakin, suatu saat kau baca surat ini. Kita sudah tak mungkin saling menyapa, dan mungkin juga ibu takkan lagi mendengar selamt pagimu yang berulang menyapu kegundahan ibu. Jika memang ibu harus pergi, Maafkan ibu nak. Karma hanya sampai 19 tahun ibu berada disampingmu.
Kegelisahan ibu terjulang berhari-hari. Didalam bus ini ibu sengaja menulis surat ini sayangku. Kau kekasih ibu, kau buah cinta ibu dengan imam ibu didunia. Kau anugrah yang indah yang tak terjamak oleh siapapun. Kini kau telah dewasa, kau bukan anak-anak kecil ibuk dulu yang harus ibuk ninabobokansetiap malam, yang harus ibu dongengkan setiap engkau sakit, tapi kini tugasmu semakin berat nak. Ibu menitipkan kewajiban untukmu. Layaknya seorang guru menitipkan PR kepada anak muridnya. Jangan lupa Shalat, karena ibu akan selalu berada disampingmu dan akan juga mengaminkan setiap doamu, belajarlah yang rajin karena ibu yakin kamu bisa sukses dan tidak akan mengalami kegagalan hidup ekonomi seperti orangtuamu ini nak, jaga mbakmu kasihanilah sayangilah karena ia layaknya sepertimu sebagai seorang piatu didunia ini. Jika engkau menyayangi dan menjaganya berarti engkau juga menyayangi dan menjaga ibu. Karena ada darah ibu yang mengalir didiri kalian berdua. Muliakan ayahmu karena bagaimanapun ia tetaplah imam dalam keluarga kita.
Hapuslah air matamu nak, Ibu akan selalu menjjagamu
*** Tanda garis itu mungkin adalah tanda saat kecelakaan itu terjadi, Ibu meninggal dengan sebuah amanat yang tertuju untukku. Selamat jalan ibuku. Innalilahi Wa ina Illahi rodJiun…………………….
Oleh : Vyan Aziz
Di : Palembang
Tanggal: 26 Februari 2009
Pukul : 14 : 54
Semoga barokah !!!
Komentar
Posting Komentar