Cerpen
Cermin Sindiran
Dan matahari tak lagi bersahabat pada saat itu, ia memancar dengan semakin menerik dan seakan menipiskan sunblock yang sengaja kupakai untuk gantikan jaket tebalku yang semakin hari semakin malas kukenakan oleh gerahnya seluruh badanku. Berulangkali kutengok jam stainllessku dan kurasai begitu cemasnya aku apabila ia terlalu cepat untuk bergerak meninggalkan detik dan menit yang sengaja kukejar tuk capai kantor tempatku mengais rezeki. Hari itu memang bukan jadwalku mengajar, namun pagi tadi staff pusat menelponku untuk memback up tiga kelas di cabang Lemabang. Dengan segera, kupacu angka 45 dari vario yang setia menjadi sopirku tuk jalani rutinitas siang itu. Sejenak fikirku mengarah kepada keluargaku, kurasai peraaan rindu kepada ibuku. Karena hari ini aku tak sempat pulang ke rumah tuk santapi menu soup kubis dan ayam goreng yang telah sengaja kupesan dari malam tadi. Tapi, apa boleh buat, ternyata kuliahku sampai siang dan aku tak mungkin bisa kejar waktu 30 menit yang tersisa untuk kembali ke rumah dan lantas kembali pergi. Argh, mengapa aku jadi melamun ?. ucapku mengagetkan diriju sndiri. Aku lekas berkonsentrasi kembali dan terus bergegas mencapai meter per meter dari jejalanan itu.
Sepuluh menit melangkah dari pukul tigabelas siang, Varioku berhenti di depan kantor tempatku mengajar. Dengan seragam hijauku dan dasi panjang yang mengikat leherku, aku berjalan dengan tenang dan menyapa rekan kerjakuku pada bagian staff administrasi.
“Manis banget senyummu, miss.”, Sapaku padanya. Ia hanya membalas dengan senyum. Kutemui senyum itu tetap manis meskipun terik matahari menyayat semangat untuk malas beraktivitas. Tapi, itu sudah lebih dari cukup bagiku. Lumayan sebagai pengganti kesejukan setelah dahaga menempuh perjalanan beberapa menit.
Aku segera menuju ke bagian belakang. Seperti biasa membenahi rambut yang acak-acakan dan merapikan penampilan yang sudah mulai kurang rapi karena mengendarai motor. Aksiku mulai memuncak ketika aku berdiri di depan kaca dekat toilet. Merasa semuanya telah oke aku segera duduk di meja konsultasi belajar. Sepertinya hari itu tak ada siswa yang mempunyai pekerjaan rumah. Kesempatan kosong seperti itu ku pergunakan untuk menghela nafas dan sedikit menyenderkan lelah itu ditepian kursi berwarna kuning itu.
“Siang sir. “, Sapa seseorang kepadaku,
Kucoba tuk menoleh dan mencari sumber suara itu berasal. Kudapati seorang lelaki kurus, berbaju besar, dan bersisir belah pinggir. Ia adalah rekan kerjaku sekaligus seniorku, namanya Daryanto. Beberapa bulan yang lalu ia baru usai menyelesaikan kuliahnya di jurusan FKIP Pendidikan Matematika Unsri.
“Oh, siang juga sir. Apa kabar ?” sahutku basa-basi,
“Ya beginilah sir, Alhamdulillah masih diberi kesehatan.”, Jawabnya lirih. Sejenak kami mulai membincangkan mengenai kelas khusus baru di progam Progressive yang kami ajar. Daryanto dan aku termasuk 12 besar tentor khusus yang lulus dari tes penyaringan ditempatku mengajar. Cuma, kami ditempatkan pada cabang yang berbeda. Aku mengajar kelas Progressive di cabang 16Ulu sedangkan ia di cabang Lemabang. Jadi wajar bila kami menceritakan tentang kondisi belajar siswa di kelas khusus dua cabang itu, seperti masalah perkembangan hasil try out dua mingguan, presensi siswa, slip gaji hingga great yang dicapai dibulan ini pun kami perbincangan.
“TeeeeeeeeeeeeeeEEEEETTTTTTTTT……”, Bunyi bel mngingatkan kami untuk segera masuk ke kelas masing-masing. Keakrabpan itu kami hentikan segera, lantas bergegaslah kami meninggalkan meja konsultasi. Kala itu aku mengajar di Room B lantai 2, dan ia mengajar di Room D lantai 3. Ku amati dari kejauhan tubuh kecilnya tetap semangat menaiki satu per satu dari anak tangga itu. Pikiranku mulai menyelinap tentang cerita-ceritanya beberapa waktu terakhir ketika kami bersama saat pulang bekerja. Kala itu ia bercerita jikalau ia adalah seorang anak dari keluarga yang tidak mampu, ayahnya hanya seorang pengangkut bambu. Ia bercerita bagaimana besarnya keinginannya untuk mengangkat keluarganya kejenjang yang lebih mapan.
“Bermula dari sebuah mimpi, sir. Saya berjuang, bekerja. Dari seorang pengangkat kayu, guru ngaji sampai kuli bangunan pun saya jalani guna bekal saya meraih sarjana.”,
Kalimat itu masih terniang ditelingaku. Aku berfikir, seribu satu macam remaja mungkin hanya secuil saja remaja-remaja yang berfikiran sama dengannya. Ku ingat remaja-remaja sebayaku, banyak sekali yang hanya kuliah, jalan-jalan, pacaran dan lain sebagainya. Aku mulai mengkoreksi diri dan perlahan memulai membuat pertanyaan-pertanyaan yang mengena ke personalitiku. Keluh lelahku yang kerap kali ku rasai akibat lelahnya aktivitas harianku menjadi seperti biasa. Ternyata benar, diatas langit masih ada langit, kesibukan kuliah dipagi hari, mengajar di siang hari, mengerjakan tugas kampus atau membuat soal-soal try out dua mingguan di malam hari lalu berpindah-pindah dari gedung yang satu dan gedung yang lainnya sebagai Pagar bagus dari Event Organizer, ikut lomba-lomba yang selalu menggangu jadwal liburku setiap hampir hari minggu dan tanggal merah. Namun kesibukan itu menurutku masih jauh lebih ringan daripada kesibukannya sebagai seorang yang harus bekerja dengan fisik dan stamina yang kuat, tanpa kendaraan sepertiku, tanpa uang bantuan dari orang tua dan lain sebagainya. Aku mulai tersindir saat itu, lantas ku mulai menoleh pada diri, bahwa ternyata aku masih cukup terlalu sombong tuk lupai nikmat yang telah diberi-Nya padaku.
“Hi sir, are you not teaching now ?”, sapa staff administrasi kepadaku dengan berbahasa Inggris. Aku tergugah dari lamunan singkatku.
“Astaga, akukan harus mengajar !!! “
Palembang, 21 Mei 2011
Pukul 07 : 39 : 51
Dan matahari tak lagi bersahabat pada saat itu, ia memancar dengan semakin menerik dan seakan menipiskan sunblock yang sengaja kupakai untuk gantikan jaket tebalku yang semakin hari semakin malas kukenakan oleh gerahnya seluruh badanku. Berulangkali kutengok jam stainllessku dan kurasai begitu cemasnya aku apabila ia terlalu cepat untuk bergerak meninggalkan detik dan menit yang sengaja kukejar tuk capai kantor tempatku mengais rezeki. Hari itu memang bukan jadwalku mengajar, namun pagi tadi staff pusat menelponku untuk memback up tiga kelas di cabang Lemabang. Dengan segera, kupacu angka 45 dari vario yang setia menjadi sopirku tuk jalani rutinitas siang itu. Sejenak fikirku mengarah kepada keluargaku, kurasai peraaan rindu kepada ibuku. Karena hari ini aku tak sempat pulang ke rumah tuk santapi menu soup kubis dan ayam goreng yang telah sengaja kupesan dari malam tadi. Tapi, apa boleh buat, ternyata kuliahku sampai siang dan aku tak mungkin bisa kejar waktu 30 menit yang tersisa untuk kembali ke rumah dan lantas kembali pergi. Argh, mengapa aku jadi melamun ?. ucapku mengagetkan diriju sndiri. Aku lekas berkonsentrasi kembali dan terus bergegas mencapai meter per meter dari jejalanan itu.
Sepuluh menit melangkah dari pukul tigabelas siang, Varioku berhenti di depan kantor tempatku mengajar. Dengan seragam hijauku dan dasi panjang yang mengikat leherku, aku berjalan dengan tenang dan menyapa rekan kerjakuku pada bagian staff administrasi.
“Manis banget senyummu, miss.”, Sapaku padanya. Ia hanya membalas dengan senyum. Kutemui senyum itu tetap manis meskipun terik matahari menyayat semangat untuk malas beraktivitas. Tapi, itu sudah lebih dari cukup bagiku. Lumayan sebagai pengganti kesejukan setelah dahaga menempuh perjalanan beberapa menit.
Aku segera menuju ke bagian belakang. Seperti biasa membenahi rambut yang acak-acakan dan merapikan penampilan yang sudah mulai kurang rapi karena mengendarai motor. Aksiku mulai memuncak ketika aku berdiri di depan kaca dekat toilet. Merasa semuanya telah oke aku segera duduk di meja konsultasi belajar. Sepertinya hari itu tak ada siswa yang mempunyai pekerjaan rumah. Kesempatan kosong seperti itu ku pergunakan untuk menghela nafas dan sedikit menyenderkan lelah itu ditepian kursi berwarna kuning itu.
“Siang sir. “, Sapa seseorang kepadaku,
Kucoba tuk menoleh dan mencari sumber suara itu berasal. Kudapati seorang lelaki kurus, berbaju besar, dan bersisir belah pinggir. Ia adalah rekan kerjaku sekaligus seniorku, namanya Daryanto. Beberapa bulan yang lalu ia baru usai menyelesaikan kuliahnya di jurusan FKIP Pendidikan Matematika Unsri.
“Oh, siang juga sir. Apa kabar ?” sahutku basa-basi,
“Ya beginilah sir, Alhamdulillah masih diberi kesehatan.”, Jawabnya lirih. Sejenak kami mulai membincangkan mengenai kelas khusus baru di progam Progressive yang kami ajar. Daryanto dan aku termasuk 12 besar tentor khusus yang lulus dari tes penyaringan ditempatku mengajar. Cuma, kami ditempatkan pada cabang yang berbeda. Aku mengajar kelas Progressive di cabang 16Ulu sedangkan ia di cabang Lemabang. Jadi wajar bila kami menceritakan tentang kondisi belajar siswa di kelas khusus dua cabang itu, seperti masalah perkembangan hasil try out dua mingguan, presensi siswa, slip gaji hingga great yang dicapai dibulan ini pun kami perbincangan.
“TeeeeeeeeeeeeeeEEEEETTTTTTTTT……”, Bunyi bel mngingatkan kami untuk segera masuk ke kelas masing-masing. Keakrabpan itu kami hentikan segera, lantas bergegaslah kami meninggalkan meja konsultasi. Kala itu aku mengajar di Room B lantai 2, dan ia mengajar di Room D lantai 3. Ku amati dari kejauhan tubuh kecilnya tetap semangat menaiki satu per satu dari anak tangga itu. Pikiranku mulai menyelinap tentang cerita-ceritanya beberapa waktu terakhir ketika kami bersama saat pulang bekerja. Kala itu ia bercerita jikalau ia adalah seorang anak dari keluarga yang tidak mampu, ayahnya hanya seorang pengangkut bambu. Ia bercerita bagaimana besarnya keinginannya untuk mengangkat keluarganya kejenjang yang lebih mapan.
“Bermula dari sebuah mimpi, sir. Saya berjuang, bekerja. Dari seorang pengangkat kayu, guru ngaji sampai kuli bangunan pun saya jalani guna bekal saya meraih sarjana.”,
Kalimat itu masih terniang ditelingaku. Aku berfikir, seribu satu macam remaja mungkin hanya secuil saja remaja-remaja yang berfikiran sama dengannya. Ku ingat remaja-remaja sebayaku, banyak sekali yang hanya kuliah, jalan-jalan, pacaran dan lain sebagainya. Aku mulai mengkoreksi diri dan perlahan memulai membuat pertanyaan-pertanyaan yang mengena ke personalitiku. Keluh lelahku yang kerap kali ku rasai akibat lelahnya aktivitas harianku menjadi seperti biasa. Ternyata benar, diatas langit masih ada langit, kesibukan kuliah dipagi hari, mengajar di siang hari, mengerjakan tugas kampus atau membuat soal-soal try out dua mingguan di malam hari lalu berpindah-pindah dari gedung yang satu dan gedung yang lainnya sebagai Pagar bagus dari Event Organizer, ikut lomba-lomba yang selalu menggangu jadwal liburku setiap hampir hari minggu dan tanggal merah. Namun kesibukan itu menurutku masih jauh lebih ringan daripada kesibukannya sebagai seorang yang harus bekerja dengan fisik dan stamina yang kuat, tanpa kendaraan sepertiku, tanpa uang bantuan dari orang tua dan lain sebagainya. Aku mulai tersindir saat itu, lantas ku mulai menoleh pada diri, bahwa ternyata aku masih cukup terlalu sombong tuk lupai nikmat yang telah diberi-Nya padaku.
“Hi sir, are you not teaching now ?”, sapa staff administrasi kepadaku dengan berbahasa Inggris. Aku tergugah dari lamunan singkatku.
“Astaga, akukan harus mengajar !!! “
Palembang, 21 Mei 2011
Pukul 07 : 39 : 51
Komentar
Posting Komentar